Tradisi Shotel adalah salah satu praktik budaya yang oleh beberapa komunitas seperti masyarakat adat Jawa di Bumi Ilir kabupaten Lampung Utara pertahankan (novia et al 2023). Tradisi ini melarang seorang laki-laki menikahi perempuan yang salah satu dari kedua orang tuanya telah meninggal dunia (baik ayah/ibunya). Di beberapa sumber juga menyebutkan bahwa tradisi Shotel juga melarang seorang lelaki menikahi perempuan yang salah satu orang tuanya telah menikah lagi, baik karena perceraian ataupun kematian pasangan.
Dalam perjalanannya, tradisi ini teranggap sebagai kearifan lokal. Namun, dalam arus modernisasi, tradisi ini menuai kontroversi dari perspektif gender dan hak asasi manusia. Perempuan adalah manusia utuh yang berhak mendapat kehidupan tanpa harus terbebani tradisi yang dapat merampas nilai pribadinya. Kehilangan orang tua dalam bentuk kematian dan perceraian bukanlah suatu aib yang dapat mengurangi nilai diri dari seorang perempuan.
Tradisi Shotel (terduga) berasal dari kepercayaan masyarakat. Bahwa perkawinan dengan perempuan berlatar belakang keluarga tak utuh dapat membawa sial atau ketidakharmonisan rumah tangga kelak. Dalam beberapa budaya, keluarga yang telah mengalami perceraian atau kematian dari salah satu orang tuanya akan teranggap memiliki aib berpengaruh pada kehidupan pernikahan anaknya.
Tradisi semacam ini tentunya amat menyudutkan perempuan. Shotel berasal dari nilai-nilai patriarki sehingga manempatkan perempuan sebagai pihak yang akan memikul beban moral lebih besar alih-alih lelaki. Di dalamnya, perempuan adalah pihak yang amat terugikan. Selain itu, pandangan masyarakat sosial ihwal perempuan harus segera menikah karena keterbatasan umur juga terus membayangi. Tatkala terlalu tua tetapi belum menikah konon akan teranggap kadaluwarsa. Terkuatkan oleh tradisi Shotel, maka perempuan akan mendapatan perlakuan yang sama sekali tidak adil.
Stigmatisasi Perempuan
Perempuan yang menjadi korban dalam tradisi Shotel kerap mengalami stigmatisasi sosial. Mereka mendapat anggapan sebagai perempuan gagal sebab keluarganya meninggal atau bercerai serta tidak harmonis. Masyarakat dalam komunitas tersebut memandang pernikahan gagal ini sebagai pernikahan yang rendah. Dengan begitu, mereka merasa anak laki-lakinya tidak pantas mendapatkan perempuan dari keluarga semacam ini.
Dalam penelitian Rachel Rinaldo pada 2018 berjudul “Mobilizing Piety: Islam and Feminism in Indonesia” mengatakan bahwa Indonesia mempunyai tradisi-tradisi diksriminatif terhadap perempuan. Salah satunya adalah tradisi Shotel. Tradisi semacam ini seringkali terbungkus dengan menggunakan narasi religius serta menggunakan kearifan lokal untuk mempertahankan status quo.
Dalam penelitian lain, mengenai “Traditional Gender Roles and Cultural Persistence” Alesiana (2021) membutktikan nilai-nilai gender yang rigid justru dapat menghambat kemajuan masyarakat. Untuk itulah, dalam kemajuan zaman, masyarakat mesti berpikir secara matang bagaimana suatu tradisi tidak lagi mengandung nilai diskriminasi terhadap satu gender. Stigma diskriminasi ini akan merampas hak perempuan untuk tercintai, kemudian akan memperkuat siklus kemiskinan dan ketergantungan.
Beban Moral tidak Setara
Tradisi Shotel secara jelas merugikan pihak perempuan. Tradisi ini tak menghukum laki-laki dengan kondisi keluarga yang sama seperti perempuan. Hal ini tentu menjadi ketimpangan karena laki-laki tidak mengalami diskriminasi yang sama ketika mencari pasangan. Ketimpangan beban moral ini adalah dampak dari bias gender yang dalam. Norma-norma gender yang asimetris akan mengurangi peluang perempuan dalam beberapa aspek hingga 34% ketimbang laki-laki dalam konteks yang setara.
Beban moral yang tak setara ini juga sangat merugikan perempuan dalam segi psikologis dan mental. Mereka yang tidak lagi mempunyai orang tua utuh karena meninggal dunia atau perceraian tidak lagi fokus pada kehidupan selanjutnya, tetapi mereka harus menanggung sanksi sosial dari adanya tradisi Shotel ini. Mereka dianggap tidak layak dan tidak berhak mendapatkan laki-laki baik dalam proses pencarian pasangan karena mereka tercap “tidak utuh”.
“Mendapatkan pasangan hidup setara adalah hak semua insan. Bukan hanya laki-laki saja, tetapi perempuan, sebagai bagian hidup sejarah, juga berhak atas hak untuk memilih dan mendapatkan pasangan yang mereka inginkan, tanpa harus mendapatkan stigma ketidakutuhan mereka sebagai manusia.”
Tradisi Shotel tentu akan membatasi ruang gerak perempuan dalam memilih pasangan hidup. Menentukan pasangan hidup adalah bagian dari hak asasi manusia. Membatasi perempuan dalam memilih pasangan hidup berarti memperkuat ketergantungan perempuan pada struktur sosial yang patriarkis.
Dalam penelitian “Gender and Command Property: A Critical Gap in Economic Analysis and Policy in South Asia” garapan Agarwal tahun 2021 menunjukkan bahwa kunci dalam memperkuat kemiskinan yang multidimensi adalah dengan membatasi hak perempuan dalam tubuh dan pilihan hidupnya. Dalam kasus tradisi Shotel, perempuan kehilangan otonomi atas tubuh mereka. Mereka tidak lagi merdeka dalam menentukan opsi hidup. Kehidupan personal mereka sepenuhnya teratur norma masyarakat yang tidak seimbang, yang mengakibatkan kemunduran dimensi, sehingga perempuan tidak lagi maju dan hanya menjadi budak kemiskinan.
Pembatasan hak untuk memilih pasangan adalah kejahatan, hal ini menjadi ironi bagi perempuan yang kehilangan orang tua mereka. Untuk itu, edukasi menjadi penting bagi masyarakat bahwa mendapatkan pasangan hidup setara adalah hak semua insan. Bukan hanya laki-laki saja, tetapi perempuan, sebagai bagian hidup sejarah, juga berhak atas hak untuk memilih dan mendapatkan pasangan yang mereka inginkan, tanpa harus mendapatkan stigma ketidakutuhan mereka sebagai manusia.
Dampak Sosial-Psikologis
Tradisi Shotel yang terjadi pada perempuan tidak hanya bersifat kultural, tetapi juga berdampak pada psikologis. Para perempuan yang menjadi korban tradisi ini mengalami diskriminasi dalam membangun hubungan sosial. Diskriminasi ini akan menyebabkan tekanan mental dan rendah diri. Tradisi ini juga akan memperkuat adanya alur kemiskinan, karena perempuan yang berasal dari keluarga tidak ideal seringkali akan kesulitan mendapatkan pasangan yang teranggap setara secara sosial.
Kaber (2021) menemukan bahwa manusia yang mengalami gangguan diskriminasi berbasis gender akan mengalami kecemasan hingga dua kali lipat. Gangguan kecemasan adalah gangguan yang tidak bisa teremehkan. Manusia yang mengalami gangguan kecemasan acapkali merasa tidak cukup atas pribadinya sendiri.
Hal ini terjadi karena diskriminasi yang terjadi membuatnya kehilangan kendali dan kepercayaan diri. Dalam menghadapi gangguan kecemasan ini, seorang manusia atau perempuan harus merasa cukup dan utuh terlebih dahulu. Tetapi jika tradisi Shotel terus berjalan maka kemungkinann dampak sosial dan psikologis ini akan terus terjadi pada perempuan.
Tradisi Shotel adalah tradisi yang bias gender. Tradisi ini sebisa mungkin harus dihapuskan. Masyarakat perlu menyadari bahwa nilai-nilai budaya harus berkembang seiring dengan bertumbuhnya zaman. Shotel adalah tradisi turun-temurun sehingga mengakibatkan masyarakat menjadi takut untuk melanggar karena akan membuat nenek moyang mereka marah. Masyarakat hendaknya mengubah pola pikir ini.
Pola pikir yang membatasi hak dan ruang gerak pada perempuan hanya akan berdampak buruk pada mereka. Kemiskinan dan penyakit mental bisa saja terjadi pada perempuan-perempuan yang terkungkung dalam masyarakat tersebut. Tokoh pemuda harus hadir dalam mencerdaskan masyarakat. Pemerintah sekitar juga harus menjadi tonggak dalam penegakan hukum apabila ada hak masyarakatnya terenggut, baik itu laki-laki ataupun perempuan.[]