Ialah Faqihuddin Abdul Qadir, atau akrab dengan sapaan Kang Faqih. Kiai energik  yang memiliki consern terhadap isu-isu kesetaraan, keadilan dan diskriminasi yang selama ini masih tertemui di lingkungan perempuan. Menjadi hal yang tidak mudah bagi laki-laki yang ikut serta menjunjung tinggi kesetaran dan keadilan gender. Apalagi hidup di tengah masyarakat yang masih menjunjung  kedudukan laki-laki yang lebih tinggi dari pada perempuan.
Oleh sebab itu, sumbangsih Kang Faqih di dunia keadilan gender menjadi âmitraâ antara laki-laki dan perempuan. Sekaligus mendapat banyak dukungan dan apresiasi dari berbagai pihak. Dua bukunya Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah dan Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik merupakan wujud perhatian dan upayanya dalam menjunjung kesetaraan gender.
Kang Faqih merupakan founder media mubadalah.id, akademisi, aktivis, penulis, narasumber, dan fasilitator khususnya yang berkaitan dengan tema gender dan Islam. Pun salah satu dari anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Lahir di Cirebon, Jawa Barat pada 31 Desember 1971. Ia juga dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), dan Wakil Direktur Maâhad Aly Kebon Jambu, Cirebon.
Kang Faqih menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN Kedongdong, Susukan Cirebon (1983). Melanjutkan pendidikan menengah pertama di MTsN Arjawinangun, Cirebon (1983-1986). Lalu pendidikan menengah atas di MA Nusantara, Arjawinangun, Cirebon (1986-1989). Dan mesantren di Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon (1983-1989), asuhan KH Ibnu Ubadillah Syathori atau Abah Inu dan KH Husein Muhammad atau Buya Husein.
Kemudian melanjutkan pendidikan S1 di Damaskus Syria mengambil double degree, Fakultas Daâwah Abu Nur (1989-1995) dan Fakultas Syariâah Universitas Damaskus (1990-1996). Di Damaskus, ia belajar pada Syekh Ramadhan al-Buthi, Syekh Wahbah, dan Muhammad Zuhaili, serta hampir setiap Jumat mengikuti zikir dan pengajian Khalifah Naqsyabandiyah, Syekh Ahmad Kaftaro. Ia pun aktif di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) orsat Damaskus (Kupipedia, 2021).
Muasal Mubadalah
Maab (2022) menjelaskan mengenai gagasan mubâdalah terambil dari kosakata bahasa Arab. Terderivasi dari akar kata âba-da-laâ (بدŮ) yang bermakna mengganti, mengubah, dan menukar. Sedangkan mubâdalah sendiri menyimpan makna kesalingan (mufââalah); ia juga bermakna kerja sama antara dua pihak (musyârakah), sehingga dengan demikian mubâdalah bisa termaknai dengan saling mengganti, saling mengubah, atau saling menukar satu sama lain.
Dengan demikian, gagasan mubadalah termaknai sebagai pandangan dan pemahaman dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan yang menyajikan bentuk kesalingan, kemitraan, timbal balik dan unsur yang saling menguntungkan dari kedua belah pihak. Wujud kemitraan dan keuntungan tidak hanya dalam lingkup domestik tetapi juga berperan di ruang publik.
Setara Sederajat
Penggagas mubadalah ini memaknai perempuan sebagai makhluk yang sederajat dengan laki-laki. Gagasan tersebut lahir karena adanya pandangan dikotomi antara laki-laki dan perempuan pun dengan sistem patriarki yang mengakar kuat di tengah masyarakat membuat cara pandang antara laki-laki dan perempuan tidak ramah.
Budaya tersebut berlangsung secara turun temurun dan menjadikan perempuan hanya sebagai sektor domestik, sedangkan laki-laki pada sektor publik. Hal-hal yang menyangkut kepemimpinan menjadi tanggung jawab laki-laki. Padalah Rasulullah SAW mengajarkan tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan secara fakta sejarah awla Islam menunjukkan banyaknya perempuan yang cerdas hingga menjadi ulama, cendekia, intelektual dengan beragam keunggulan dan keahlian yang dapat melebihi laki-laki (Muhammad, 2014).
Pemikiran dan gagasannya dalam konsep mubadalah adalah ruang mengenai pembahasan bagaimana tradisi Islam jadi rujukan, terakui, dan termaknai dalam konteks transformasi sosial masyarakat muslim Indonesia yang kontemporer untuk keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Kang Faqih yang ternggap sebagai feminis laki-laki Indonesia ikut serta memperjuangkan hak-hak dan peran perempuan dalam ruang publik. Mengupayakan ketersalingan dan keadilan perempuan terutama dalam diskursus kepemimpinan.
Dalam pandangannya, perspektif mubadalah wujud dari kepemimpinan tidak terdasarkan pada jenis kelamin. Melainkan dapat teremban bagi mereka yang memiliki kemampuan, keahlian, dan kapasitas dalam memimpin sehingga dengan demikian laki-laki dan perempuan dapat bekerja sama dan menciptakan kesejahteraan bagi keduanya.