Anak Perempuan Kedua: Belajar Tak Terlihat dan Tetap Bertumbuh

Anak Perempuan
Sumber Gambar: pixabay.com

Menjadi anak perempuan kedua dalam keluarga kadang terasa seperti menempati ruang kosong di antara dua sorotan cahaya. Kakak sulung sering menjadi simbol harapan dan tanggung jawab, sementara si bungsu menjadi pusat perhatian dan kasih sayang. Di antara dua kutub itu, saya tumbuh sebagai anak tengah—tidak terlalu mendapat tuntutan, tapi juga tidak terlalu termanjakan. Dengan senyap, saya belajar menyesuaikan diri dengan peran yang tak pernah benar-benar terberi nama.

Saat kecil, saya tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Saya menikmati ketenangan dan kebebasan sebagai anak kedua. Saya bisa bermain sendiri, membaca buku berjam-jam tanpa gangguan, dan diam mengamati dinamika keluarga tanpa harus ikut ambil bagian. Namun, seiring bertambahnya usia, saya mulai merasakan ruang hampa yang sulit terjelaskan. Ada rasa ingin mendapat perhatian, ingin terdengarkan, tapi tidak tahu bagaimana cara memintanya. Kadang saya merasa suara saya tidak cukup keras untuk bisa terdengar, dan kehadiran saya tidak cukup penting untuk mendapat penantian.

Saya pernah iri pada kakak saya yang selalu menjadi contoh. Ia boleh ikut berdiskusi dengan orang dewasa, orang meminta pendapatnya, dan terlibat dalam keputusan-keputusan penting. Saya juga pernah kesal kala melihat adik saya yang tampaknya lebih bebas, lebih sering mendapat maaf, dan lebih mudah termaklumi. Sementara saya? Saya berada di tengah-tengah, dan sering kali harus menahan diri. “Kamu kan sudah tahu,” kata mama setiap kali saya merasa tidak adil. Kalimat itu seolah jadi batas: kamu tidak boleh rewel, kamu harus paham sendiri.

“Kakak sulung sering menjadi simbol harapan dan tanggung jawab, sementara si bungsu menjadi pusat perhatian dan kasih sayang. Di antara dua kutub itu, saya tumbuh sebagai anak tengah—tidak terlalu mendapat tuntutan, tapi juga tidak terlalu termanjakan.”

Namun justru di sanalah pelajarannya. Dari semua ketidakterlihatan itu, saya belajar peka. Saya mendengar tanpa mendapat suruhan, membantu tanpa ada perintah, dan membaca situasi tanpa harus sebelumnya tahu. Saya memahami perasaan orang lain—karena saya terbiasa mengamati, bukan terlibatkan. Pun juga belajar bertanya pada diri sendiri, mencari jawaban dari dalam ketika tidak ada yang memberi penjelasan dari luar.

Baca Lainya  Setitik Harapan Caleg Perempuan

Suara dalam Sunyi

Pada usia tertentu, rasa “kurang terlihat” itu sempat berubah jadi krisis identitas. Saya bingung dengan apa yang sebenarnya saya inginkan. Apakah saya sungguh ingin sesuatu, atau hanya ingin mendapat pengakuan? Apakah pilihan-pilihan saya benar-benar lahir dari kehendak sendiri, atau karena ingin membuktikan diri? Tapi perlahan, saya mulai mengenal suara saya sendiri—yang dulunya nyaris tenggelam karena terlalu sering diam.

Saya ingat satu momen penting yang mengubah cara saya melihat posisi saya dalam keluarga. Saat SMA, saya senyap-senyap mendaftar lomba menulis tingkat nasional dan lolos sebagai finalis. Saat pengumuman keluar dan saya memberi tahu orang tua, mereka terkejut—bukan karena saya menang, tapi karena mereka tidak tahu bahwa saya menulis. “Kok kamu nggak cerita?” tanya ayah saya. Saat itu saya hanya tersenyum, tapi dalam hati saya berpikir: mungkin memang saya sudah terbiasa melangkah diam, tumbuh tanpa banyak orang ketahui. Dan ternyata, itu bukan hal yang buruk.

Dari pengalaman itu saya mulai menyadari bahwa menjadi anak kedua tidak membuat saya kehilangan ruang untuk berkembang. Saya hanya menempuh jalur yang lebih sunyi. Jalur yang mungkin tidak banyak sorotan, tapi memberi saya kebebasan untuk mengeksplorasi diri tanpa terlalu banyak ekspektasi. Saya bisa gagal tanpa malu, mencoba tanpa takut dibandingkan, dan berhasil tanpa harus membuktikan apa-apa kepada siapa pun.

Penyeimbang-Penghubung

Kini, saya semakin menghargai posisi saya. Saya bukan pemimpin seperti kakak saya, atau si kecil yang selalu dilindungi seperti adik saya. Tapi saya penyeimbang. Saya penghubung. Dan kadang, saya menjadi orang yang mendengarkan ketika yang lain terlalu sibuk bersuara.

Saya tahu banyak perempuan di luar sana yang mungkin mengalami hal serupa. Merasa tidak cukup menonjol, tidak cukup penting, atau tidak cukup “istimewa” di mata keluarga. Tapi saya ingin mengatakan: tumbuh dalam keheningan bukan berarti tidak berkembang. Justru kadang, dari keheningan itu, muncul ketahanan, kemandirian, dan kedalaman yang tak bisa dicapai oleh mereka yang selalu berada di tengah sorotan.

Baca Lainya  Memandang (Raga) Perempuan

Menjadi anak perempuan kedua bukanlah posisi yang harus dikasihani. Ini adalah posisi yang dengan segala tantangannya bisa membentuk pribadi yang kuat, reflektif, dan penuh empati. Kami mungkin tidak selalu dilihat, tapi kami belajar melihat. Kami mungkin tidak selalu didengar, tapi kami tahu cara mendengarkan. Dan dalam dunia yang bising ini, kemampuan-kemampuan itu sangatlah berharga.

Saya berdamai dengan tempat saya sekarang. Tidak lagi merasa harus menjadi seperti kakak saya, atau iri pada adik saya. Saya punya jalur sendiri, waktu saya sendiri, dan suara saya sendiri sebagai anak perempuan kedua. Meskipun kadang masih muncul rasa ragu atau sepi, saya tahu bahwa saya bertumbuh—dengan cara saya sendiri, dan itu cukup.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *