Sumber Gambar: freepik.com
Di tengah perkembangan zaman dan tumbuhnya kesadaran akan kesetaraan gender, perempuan mandiri (independen) kini hadir dalam berbagai ruang kehidupanābaik sebagai pemimpin, tenaga profesional, hingga pelaku usaha. Menurut data BPS tahun 2024, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia telah mencapai 55,41%, sebuah angka yang menunjukkan bahwa perempuan semakin aktif mengambil peran di ranah publik.
Meski begitu, tidak sedikit yang masih memandang keberdayaan perempuan ini dengan prasangka, bahkan menyebutnya sebagai ancaman dalam membina hubungan. Salah satu kekeliruan yang kerap muncul adalah anggapan bahwa perempuan mandiri sulit berpasangan karena teranggap terlalu kuat, terlalu dominan, atau terlalu āmajuā alih-alih laki-laki.
Padahal, sikap mandiri bukan berarti menolak cinta atau enggan membangun hubungan. Seperti tertera dalam teoriĀ Gender RoleĀ oleh sosiolog Alice Eagly, perempuan yang melampaui batas peran tradisional seringkali terhadapkan pada stigma negatif karena teranggap tidak sesuai dengan harapan dalam budaya yang masih menempatkan laki-laki sebagai pusat dominasi.
Tumbuh Bersama
Justru sebaliknya, perempuan berdaya biasanya ingin menjalin hubungan dengan seseorang yang bisa tumbuh bersama, saling menghargai, dan sepadan secara emosional maupun intelektual. Seperti kata penulis dan feminis Chimamanda Ngozi Adichie:
āWe teach girls to shrink themselves, to make themselves smaller. We say to girls, āyou can have ambition, but not too muchā. āYou should aim to be successful, but not too successful. Otherwise, you would threaten the manā.ā
āĀ Chimamanda Ngozi Adichie, TED Talk, 2013.
Kutipan ini menggambarkan bagaimana perempuan sering kali terminta menyesuaikan diri demi tidak melampaui norma gender yang sempit. Sayangnya, dalam masyarakat yang masih kental dengan nilai-nilai patriarkis, keberhasilan perempuan kerap mendapat tafsiran sebagai bentuk perlawanan terhadap laki-laki.
Perempuan yang berpendidikan tinggi dan sukses teranggap mengancam posisi laki-laki, seolah-olah peran tradisional sebagai pemimpin dalam keluarga sedang tergeser. Padahal, perempuan berkarier bukan untuk bersaing atau āmenyaingiā, melainkan untuk menunjukkan bahwa mereka juga memiliki potensi dan hak untuk berkembang sejajar.
Contohnya bisa terlihat dari figur publik seperti Najwa Shihabāseorang jurnalis independen dan aktivis sosial yang terkenal kritis dan vokal. Meski tampil kuat dan berani di ruang publik, ia juga memiliki kehidupan keluarga yang harmonis. Pernikahannya dengan Ibrahim Sjarief Assegaf menunjukkan bahwa perempuan yang mandiri tetap bisa hidup berdampingan dengan pasangan yang suportif, bukan dalam hubungan yang saling menguasai, melainkan saling menguatkan.
Sebaris Harapan
Salah satu warganet menyampaikan, harapannya sederhana: terpertemukan dengan laki-laki yang tidak merasa terancam oleh keberhasilan perempuan, tapi justru menghargainya. Sosok yang memahami bahwa kerja keras dan pendidikan tinggi perempuan bukanlah upaya untuk āmenginjakā, melainkan bentuk kontribusi nyata terhadap kehidupan bersama.
Nilai-nilai ini juga tertanamkan dari rumah. Seorang pengguna media sosial menulis bahwa ibunya selalu menasihati, perempuan harus sukses dan tidak hanya bergantung pada laki-laki. Namun, ketika sudah menikah dan sang suami mampu bertanggung jawab dengan baik, maka perempuan juga perlu menghormati dan menghargainya. Artinya, kemandirian tidak meniadakan peran laki-laki dalam hubungan, tapi menyeimbangkannya.
Dalam perspektif relasi modern, konsepĀ partnership marriageāyakni pernikahan yang terlandasi kesetaraan dan saling mendukungāsemakin sering diperbincangkan. Hubungan yang sehat bukan lagi soal siapa yang memimpin, tapi bagaimana dua individu saling menopang dan berbagi peran. Dalam model ini, cinta tidak terukur dari dominasi, tetapi dari kemampuan untuk mendampingiāmembimbing sekaligus dibimbing.
Intinya, perempuan mandiri tidak sedang mencari lawan dalam hubungan. Mereka hanya ingin diterima sebagai manusia utuhādengan mimpi, ambisi, dan rasa cintanya sendiri. Mereka tidak menuntut keunggulan, hanya ingin mendapat teman oleh seseorang yang sanggup tumbuh sejajar, mencintai sekaligus menghormati.
Sudah saatnya masyarakat mengubah cara pandangnya. Kemandirian bukanlah ancaman, tetapi kekuatan. Dan hubungan yang sehat bukan soal siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah, melainkan tentang dua individu yang memilih untuk saling menguatkan dalam perbedaan. Perempuan tidak meminta untuk ditempatkan di atas, mereka hanya ingin berjalan berdampingan.[]