Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain newsmatic dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /home/u822308407/domains/nisa.co.id/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Perempuan Independen: Bukan Menyaingi, Hanya Ingin Setara - Nisa.co.id

Perempuan Independen: Bukan Menyaingi, Hanya Ingin Setara

Kesetaraan
Sumber Gambar: freepik.com

Di tengah perkembangan zaman dan tumbuhnya kesadaran akan kesetaraan gender, perempuan mandiri (independen) kini hadir dalam berbagai ruang kehidupan—baik sebagai pemimpin, tenaga profesional, hingga pelaku usaha. Menurut data BPS tahun 2024, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia telah mencapai 55,41%, sebuah angka yang menunjukkan bahwa perempuan semakin aktif mengambil peran di ranah publik.

Meski begitu, tidak sedikit yang masih memandang keberdayaan perempuan ini dengan prasangka, bahkan menyebutnya sebagai ancaman dalam membina hubungan. Salah satu kekeliruan yang kerap muncul adalah anggapan bahwa perempuan mandiri sulit berpasangan karena teranggap terlalu kuat, terlalu dominan, atau terlalu ā€œmajuā€ alih-alih laki-laki.

Padahal, sikap mandiri bukan berarti menolak cinta atau enggan membangun hubungan. Seperti tertera dalam teoriĀ Gender RoleĀ oleh sosiolog Alice Eagly, perempuan yang melampaui batas peran tradisional seringkali terhadapkan pada stigma negatif karena teranggap tidak sesuai dengan harapan dalam budaya yang masih menempatkan laki-laki sebagai pusat dominasi.

Tumbuh Bersama

Justru sebaliknya, perempuan berdaya biasanya ingin menjalin hubungan dengan seseorang yang bisa tumbuh bersama, saling menghargai, dan sepadan secara emosional maupun intelektual. Seperti kata penulis dan feminis Chimamanda Ngozi Adichie:

Kutipan ini menggambarkan bagaimana perempuan sering kali terminta menyesuaikan diri demi tidak melampaui norma gender yang sempit. Sayangnya, dalam masyarakat yang masih kental dengan nilai-nilai patriarkis, keberhasilan perempuan kerap mendapat tafsiran sebagai bentuk perlawanan terhadap laki-laki.

Baca Lainya  Nur Rofiah: Pegiat Dakwah Keadilan Gender Islam

Perempuan yang berpendidikan tinggi dan sukses teranggap mengancam posisi laki-laki, seolah-olah peran tradisional sebagai pemimpin dalam keluarga sedang tergeser. Padahal, perempuan berkarier bukan untuk bersaing atau ā€œmenyaingiā€, melainkan untuk menunjukkan bahwa mereka juga memiliki potensi dan hak untuk berkembang sejajar.

Contohnya bisa terlihat dari figur publik seperti Najwa Shihab—seorang jurnalis independen dan aktivis sosial yang terkenal kritis dan vokal. Meski tampil kuat dan berani di ruang publik, ia juga memiliki kehidupan keluarga yang harmonis. Pernikahannya dengan Ibrahim Sjarief Assegaf menunjukkan bahwa perempuan yang mandiri tetap bisa hidup berdampingan dengan pasangan yang suportif, bukan dalam hubungan yang saling menguasai, melainkan saling menguatkan.

Sebaris Harapan

Salah satu warganet menyampaikan, harapannya sederhana: terpertemukan dengan laki-laki yang tidak merasa terancam oleh keberhasilan perempuan, tapi justru menghargainya. Sosok yang memahami bahwa kerja keras dan pendidikan tinggi perempuan bukanlah upaya untuk ā€œmenginjakā€, melainkan bentuk kontribusi nyata terhadap kehidupan bersama.

Nilai-nilai ini juga tertanamkan dari rumah. Seorang pengguna media sosial menulis bahwa ibunya selalu menasihati, perempuan harus sukses dan tidak hanya bergantung pada laki-laki. Namun, ketika sudah menikah dan sang suami mampu bertanggung jawab dengan baik, maka perempuan juga perlu menghormati dan menghargainya. Artinya, kemandirian tidak meniadakan peran laki-laki dalam hubungan, tapi menyeimbangkannya.

Dalam perspektif relasi modern, konsepĀ partnership marriage—yakni pernikahan yang terlandasi kesetaraan dan saling mendukung—semakin sering diperbincangkan. Hubungan yang sehat bukan lagi soal siapa yang memimpin, tapi bagaimana dua individu saling menopang dan berbagi peran. Dalam model ini, cinta tidak terukur dari dominasi, tetapi dari kemampuan untuk mendampingi—membimbing sekaligus dibimbing.

Intinya, perempuan mandiri tidak sedang mencari lawan dalam hubungan. Mereka hanya ingin diterima sebagai manusia utuh—dengan mimpi, ambisi, dan rasa cintanya sendiri. Mereka tidak menuntut keunggulan, hanya ingin mendapat teman oleh seseorang yang sanggup tumbuh sejajar, mencintai sekaligus menghormati.

Baca Lainya  Memanen Hikmah Anak

Sudah saatnya masyarakat mengubah cara pandangnya. Kemandirian bukanlah ancaman, tetapi kekuatan. Dan hubungan yang sehat bukan soal siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah, melainkan tentang dua individu yang memilih untuk saling menguatkan dalam perbedaan. Perempuan tidak meminta untuk ditempatkan di atas, mereka hanya ingin berjalan berdampingan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *