Sesuatu pemberian Allah kepada laki-laki dan perempuan bersifat kodrati. Pemberian terhadap keduanya tidak dapat dipertukarkan. Kodrat perempuan memiliki rahim, payudara, dan vagina, sehingga tak bisa ditukarkan kepada laki-laki.
Hal-hal yang bersifat kodrat itu tak bisa diubah dan diusahakan. Kalau saja bisa mesti bakal mendapat predikat “melawan” kodrat. Kodrat itu paten dari Tuhan. Tak bisa diutak-atik seperti puzzel.
Dalam Tadarus Budaya Ramadan subacara Dialog Kebudayaan (26/03/2024) kemarin, KH. Husein Muhamad memberi pendapat bahwa hal-hal bersifat kodrati itu sudah paten, sementara potensi bisa terupayakan oleh lelaki atau perempuan. Keduanya berlomba mencapai potensi yang sesuai harapan.
Potensi itu luas dan beragam sehingga bermuar pada hak. Contoh kecil dalam bernegara ialah hak memimpin-dipimpin, memilih-dipilih, berekspresi, dan sebagainya. Buya Husein dalam buku Mencintai Tuhan, Mencintai Kesetaraan (2014) mebeberkan soal pergulatan lelaki dan perempuan tak hanya dalam bidang sains, teknologi, politik, dan ekonomi tetapi bisa juga dalam bentuk kesenian.
Kesenian merupakan satu dari sekian bentuk kebudayaan. Ada unsur estetika dalam kesenian sehingga teranggap sebagai kebudayaan. Seni musiklah yang cukup masyhur di belahan dunia manapun.
Dalam seni musik, dan kesenian lain juga, potensi laki-laki dan perempuan itu sama. Siapa mereka yang mahir dan berbakat di dalamnya sah-sah saja bergelut dan berekpresi membawakannya.
Musik dan Dakwah
Kita bisa melihat bukti bahwa kaum perempuan berhasil menyedot rakyat Indonesia untuk suka musik-musik islami lewat grup Nasida Ria. Grup yang membawa genre kasidah modern ini berdiri pada tahun 1975 di Semarang. Sembilan anggotanya adalah perempuan semua.
Grup ini tak lain hadir dengan misi dakwah. Namun, terlepas apapun tujuannya, terbukti bahwa perempuan pun mampu dan ajeg berkontemplasi dalam kesenian musik ini. Bahkan lewat lagu-lagu mereka “Pengantin Baru”, Tahun 2000”, “Jilbab Putih”, “Kota Santri”, dsb berhasil memincut kegemaran masyarakat Indonesia pada seni musik.
Layaknya Rhoma Iram lewat musik dangdutnya, Nasida Ria menggenggam pembawaan musik kasidah modern ini agar termaknai sebagai jalan dakwah. Hingga hari ini komposisi musik mereka masih menemani ingatan rakyat Indonesia.
Lagu-lagu mereka masih di putar di acara hajatan, pengajian, dan peringatan hari besar Islam. Senandung suara dan aransemen musik memberi ciri khas tak tergantikan oleh grup-grup kasidah modern lainnya. Kerja-kerja mereka terabadikan dalam untaian doa dan pujian. Orang ingat sekelompok perempuan dari Jawa Tengah bernama Nasida Ria pernah mengisi dan mewarnai khazanah kasidah modern islami di Indonesia.