Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain newsmatic dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /home/u822308407/domains/nisa.co.id/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Membongkar Akar Trust Issue pada Perempuan - Nisa.co.id

Membongkar Akar Trust Issue pada Perempuan

Sumber Gambar: kompasiana.com

Trust issue atau kita kenal sebagai suatu problematika kepercayaan bukan hanya sekedar fenomena psikologis. Namun juga menjadi akar kuat pengalaman yang telah, khususnya, perempuan alami, dengarkan, atau lihat. Tak sedikit perempuan mengembangkan trust issue setelah mereka mendengar cerita teman-temannya terutama yang telah menikah.

Problem trust issue juga acap muncul akibat rasa trauma, ketidakadilan, atau perlakuan tidak setara. Hal itu mereka alami sendiri dalam lingkungan masyarakat yang notabene adalah patriarkal. Di sini, posisi feminisme, sebagai gerakan yang memperjuangkan keadilan-kesetaraan gender, memandang trust issue bukan sekedar problematika individual melain sebagai masalah struktural berkaitan dengan ketidaksetaraan gender.

Sebagai contoh, satu cerita datang dari Icha (nama samaran), seorang teman yang sering kali berbagi pengalaman tentang kehidupan rumah tangganya. Dalam percakapan itu, Icha mengatakan, “Suamiku dulu bilang sebelum menikah akan membersihkan rumah, mengurus anak, dan lain-lain dikerjakan bersama tapi faktanya tidak dilakukan. Yang mengurus semuanya hanya aku sendiri. Bahkan setelah pulang bekerja anak rewel pun dia tidak ingin membantu hanya sibuk dengan urusannya sendiri. Aku sendiri merasa ini tidak adil dan juga sulit untuk mempercayainya lagi karena perkataannya tidak sesuai dengan apa yang ia lakukan saat ini. Hanya omong doang”. 

Mendengar cerita tersebut tidak hanya meninggalkan bekas trauma pada Icha tetapi juga membuat teman-temannya ragu untuk mempercayai pasangan mereka lagi di masa depan. Pengalaman ini menjadi suatu gambaran nyata tentang bagaimana ketidakadilan gender dalam pernikahan terjadi. Dengan ejawantah perlahan memunculkan trust issue yang cukup mendalam pada benak perempuan. Pun menjadi problematika yang berakar pada ketidakadilan struktural, baik bagi yang telah menikah maupun belum.

Posisi Ketidaksetaraan

Ketidaksetaraan gender pada masyarakat Indonesia menjadi momok faktual yang sulit terhindarkan. Kita tahu masih banyak perempuan berada pada posisi subordinat dalam masyarakat. Baik dalam keluarga, pekerjaan, ataupun hubungan personal.

Baca Lainya  Kesetaraan di Ruang Kelas

Merujuk pada Kusmana (2014) mengutip Julia Suryakusuma dalam bukunya berjudul State Ibuism menjelaskan bagaimana perempuan juga seringkali mendapat beban peran domestik yang tidak setara. Menurutnya, “Perempuan diharapkan untuk menjadi seorang istri yang setia, ibu yang dapat mengasuh anak, dan menjadi anggota masyarakat yang pasif, sementara laki-laki memiliki hak untuk memimpin dan mengambil keputusan”

Melihat kondisi secara faktual, Harahap dan Jailani (2024) turut menjelaskan bahwa “Pada masyarakat patriarkal perempuan seringkali diharapkan untuk menjadi sosok pasangan yang harus sabar dalam setiap hal, mengurus rumah tangga, dan menerima apapun kondisi suami mereka, bahkan ketika kepercayaan mereka dikhianati”.

Ketidakadilan inilah yang bakal menciptakan sebuah kondisi perempuan menjadi sangat rentan terjadi pengkhianatan, manipulasi, dan kekerasan; baik fisik maupun emosional. Hal ini seringkali membuah-hasilkan akar dari trust issue yang oleh perempuan alami; dalam hubungan personal mereka dan juga dan sosial. Akibatnya, ketika perempuan mendengarkan kisah Icha, misalnya, mereka bukan saja merasa takut akan pengalaman serupa tetapi juga kehilangan rasa aman terhadap makna pernikahan itu sendiri.  

Feminisme sebagai Solusi

Soal trust issue pada perempuan, sebenarnya bukan ihwal sulitnya percaya pada orang lain. Namun, jika menganalisis kembali tentu akan memberi satu problematika soal bagaimana perempuan selama ini terposisikan dalam relasi sosial dan personal. Feminisme dapat menjadi solusi relevan karena menawarkan perspektif baru untuk memutus pola ketidaksetaraan yang merugikan.

Coba bayangkan, berapa banyak perempuan yang pernah merasa tidak terdengar, terabaikan, atau teranggap tak kompeten dalam mengambil keputusan? Hal-hal kecil ini sering kali menjadi akar dari trust issue. Ketika perempuan tumbuh di lingkungan yang selalu menekankan mereka harus “mengalah” atau “nrimo,” mereka jadi ragu untuk mempercayai orang lain, apalagi diri mereka sendiri. Feminisme hadir untuk membalikkan narasi ini.

Baca Lainya  Hijab Malay: Pesona Modest Fashion Incaran Yalil Yalili

Seperti tertulis dalam Jurnal Perempuan edisi 100 karya Gadis Arivia dengan berjudul “Feminisme adalah Jalan untuk Membangun Relasi yang Sehat dan Setara”. Ia menyebutkan bahwa kunci dari hubungan sehat adalah kesadaran bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk didengar, dipahami, dan dihormati. Kalau pasangan, teman, atau bahkan keluarga memahami ini, trust issue perlahan bisa terurai.  

Ambil contoh sederhana dari pengalaman sehari-hari. Banyak perempuan yang mendengar cerita teman-temannya yang sudah menikah tentang bagaimana mereka merasa tertinggal dalam pengambilan keputusan. Misalnya, suami mereka mengambil keputusan besar tanpa konsultasi, dengan alasan “demi kebaikan keluarga”. Feminisme mengajarkan bahwa relasi semacam ini perlu diperbaiki. Solusinya? Komunikasi yang transparan dan memberikan nilai kehormatan terhadap suara perempuan dalam setiap langkah.

Selain itu, feminisme juga mempertegas kebutuhan dari perempuan agar mempercayai diri mereka sendiri. Problematika trust issue sering kali tumbuh karena perempuan merasa tidak cukup baik atau tidak layak terpercaya. Ini bukan salah mereka, tetapi hasil dari lingkungan yang menanamkan gagasan bahwa perempuan harus sempurna untuk terakui. Feminisme membantu perempuan melepaskan diri dari belenggu ekspektasi ini. Dengan belajar mencintai dan menghargai diri mereka sendiri, perempuan bisa membangun kepercayaan yang kokoh—baik kepada pribadi sendiri maupun kepada orang lain.

Keterlibatan Pihak

Lantas bagaimana dengan pasangan atau lingkungan yang belum sepenuhnya memahami prinsip ini? Di sinilah peran pendidikan gender menjadi penting. Dalam artikel di Jurnal Musawa oleh Ninik Herawati, menjelaskan bahwa melibatkan laki-laki dalam diskusi feminisme adalah langkah strategis. Mencoba untuk memahami konsep dari kesetaraan, laki-laki bisa menjadi  mitra yang mendukung. Mereka akan lebih terbuka dalam komunikasi, menghargai batasan, dan tidak merasa terancam oleh kesetaraan.  Produknya adalah relasi yang lebih sehat dan penuh dengan kepercayaan.  

Baca Lainya  Berdandan: Usaha Memulihkan, Merawat Diri

Feminisme juga mendorong perempuan bahwa membangun rasa kepercayaan itu tidak instan. Butuh waktu dan usaha. Untuk perempuan yang mengalami trust issue, langkah awalnya adalah jujur pada diri sendiri: apa yang sebenarnya mereka butuhkan? Kemudian, belajar menyuarakan kebutuhan itu dengan tegas. Untuk pasangan atau lingkungan mereka, langkahnya adalah mendengar tanpa menghakimi dan memahami tanpa defensif.

Pada akhirnya, feminisme bukan sekadar teori, tetapi panduan praktis untuk menciptakan relasi yang lebih setara. Ketika perempuan dan laki-laki bersama-sama menerapkan prinsip feminisme, trust issue bukan lagi jadi beban yang harus tertanggung sendirian. Seperti yang oleh Gadis Arivia kemukakan dalam tulisannya, “Kesetaraan bukan hanya soal hak, tapi juga soal menciptakan ruang untuk saling percaya dan bertumbuh bersama.”

Trust issue pada perempuan sering kali berakar dari ketidaksetaraan gender yang telah lama terinternalisasi dalam hubungan personal maupun sosial. Feminisme hadir sebagai solusi dengan menawarkan kesadaran bahwa perempuan berhak mendapatkan penghormatan, keadilan, dan suara yang setara dalam setiap relasi. Melalui pemahaman ini, perempuan dapat mulai membangun kembali kepercayaan—baik terhadap diri sendiri maupun orang lain—dan menciptakan hubungan yang lebih sehat dan transparan. 

Namun, tanggung jawab untuk mengatasi trust issue ini tidak hanya ada pada perempuan. Tetapi semua pihak, termasuk laki-laki, harus turut serta dalam mengembangkan kesetaraan gender sebagai fondasi yang kokoh. Membangun komunikasi yang terbuka, menghormati batasan, dan memperjuangkan keadilan, kita dapat menciptakan masyarakat di mana kepercayaan bukanlah sesuatu yang sulit, melainkan bagian alami dari interaksi sosial manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *