Malala Yousafzai: Pena dan Suara Pejuang Pendidikan

“Aku tak ingin dianggap sebagai ‘anak perempuan yang ditembak oleh Taliban’, tapi ‘anak perempuan yang berjuang untuk pendidikan.’”

–Malala Yousafzai

Pendidikan menjadi satu kebutuhan pokok bagi setiap orang. Tujuannya bermuara pada keterbukaan pelbagai cakrawala pengetahuan. Lewat jendela itu, seseorang dapat membuat perubahan-perubahan. Walhasil, spektrum pendidikan mampu mendorong seseorang berkembang ke arah lebih baik.

Oleh karena itu, pemenuhan pendidikan bagi masyarakat sebuah negara menjadi sebuah sakralitas harus terpenuhi. Bayangkan, manakala suatu negara masyarakatnya rendah atau bahkan tak berpendidikan, sudah terbayang kekacauan, kerusakan, dan kehancuran akan menjamur di mana-mana. Maka, arti sebuah pendidikan, selain meningkatkan moral, pun berpengaruh atas kemajuan sebuah negara.

Di Indonesia, kita mengenal Raden Ajeng Kartini. Seorang perempuan Jawa selain memperjuangkan emansipasi, pun mendongkrak laku pendidikan rakyat Indonesia kala itu; terutama pendidikan untuk perempuan. Bersama suaminya, Kartini membangun sekolah untuk perempuan. Kepedulian ini terbentuk karena masa itu—terlepas dari budaya atau paugeran—perempuan benar-benar merasakan pelbagai ketidakadilan; marginalisasi, subordinasi, stereotip, dan sebagainya.

Dengan demikian, sejak dulu perempuan sudah “menyumbang” kecerdasan untuk kemajuan sebuah negara. Hal ini terbukti-lanjutkan oleh Malala Yousafzai. Ia adalah tokoh perempuan pejuang pendidikan dan hak-hak perempuan dari Mingora, Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan. Memiliki kesenangan menulis sejak muda, Malala aktif membagikan ide dan gagasan mengenai pendidikan di blognya.

Liku Perjuangan

Lika-liku perjuangannya dalam pendidikan cukup dramatis. Di negara tempat tinggalnya, konflik kelompok militan Taliban dan militer Pakistan tumpah di mana-mana. Kelompok Taliban inilah menjadi salah satu perlawanannya dalam menyoroti isu pendidikan di negerinya.

Salah satu dogma kelompok Taliban yang Malala tentang ialah bahwa perempuan terlarang mengenyam pendidikan. Ia tak tinggal diam, ia tak henti menyuarakan penolakan di beberapa media bahwa pendidikan adalah hak semua orang. “Berani-beraninya Taliban merampas hak saya atas pendidikan!” ucapnya pada 2008 lalu dalam sebuah siaran.

Baca Lainya  Maria Ulfah Santoso: Menteri Perempuan Pertama

Keberanian Malala membuat Taliban geram. Pada 9 Oktober 2012, kepala dan lehernya dibredel timah panas oleh kelompok Taliban. Peristiwa itu terjadi ketika ia turun dari bus selepas pulang sekolah. Upaya pembunuhan ini ulah Taliban agar militansi suara perempuan terhadap pendidikan hilang.

Peristiwa pengecaman dan intervensi ini serupa dengan Indira Gandhi. Sebagai perdana menteri, Indira tidak pro terhadap kelompok Sikh yang ingin membuat negara baru. Nyawanya tak tertolong setelah dua pengawalnya penganut aliran Sikh membredelnya dengan timah panas. Namun, Malala cukup beruntung, ia masih mendapat kesempatan untuk melanjutkan perjuangan kaum perempuan atas pendidikan.

Usaha dan Pencapaian

Hingga sekarang, ia terus bergerak dalam pemberdayaan perempuan salah satunya bidang pendidikan. Pergerakannya itu terwadahi oleh sebuah lembaga amal bernama Malala Fund yang berdiri pada 2013. Lembaga ini mengantarkan anak-anak perempuan untuk mengenal dunia pendidikan lebih luas.

Atas kerja-kerja kemanusiaan itu, ia bersama Kailash Satyarthi mendapat anugerah Penghargaan Nobel Perdamaian atas perjuangan mereka melawan penindasan dan hak pendidikan anak-anak dan pemuda pada 2014.

Tak hanya itu, Malala pun pernah berpidato di depan Forum Majelis Kaum Muda di Markas Besar PBB, New York. Isi ringkasan pidatonya ada tiga poin penting. Yaitu hak perempuan, perlawanan terhadap terorisme, dan kebodohan harus terangkat sebagai persoalan penting terselesaikan.

Perempuan peraih penghargaan Nobel Perdamaian Anak Internasional itu, pada 2013, menerbitkan buku pertamanya berjudul I am Malala. Buku berkonsep autobiografi dan memoar itu menceritakan kisah Malala bersama ayahnya berusaha memberikan hak-hak pendidikan terhadap perempuan.

Kampanye Hak Berpendidikan

Bagi Malala, pendidikan menjadi simpul penguat kualitas seseorang dengan peradaban. Perang dan kekerasan di negaranya yang menjadi sebab hak-hak perempuan ternomordua-pinggirkan harus segera berhenti. Ada hal krusial mesti terlaksana untuk kemakmuran dan kesejahteraan negara yakni pendidikan.

Baca Lainya  Pendidikan dan Perlawanan, Dua Pilar Gerakan Raden Ayu Artak

Negara-negara sudah sepantasnya memikirkan masa depan penduduknya melalui pendidikan. Menepikan egoisme kekuasaan yang berujung pada peperangan. Bila melihat dampak dari peristiwa ini, perempuan menjadi “kambing hitam” atas kekeruhan konflik politik kekuasaan.

Contoh kecil dalam sektor domestik maupun publik, porsi perempuan untuk mengenyam pendidikan mesti dipandang sama. Malala mengubah cara pandang, prinsip, konsep, sikap, dan contoh kesamaan pendidikan bagi perempuan-perempuan seluruh dunia. Kampanye hak berpendidikan ala Malala mesti terluas-lanjutkan di seluruh penjuru oleh siapapun; terkhusus perempuan.

Pada akhirnya, dunia memandang Malala sebagai simbol suara perjuangan atas pendidikan anak-anak perempuan. Malala menjadi inspirasi dan motor penggerak aktivis pendidikan di seluruh dunia dalam mengawal hak pendidikan anak-anak; terutama perempuan. Suaranya menembus sekat kesetaraan. Aumannya akan terus terdengar oleh jutaan anak-anak perempuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *