Feminisme: Jalan Menuju Kesetaraan Perempuan

Feminismer Sumber Gambar: kumparan.com

Sejak kecil, saya selalu mempertanyakan hal-hal yang menurut saya tidak adil di dunia ini. Saya mempertanyakan kenapa saat ada pertemuan (terutama di desa) hanya laki-laki yang berada di depan, duduk di kursi, dan kepentingannya terutamakan? Mengapa perempuan harus duduk di belakang, menyiapkan semua keperluan laki-laki, dan kepentingannya selalu terakhirkan? Bukankah seharusnya menyiapkan segala sesuatu bersama-sama? Saling membantu tanpa melihat latar belakang dan gender? Bukankah hal tersebut lebih menguntungkan kedua belah pihak tanpa mengunggulkan salah satunya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mengantarkan saya untuk mengenal apa itu feminisme. Banyak yang mengira feminisme adalah perempuan bergaya feminin, ada juga yang mengira feminisme merupakan gerakan kebencian untuk merendahkan laki-laki.

Melalui tulisan ini, saya berusaha menguraikan makna feminisme dari tokoh-tokoh publik yang sangat menginspirasi, sehingga mendorong saya untuk lebih mengenal gagasan itu. Salah satu tokoh dunia yakni Emma Watson, dia bukan hanya seorang aktris, tapi juga aktivis feminis yang menjadi Duta Besar PBB untuk Perempuan.

Lewat pidatonya  dalam HeForShe pada 2014 lalu, dia menyampaikan gagasannya “The belief that men and women have equal rights and opportunities” yang artinya, feminisme adalah kepercayaan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan hak dan kesempatan. 

Sedangkan di Indonesia, feminisme ada dalam tangan perjuangan R.A. Kartini. Bermula ketika beliau merasa tidak adil karena tidak mendapat hak yang sama untuk menuntut ilmu di Universitas Leiden Negeri Belanda, seperti saudara laki-lakinya. Beliau mulai memperjuangkan hak-hak perempuan yang teranggap remeh dengan sepenuh tenaganya.

Meski hanya mengenyam pendidikan dasar di sekolah Belanda, R.A. Kartini sangat haus akan ilmu pengetahuan. Beliau banyak menulis surat kepada sahabatnya di Belanda, seperti Stella Zeehandelaar dan Rosa Abendanon, untuk menyuarakan ide-idenya tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan. Surat-surat tersebut juga berisi kritik terhadap sistem yang membatasi perempuan, yang menjadi dasar dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang (1911). Belum berhenti di situ, setelah R.A. Kartini menikah, beliau juga mendirikan sekolah perempuan serta memperjuangkan pendidikan bagi mereka.

Baca Lainya  MBG, Kesetaraan, dan Kontras Perilaku Siswa Madrasah: Sebuah Analisis Sosiologis

Gerakan Penyetaraan

Feminisme bukanlah sebuah gerakan meninggikan derajat perempuan dan merendahkan derajat laki-laki, melainkan gerakan untuk menyetarakan antara perempuan dan laki-laki. Feminisme mengajarkan perempuan untuk bebas menentukan pilihannya tanpa merasa bersalah dan takut akan pengadilan orang di sekitarnya. Serta menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki di tengah-tengah budaya patriarki.

Secara logika, perbedaan gender bukanlah suatu patokan dalam memperlakukan perempuan dan laki-laki. Biasanya ini menyangkut pekerjaan rumah dan mengurus anak, serta perempuan yang tidak boleh lebih mencolok daripada laki-laki yang merupakan pasangannya, seperti mampu bekerja dan menghasilkan uang.

Memangnya apa salahnya jika laki-laki memasak, mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan rumah? Apa salahnya perempuan bekerja dengan mengenakan jas di kantor? Apa salahnya laki-laki mencuci baju dan mencuci piring? Nyatanya, tidak ada aturan yang menerangkan jika mengurus rumah dan anak hanya tugas seorang perempuan.

Mengubah Tradisi

Selain itu, siapa sebenarnya yang memulai tradisi patriarki ini? Saya sering mendengar, ketika anak perempuan mempertanyakan mengapa hanya dia yang mendapat perintah ibunya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Sedangkan laki-laki bersantai di kamar dan hanya dipanggil ketika makanan sudah siap? Banyak yang menjawab pertanyaan tersebut dengan kalimat “Karena kamu perempuan, sedangkan kakak kamu laki-laki, perempuan harus bisa masak dan mengurus rumah”.

Tidak bisa terpungkir bahwa tradisi ini sudah turun temurun dari generasi sebelumnya yang menjadi korban kegilaan ini sehingga pikirannya sudah tertanam hal demikian, dan mereka menurunkannya pada generasi di bawahnya. Laki-laki lebih terutamakan dalam berbagai hal, salah satunya pendidikan, seolah-olah pendidikan bagi perempuan tidaklah penting jika ujung-ujungnya menjadi ibu rumah tangga. Padahal seorang perempuan bisa menjadi siapapun meski jabatan “ibu rumah tangga” sudah melekat nantinya. 

Baca Lainya  Perempuan dalam Budaya Pesantren

Sebagai seorang feminis, saya mengajak para pembaca untuk bersikap adil terhadap semua manusia, tanpa membedakan gender. Kita semua memiliki hak atas hidup kita sendiri. Setara bukan berarti menghapus perbedaan dan kewajiban, tetapi memastikan setiap orang diperlakukan sesuai haknya. Saya berharap para perempuan dapat menyuarakan pendapatnya baik di dalam rumah maupun di ruang publik tanpa merasa takut ataupun diabaikan. Serta mampu untuk memilih jalan hidup yang terbaik bagi dirinya masing-masing.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *