Erna Witoelar: Menjaga Konsumen, Mengembangkan Walhi

“Iklan di beberapa stasiun televisi berdampak pada dorongan tumbuhnya konsumerisme.”

Erna Witoelar

Seorang perempuan kerap tampil dalam forum nasional maupun internasional membicarakan masalah lingkungan hidup itu bernama Erna Witoelar. Ia menjadi satu dari sekian pendiri Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sebuah organisasi gerakan lingkungan hidup terbesar di Indonesia.

Di samping aktif di Walhi, ia pun berperan penting di Yayasan Lembaga Konsumen (YLK)—kini Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)—sejak 1975. Lahir dengan nama lengkap Andi Erna Anastasia Walinono di Sengkang, Sulawesi Selatan pada 6 Februari 1947. 

Jangkar Pendidikan

Sejak kecil, kedua orang tua Erna sangat disiplin mendidik kesembilan anaknya. Ayahnya, Andi Walinono, seorang pensiunan hakim. Dengan begitu, anak kedelapan itu semasa sekolah dasar mesti rela berpindah-pindah sesuai tempat tugas sang ayah. Sedang Tingkat SMP dan SMA ia hanya menetap di Ujung Pandang.

Dalam soal pendidikan anak-anaknya, ibunya amat progresif. Taktik itu pun berhasil sebab semua anak-anaknya berhasil dalam bidang pendidikan. Selain aktif dalam pembelajarn kelas, Erna pun turut dalam pelbagai kelompok organisasi di sekolahnya seperti tari, drama, dlsb. Hal itu membuat Erna berkembang menjadi pribadi yang mudah gaul dengan siapa pun.

Pada 1965, setamat SMA, Erna melanjutkan kuliah ke Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan teknik kimia. Modal jiwa organisatorisnya dari sekolah, ia tanamkan kembali di bangku kuliah. Di majalah Intisari edisi Agustus 1987, tertulis bahwa Erna bergiat di pelbagai organisasi kemahasiswaan, seperti dewan mahasiswa, majelis permusyawaratan mahasiswa, pers kampus, Radio ITB, dlsb. Lewat kerja-kerja itu pantas ia mendapat sandangan sebagai aktivis mahasiswa.

Menjalin Kasih, Merajut Kisah

Keaktifan Erna dalam dunia aktivisme kampus membuat sekian lelaki tertarik padanya. Dari jalan itu, Erna akhirnya mendapat jodoh mantan ketua Dema ITB, Rachmat Witoelar, mahasiswa jurusan arsitek, kakak tingkatnya. Mereka menikah saat Erna masih berada di tingkat akhir. Tentu, saat menikah Rachmat lebih dulu lulus dan sudah bekerja.

Baca Lainya  Mengenal Rasuna Said, Orator Ulung hingga Dewan Pertimbangan Agung

Perkawinannya dengan Rachmat tak membuat Erna urung merampungkan kuliahnya. Beberapa waktu memang agak tersendat, sebab mesti melahirkan anak sampai dua kali. Walhasil pada tahun 1974, ia berhasil menggondol gelar insinyurnya tepat sebulan setelah anak keduanya lahir.

Resmi menyandang gelar insinyur, Erna dapat kesempatan bekerja, walau beberapa bulan, di sebuah biro konsultan. Dengan sekian ilmu yang ia miliki, ia lalu melenggang ke YLK. Di sana, pekerjaan terbasis pada ranah sosial, dan itu adalah kerja-kerja Erna semasa SMP hingga kuliah. Sejalan dengan visi-misi, YLK dibentuk untuk melindungi konsumen lewat peningkatan kesadaran masyarakat berupa hak dan kewajiban sebagai konsumen. Ringkasnya ini Lembaga sebagai wadah mengadu konsumen bila terugikan produsen; barang atau jasa.

Membentangkan YLK

Usahanya mengembangkan YLK terbilang tak mudah. Satu waktu mendapat hambatan, di waktu lain jalan lancar sentosa. Peranan sebagai lembaga pelindung konsumen terkadang melayangkan kritik pada kebijakan produsen atau pemerintah. Barangkali ini menjadi kekuatan YLK sebagai lembaga nir-laba bersifat indepen sehingga terbebas dari intervensi pihak manapun.

Hingga pada akhirnya Erna memegang kendali YLK memiliki misi menguatkan jaringan lewat kerja sama dengan pelbagai organisasi lain, seperti organisasi perempuan, remaja, pendidikan, pesantren, bahkan hingga komunitas. Cara lain pun ia tempuh lewat pengembangan pengetahuan pendidikan konsumen dengan menggunakan media massa. Kerja-kerja itu ia atur dalam tayangan lembaga konsumen di televisi, radio, hingga media cetak. Bahkan YLK sendiri sudah memiliki media cetak bernama Warta Konsumen.

Formulasi Walhi

Sekitar 1980, Erna berjasa dalam pendirian Walhi, bahkan di periode 1983-1986 ia terpilih menjadi ketuanya. Berbeda dengan YLK, Walhi memiliki tujuan mengembangkan keikutsertaan serta pastisipasi masyarakat terkait masalah lingkungan hidup. Erna, sepintas, memiliki dikotomi pandangan soal lingkungan hidup; antara pesimis dan optimis. Pesimis sebab terkadang pertimbangan lingkungan masih sering terkalahkan oleh otoritas pembangunan.

Baca Lainya  Opu Daeng Risadju: Sang Renta Ksatria Politik

Sedang optimis melihat generasi baru yang, digadang, mampu mengatasi persoalan lingkungan. Tentu dibantu dengan kemajuan teknologi serta bekal pengetahuan, generasi yang akan datang diharap mampu menemukan jalan keluar terhadap sekian paradoks masalah lingkungan. Apapun kerja-usaha hari ini sedikitnya dapat meminimalisir dampak negatif masa mendatang. Dalam pada itu, untuk memulai kerja-kerja peduli lingkungan bisa kita mulai hari ini, sekerang, detik ini, tanpa menunggu besok, nanti dan nanti.

Erna piawai dalam mengatur nahkoda Walhi, sampai-sampai pada Juli 1987 ia mendapat ajakan tugas di Operation Raleigh. Sebuah kegiatan penelitian lingkungan bersifat internasional pesertanya kaum muda dari seluruh dunia tentu dengan bimbingan sekian ahli. Objek risetnya soal flora dan fauna di beberapa daerah belum terjamah manusia. Kegiatan itu berlangsung di Taman Nasional Manusela, Pulau Seram.

Kegiatan ini, bagi Erna, sejalan dengan arah gerak Walhi yakni aktif mendorong Upaya penyelamatan dan pemulihan lingkungan hidup di Indonesia. Pun diperkuat dengan salah satu nilai dasar Walhi yakni keadilan ekologis. Jalan itu Erna tempuh tak lain demi menemukan sebuah pemecahan suatu masalah dalam ironi permasalahan lingkungan hidup.

Keluarga dan Karya

Di luar rumah, Erna adalah aktivis lingkungan dan pegiat sosial, sedang di rumah ia memiliki peran sebagai ibu rumah tangga. Walau terbilang sibuk, saban hari usaha komunikasi dengan suami dan anak-anaknya getol ia lakukan. Bersama Rachmat, Erna mendapat tiga buah hati semuanya lelaki; Aria Sulhan, Surya Cipta, dan Wirya Takwa. Bersama suami, ia membangun rumah tangga secara demokratis lewat pemberian kebebasan anak-anaknya dalam mengembangkan pribadi masing-masing.

Pilihannya bekerja di Walhi maupun YLK—keduanya di luar pemerintah—memiliki maksud mengembangkan pengetahuan masyarakat agar mandiri mampu memecahkan permasalahan. Agar tak ketergantungan pada pemerintah, yang tentu, tak bisa sepenuhnya diharapkan. Kalau sudah punya ilmu dan pengetahuan di bidang konsumen dan lingkungan, minimalnya masyarakat bisa menyelesaikan persoalannya dengan mandiri. Itu potret kecil tujuan yang Erna rancang selama bekerja di dua lembaga nirlaba itu.

Baca Lainya  Fatimah Mernissi: Feminis Muslim Pejuang Reinterpretasi Teks Islam

Lewat jalan itu, saat kebijakan pemerintah, misalnya, keluar dari pakem atau tugas yang seharunya dua lembaga yang ia geluti bisa memberi lontaran kritik. Hal ini ia analogikan dalam keluarga Erna saat anak-anaknya mengiritik baju yang ia kenakan, misalnya terkesan norak. Kritikan itu terucapkan langsung di hadapan Erna. Itulah yang Erna inginkan, daripada teranggap sebagai gunjungan yang bersuara di belakang.

Pengibaratan itu tersemat dalam konteks berwarga negara. Bahwa pemerintah seharunya bersyukur mendapat kritikan dan masukan dari LBH, YLK, Walhi, dlsb, daripada dikritik bangsa atau organisasi lain yang takt ahu menahu soal bangsa kita.

Sepanjang kariernya menjadi aktivis, Erna tak lupa menghidupi jalan akademiknya dengan, misalnya, membagikan pemikirannya lewat kata. Erna menulis beberapa buku di antaranya, Menggugat Martabat (Perempuan sebagai Konsumen) (1988), Perempuan Menyulam Bumi (2013), Menanam Selamanya, Memelihara Seterusnya (2014), dan sebagainya. Sedang terdapat buku yang membahas dirinya yakni Erna Witoelar Membangun Jembatan (2017) garapan Safrita Aryana dan Rachmat & Erna: Bersama di Dua Jalan Berbeda Berdua di Satu Jalan Bersama (2020) karya Rum Aly.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *