Film tanpa antagonis yang justru membuat penonton menangis, akhir-akhir ini kerap bersliweran di berbagai media. Film berjudul Hati Suhita merupakan adaptasi dari produk karya sastra berupa novel Best Seller karya Khilma Anis. Setelah resmi tayang pada 25 Mei 2023 lalu di seluruh bioskop Indonesia, film tersebut sukses membanjiri dunia perfilman.
Film yang mengisahkan mengenai perjodohan di pesantren iniĀ tidak hanya berhasil menggait anak muda dan pasutri, tetapiĀ komunitas, organisasi, dan aktivis pesantren mulai dari santri, alumni,Ā bu nyai, ning, juga gus. Lebih dari itu, penonton tidak hanya berasal dari kalangan pesantren, tetapi juga lintas agama.
Tidak heran apabila film tersebut sukses booming di bioskop. Mengapa tidak? Kisah yang terkemas begitu apik dan menarik. Pengambilan cerita tidak hanya berpusat pada perjodohan di dunia pesantren, tetapi juga menyuguhkan budaya dengan adat dan kepercayaan Jawa yang sarat akan makna. Budaya yang tersampaikan secara implisit dalam latar maupun dialog dalam film tersebut juga begitu baik.
Karakter Tokoh
Mengutip dari NU Online, penulis novel Hati Suhita, Khilma Anis menyampaikan bahwa film tersebut ingin menyuguhkan budaya pesantren kepada orang-orang Jawa. Serta memperkenalkan filosofi Jawa kepada orang-orang pesantren dan ajaran pesantren kepada orang Jawa. Sehingga keduanya memiliki keterkaitan yang erat.
Selain esensi dari suguhan cerita, keberhasilan dari sisi lain yang mampu menjadikan film ini banyak terbahas adalah kuatnya penokohan dalam masing-masing tokoh yang memerankan. Seperti Nadya Arina sebagai Alina Suhita, Omar Daniel berperan sebagai Gus Birru, dan Anggika Bolsterli sebagai Ratna Rengganis
.
Tiga tokoh sentral dalam cerita tersebut mampu memberikan banyak pelajaran bagi para penonton. Terutama berpusat pada tokoh perempuan yaitu Alina Suhita dan Ratna Rengganis. Dua perempuan yang harus menghadapi cinta segitiga rumit. Bersama Gus Birru yang juga mengalami pergulatan batin dalam kisah cintanya sendiri dengan berada di antara dua perempuan. Antara Kembali ke masa lalu dengan Rengganis atau justru mematahkan masa depannya dengan Alina.
Menggambarkan ketiganya dengan keadaan yang begitu rumit, penuh luka, dan air mata. Sejatinya tidak ada peran antagonis dalam film tersebut. Tetapi hal ini yang kemudian mampu membuat para penonton perlahan melepaskan tangis. Kesakitan yang terasakan tiga tokoh tersebut mampu menembus hati para penonton.
Sikap dan Prinsip
Ketabahan Alina, sebagai istri sah menghadapi suami yang tidak mencintainya, selama beberapa purnama tanpa sentuhan tanpa kasih sayang. Menjadikan prinsip mikul duwur mendem jero atau meninggikan kebaikan dan menutupi kekurangan maupun keburukan dalam keluarga ia pegang erat sebagai seorang istri untuk tetap menjaga hati Abah dan Umi. Kehebatan dan ketenangan Alina sebagai perempuan Jawa yang tinggal di pesantren dalam menghadapi prahara rumah tangganya sendiri terkuatkan dalam kutipan novel Hati Suhita.
Alina suhita, sejak awal aku mengenalnya memang seperti kembang teratai. Dia mekar, tumbuh lurus di atas permukaan air tapi tidak tenggelam. Ia tegak seperti teratai meski kadang air itu berlumpur dan kotor ia tenang dalam keindahan. Berdiri di atas daunnya yang besar seperti tajam. Mengapung di air (Anis, 2019: 43).
Di sisi lain, tokoh Rengganis juga menampakkan sisi ketangguhan sebagai seorang perempuan. Konsep yang Khilma Anis usung dalam film tersebut tidak hanya menjelaskan bahwa perempuan harus mampu legowo atau bersikap menerima.
Tetapi lebih dari itu, pesan yang tersampaikan bahwa perempuan harus mampu bersikap sportif, terutama dalam urusan percintaan. Menerima sebuah kekalahan dan mengakui sebuah kemenangan. Sikap ini yang muncul dalam tokoh Ratna Rengganis.
Bersikap sportif atas keadaan yang menimpanya. Bahwa ia tidak hanya menerima kekalahan atas peperangan di antara ia, Alina dan Gus Birru mantan kekasihnya, tetapi juga mengakui bahwa Alinalah yang berhasil memenangkan pertarungan batin ini. Hal tersebut yang kemudian mampu menjadikan Ratna Rengganis memiliki ketangguhan prinsip yang kuat untuk tetap mengalah dan tidak merebut kembali apa yang telah hilang darinya.
Ketabahan dan Ketangguhan
Berkaca dari ketabahan Alina dan ketangguhan Rengganis memberikan gambaran bahwa perempuan mampu menyelesaikan konflik yang teralaminya dengan ketenangan dan kecerdasan. Stereotipe bahwa perempuan mendapat interpretasi mahluk yang lemah, emosional, tidak memiliki kecerdasan, dan cenderung pasif seakan terbongkar oleh kedua tokoh Wanita tersebut.
Alina dengan kecerdasan emosional dan spiritualnya mampu bertahan karena memegang prinsip bahwa Wanita adalah wani tapa, berani bertapa. Tapa-Tapak-Telapak sebab di sanalah kekuatan seorang Wanita berada agar dapat menghasilkan keteguhan diri. Tidak lain dengan Rengganis tokoh yang berwatak pandai membawa diri dan cerdas secara intelektual maupun emosional ini menunjukkan kemampuannya dalam menghubungkan antara pengetahuan dan realitas yang sedang terjadi di hadapannya. Sehingga mampu menyelesaikan dengan baik permasalahan yang sedang terjadi.