Dangdut dan Goyangan: Stigma Budaya Perempuan

Gambar bersumber dari Tirto.id

Tatkala membahas musik dangdut, kita tak akan lepas dari entakan gendang dan goyangan biduannya. Adakalanya kualitas suara biduanita kalah pamor oleh goyangannya. Tak heran manakala dangdut dan perempuan bersanding akan memunculkan sebuah stigma, yaitu erotisme. Fenomena goyang dangdut memang kerap menyita perhatian publik. Selain ingin mendengar sihir suara penyanyinya, penonton pun menanti pertunjukan goyangannya. Konon, goyang dangdut lebih mengakrabi mata para penontonnya. 

Pada 2003, Inul Daratista pernah menghebohkan jagat dangdut nusantara melalui goyang ngebor-nya. Tak sedikit pihak mengecam, mengimbangi banyak pula membela. Goyang ngebor bermula hanya sebatas hiburan malah termaknai sebagai pemecah belah rakyat. Sang Raja Dangdut Rhoma Irama misalnya, mencekal perempuan bernama asli Ainur Rochima itu tampil di televisi lagi. Goyang ngebor-nya yang menggerak-nonjolkan pinggul dan pantat konon bisa merusak moral bangsa. Tuduhan lain menilai goyangan ini bakal memicu maraknya kasus perkosaan. Sangat Absurd bukan? Apa hubungannya?

Kreativitas Dangdut

Sementara dalam buku Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012), Andrew N. Weintraub mencantumkan studi kasus tentang goyang Inul. Para pengecam goyang ngebor menganggap Inul melanggar kesusilaan. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat itu, sampai mengeluarkan fatwa bahwa goyang dan kostum Inul berkategori pornografi.

Shinta Nuriyah, aktivis perempuan dan istri almarhum Gus Dur, turut mengomentari persoalan ini dalam majalah Kartini edisi 15-29 Mei 2003. Tak ada seorang pun yang boleh melarang orang lain mengembangkan kreativitas pribadinya, tegas mantan Ibu Negara tersebut. Shinta malah merasa terhibur dengan goyangan Inul sebagai fenomena baru kala itu.

Tudingan goyang ngebor sebagai perusak moral dan penyebab kasus perkosaan terbantah mentah oleh Shinta. “Semua hal itu tak selalu buruk dipandang, tergantung siapa dan dari sudut mana melihatnya. Menyoal goyang ngebor mengarah pada hal pornografi, itu hanya persepsi pikiran ngeres yang mengatakannya saja,” ucap Bu Sinta Nuriyah kala itu.

Baca Lainya  Pendidikan Perempuan, Kunci Perubahan Dunia

Layaknya kasih dan rasa sayang ibu terhadap putrinya, Shinta berpesan pada Inul untuk lebih menjaga etika dalam berpakaian. Seperti mengenakan pakaian agak longgar agar meminimalisir terlihatnya lekuk tubuh dan memanjangkannya supaya menutupi area pantat. Sehingga stigma-stigma negatif terhadap perempuan—biduanita—dapat terisolir dengan sendirinya.

Lebih jauh, tak hanya Inul, sederet penyanyi dangdut pun kerap mendapat persoalan mengenai goyangannya. Seperti Duo Serigala dengan goyang dribel-nya, Zaskia Gotik dengan goyang itiknya, Annisa Bahar dengan goyang patah-patahnya, dan masih banyak lainnya. Kesemua goyangan itu teranggap terlalu vulgar sehingga tak layak tampil di hadapan masyarakat.

Presiden Ke-4 Republik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) angkat bicara menyoal fenomena goyang dangdut ini. Pasca heboh akan goyang ngebo­r, mendiang memberi wejangan kepada Inul agar tak gentar menghadapi para pengecamnya kala itu. Gus Dur berkelakar bahwa goyang Ngebor yang Inul lakukan menjadi sebuah kreativitas seorang penyanyi dangdut. Mencekal seseorang berekspresi dan berkarya—bergoyang—sama saja memasung hak dan kebebasannya.

Budaya Bergoyang

Terpacak di kepala para penggemarnya bahwa goyangan dan dangdut satu kesatuan yang tak terpisahkan. Agak rancu manakala musik dangdut berdendang namun sepi orang bergoyang. Dangdut dan bergoyang sudah menjadi satu paket budaya di masyarakat kita. Kalau ada dangdut harus ada goyangannya, begitu kira-kira rumusnya.

Khansa Nabilah, dalam buku Goyang Aksara (2018) menarasikan bahwa goyangan dari tiap-tiap biduanta menjadi daya tarik tersendiri. Sudah menjadi budaya manakala lelaki mendominasi sebagai penonton dangdut. Goyangan di dalamnya seperti membantu melariskan agar musik ini tetap didengar-saksikan.

Hal itu bisa kita lihat dalam pentas-pentas kesenian di beberapa daerah. Di pesisir Cirebon-Indramayu, tempat saya tinggal misalnya, grup dangdut tarling kerap mengisi hiburan di pelbagai acara hajatan. Selain musik khasnya, daya jual grup tarling adalah goyangan biduanitanya. Bahkan penonton dan pengundang diajak bergoyang bersama di atas panggung. Dengan begitu saweran pun akan semakin banyak didapat.

Baca Lainya  Menciptakan Kesetaraan dari Akar

Persoalan sederhana ini dapat ditarik dalam dua perspektif; negatif atau positif. Tergantung siapa dan dari sudut mana memandangnya. Seorang biduanita bergoyang dengan ciri khas tersendiri tak lain hanya sekadar menghibur penggemar atau tuntutan pekerjaan. Rasa-rasanya tak mungkin secara sesumbar dan jemawa seorang biduanita berniat buruk ingin menghancurkan moral bangsa melalui goyangannya.

Mari berpikir dengan lebih terbuka menyikapi relasi antara dangdut, perempuan, dan goyangan. Agar kelak tak ada kasus perampasan hak dan kebebasan seseorang—khususnya perempuan—dalam berekspresi dan berkarya. Kritik dan masukan dalam sebuah perilaku tentu diperlukan, namun jangan sampai menghakimi bahkan menyumpah-serapahi seseorang yang belum tentu salah.

Dari persoalan goyangan dangdut tersebut muncul sebuah pertanyaan, kenapa harus perempuan yang jadi korban (disalahkan)? Padahal pikiran ngeres terhadap goyangan dangdut muncul dari penolaknya. Mengapa tak seharusnya pikiran mereka saja yang disalahkan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *