Panggilan Darurat Pelecehan Seksual

Sumber Gambar: news.detik.com
Sumber Gambar: news.detik.com

Belakangan, kembali tersiar berita menyayat hati di bidang kesehatan. Kasus pelecehan seksual kembali mengguncang publik, dan ironisnya pelakunya adalah seorang dokter. Bidang kesehatan yang selama ini memiliki citra tinggi di kalangan masyarakat membunyikan bom mengguncang keyakinan dan kesedihan mendalam bagi masyarakat. Hal semestinya masyarakat merasa aman dan terbantu, kini harus menerima kenyataan pedih karena sektor itu tak luput dari praktik kotor.

Situasi kontradiktif ini perlahan meruntuhkan citra mulia yang melekat pada profesi kesehatan. Tak hanya menjadi benteng terakhir mereka yang membutuhkan, bidang kesehatan saat ini seolah sedang bergandengan erat dengan skandal sulit terabaikan. Kepercayaan publik yang selama ini terbangun, kini terancam runtuh akibat peristiwa memilukan ini.

Jumlah kasus pelecehan dan kekerasan seksual dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Komnas Perempuan dan Mitra CATAHU mencatat kasus kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan paling banyak terjadi pada 2024. Angkanya mencapai tertinggi yaitu 17.305 kasus. Begitupun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), adanya peningkatan kasus kekerasan seksual dari 12.836 kasus pada tahun 2023 menjadi 14.374 kasus pada tahun 2024. 

Pada tahun 2025, melansir laman resmi Pusiknas Bareskrim Polri, jumlah laporan kekerasan dan pelecehan seksual pada tujuh hari awal tahun lebih banyak daripada tahun 2024 yakni menunjukkan 17 polda menerima laporan kasus pelecehan seksual.

Sekian banyak kasus yang terjadi, mayoritas korbannya adalah perempuan (sekitar 80,4%), dan lebih dari separuhnya adalah anak anak (62,6%). Sedangkan berdasarkan wilayah, pulau Jawa menjadi titik terparah, yaitu Jawa Timur (579 kasus), Jawa Tengah (439 kasus), dan Jawa Barat (387 kasus).

Ranah Pendidikan

Meningkatnya kasus kekerasan seksual berdasarkan data dari tahun ke tahun membuktikan praktik kekerasan tidak hanya terjadi dalam ranah privat saja, tapi juga mengintai lingkungan pendidikan. Pendidikan tinggi menjadi pondasi kemajuan peradaban yang memegang peran krusial dalam mencetak generasi penerus bangsa terharapkan dapat menghasilkan pengetahuan dan karakter gemilang. 

Baca Lainya  Menikahi Korban Bukan Solusi

Sebagai lumbung ilmu pengetahuan dan kawah candradimuka para pelajar dan profesional, idealnya menjadi lingkungan pendidikan memiliki ruang aman menumbuhkan potensi keilmuan tanpa adanya rasa takut.  Sayang sekali narasi tersebut mutakhir kerap kali terdistorsi oleh bayangan kekerasan dan pelecehan dari berbagai jenjang pendidikan mulai dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Adanya berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan menjadi fenomena yang tidak hanya merusak pengalaman belajar individu tetapi juga dapat mengancam keberadaan integrasi sistem pendidikan secara komprehensif.

Tak dapat terpungkiri memang dunia pendidikan belakangan ini kerap kali mengalami kasus pelecehan dan kekerasan. Misalnya, kasus pelecehan seksual terjadi kepada belasan siswa SD di Depok hingga tiga kali pada periode Agustus 2024 hingga Maret 2025 oleh oknum gurunya sendiri. Usia mereka masih di bawah umur tapi mesti menerima nasib naas. Yang seharusnya mereka belajar dengan lingkungan nyaman tapi malah tidak mendapatkannya.

Goresan Luka Batin

Belakangan, juga terjadi kasus lebih terang yaitu adanya kasus kekerasan dan pelecehan yang mencuat di lingkungan program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Hal tersebut menjadi masalah mendesak dan pastinya berdampak luas pada sektor pendidikan di berbagai kalangan. Di tengah citra harum selama ini melekat pada Universitas Padjajaran, skandal ini sontak menjadi buah bibir dan memaksa publik untuk banyak menarik nafas.

Pertanyaan besar dan asumsi-asumsi terlintas di benak pikiran masyarakat berpotensi akan meruntuhkan reputasi institusi terkemuka tersebut. Lebih dari sekedar goresan luka batin untuk korban, kasus ini juga akan menyeret pihak pihak tak bersalah terjerumus dalam pusaran dampak negatif akibat perbuatan segelintir oknum yang sudah mencoreng nama baik almamater.

Reputasi dunia pendidikan yang semestinya terbangun di atas fondasi prestasi dan usaha kemajuan, kini terancam runtuh akibat isu memilukan tersebut. Sungguh ironis, mereka mengenyam pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi agen perubahan positif dan menjadi panutan malah justru menggerogoti dan mengkhianati amanah. Pelecehan seksual di lingkungan pendidikan adalah tragedi yang bukan hanya sebuah isu, tetapi sebuah tamparan keras untuk kita, bahwa kejahatan ini tidak bisa mendapat toleransi.

Baca Lainya  Fenomena Mengerikan Setrika Payudara Perempuan

Optimalisasi Satgas

Berbagai cara untuk menengani kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi sebenarnya sudah berjalan. Misalnya membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS) di masing-masing perguruan tinggi. Satgas terbentuk untuk mencegah dan menangani kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021. Satgas PPKS berfungsi sebagai garda depan dalam menciptakan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan, termasuk pelecehan seksual.

Peran dan fungsi satgas, salah satunya melakukan sosialisasi, pelatihan, dan kampanye untuk meningkatkan kesadaran dan menciptakan budaya anti-pelecehan seksual di kampus. Kemudian melakukan pendampingan, perlindungan, pemulihan, dan penanganan kasus pelecehan seksual yang terlaporkan. Wewenang optimal satgas adalah membantu perguruan tinggi dalam menyusun kebijakan internal terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Pada kenyataannya, masih banyak kita menjumpai kasus-kasus pelecehan seksual di kampus. Bahkan, kasus tersebut terjadi di perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Adanya Satgas PPKS tak membuat gentar para pelaku terus melakukan aksi. Salah satu sumbernya adalah kebijakan di masing-masing internal perguruan tinggi kurang memberikan ancaman yang serius bagi pelaku. Misalnya, dosen yang melakukan pelecehan seksual tidak mendapat sanksi tegas. Pihak universitas hanya memindah-tugaskan pelaku dari pengajar menjadi pegawai teknis atau hanya diberhentikan sementara. 

Praktik Amoral

Jarang ditemui penangannya masuk dalam tindak pidana. Padahal tindak pidana pelecehan seksual sudah termaktub di KUHP dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Melalui UU TPKS, Satgas masing-masing perguruan tinggi seharusnya dapat lebih proaktif dalam menindak para pelaku. Sehingga dibutuhkan optimalisasi peran dan tugas bagi Stgas PPKS di lingkup perguruan tinggi.  

Baca Lainya  Anak Perempuan Kedua: Belajar Tak Terlihat dan Tetap Bertumbuh

Selain faktor kebijakan, penanganan, dan pendampingan juga butuh diubah. Penanganan serta pendampingan pada korban berisfat button-up. Satgas menunggu laporan dari pihak korban. Padahal pihak korban sudah mengalami tekanan psikologis luar biasa saat mendapatkan perlakuan amoral tersebut. Seharusnya Satgas bertindak secara top-down, Satgas lebih proaktif untuk mengajak para korban untuk melapor. Tim Satgas bisa menerapkan sistem jemput bola, mulai dari penyelidikan untuk menghimbun informasi, mendekati para korban, serta melakukan pendampingan secara penuh terhadap korban.  

Ketika para korban diminta proaktif, maka yang terjadi adalah tidak terkuaknya praktik amoral di institusi pendidikan. Para korban cenderung akan lebih memilih diam.  Dikarenakan pelaku pelecehan seksual merasa superior karena kedudukan sosial, ekonomi, atau hierarki dalam suatu organisasi atau lingkungan. Hal ini bisa mendorong perilaku pelecehan karena pelaku merasa memiliki hak atau wewenang untuk mengendalikan korban.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *