Sumber Gambar: unair.ac.id
Kesetaraan berasal dari kata “setara” yang berarti sama, seimbang, selevel. Atau bisa juga berarti “Menyamakan sudut pandang yang berbeda”. Contohnya seperti penyetaraan orang-orang kulit hitam dengan kulit putih. Padahal jika melihat dari mata (bentuk fisik) orang-orang kulit hitam dengan kulit putih tidak bisa tersetarakan (tersamakan).
Kecuali dengan adanya perubahan dari kulit hitam menjadi putih, ataupun sebaliknya. Namun secara sudut pandang, yang bukan hanya dari mata atau dengan kata lain secara hakikatnya, orang-orang kulit hitam dan kulit putih itu setara. Hal ini bisa terlihat dari adanya persamaan hak sebagai manusia dan hak menentukan pilihan hidup.
Pelanggaran ketidaksetaraan tentunya sudah banyak terjadi di sekitar. Seperti diskriminasi orang-orang kulit hitam dari kulit putih di Amerika. Rezim NAZI yang membantai kaum Yahudi di Jerman. Zaman kolonialisme Belanda di Indonesia yang membatasi pendidikan anak-anak pribumi, melecehkan wanita, dan mempekerjakan paksa laki-laki pribumi. Serta menyalahgunakan kekuasaan pada masa Orde Baru juga menjadi salah satu contoh pelanggaran kesetaraan di Indonesia. Pada intinya, hampir semua yang melanggar HAM juga melanggar kesetaraan.
Motif Kesetaraan
Dari rentetan contoh-contoh tadi, ada satu kasus di kelas saya yang menjadi salah satu pelanggaran kesetaraan. Yakni kasus menyinggung kesetaraan gender. Sudah menjadi ketentuan umum suatu kelas terpegang oleh seorang wali kelas.
Kasus sekaligus fenomena yang saya sampaikan ini adalah tentang wali kelas “pilih- pilih” dalam menanggapi murid. Mengapa demikian, karena wali kelas saya hanya menanggapi dua murid dari 22 murid yang ada. Hal ini tentunya bukan saya saja yang merasakan tapi para murid lain juga demikian.
Kejadian ini tidak hanya di kelas, karena pada saat pemilihan ketua dan wakil ketua OSIS beliau hanya berkoordinasi dengan pengurus OSIS berkelamin tertentu. Walaupun tidak secara langsung menyampaikan tapi dalam kenyataan di lapangan beliau berat sebelah pada satu jenis kelamin.
Padahal tubuh OSIS terikuti oleh dua jenis kelamin berbeda. Misal dalam persiapan dan pelaksanaan acara. Ada juga kejadian yang terjadi dalam lingkup kelas, ketika kegiatan lomba kebersihan kelas. Setiap kelas mendapat anggaran 200 ribu rupiah dari sekolah yang tersalurkan lewat wali kelas.
Pada saat itu, ketua kelas (berjenis kelamin A) menemui wali kelas untuk meminta anggaran tersebut. Anehnya wali kelas mengatakan bahwa uang dari sekolah belum cair. Pada saat itu, teman-teman sekelas bingung karena kelas lain sudah mendapat anggaran dari wali kelasnya.
Akhirnya ketua kelas pun menyuruh dua murid (yang berjenis kelamin B) untuk mencoba meminta anggaran ke wali kelas. Dan, kala yang minta dua siswa tersebut beliau langsung memberi uang tersebut. Pada intinya, dari 22 murid di kelas, yang paling mendominasi dalam mendapat perhatian hanya dua orang murid tersebut.
Menyikapi Karakter
Dari sini bisa kita artikan bahwa di dalam kelas tersebut belum terjadi sebuah kesetaraan yang guru tersebut lakukan. Hal ini bukan hanya terjadi pada angkatan saya tapi sudah sejak dari dulu, bisa terbilang bahwa hal ini sudah menjadi karakter dari wali kelas tersebut.
Menurut pandangan saya sebab dari kasus dan fenomena ini karena dua murid tersebut yang paling mendapat kepercayaan. Sebab mereka sudah pernah ikut dalam ajang perlombaan di mapel yang wali kelas tersebut pegang. Alasan mengapa beliau hanya mau bekerja sama dengan OSIS perempuan karena para OSIS perempuan lebih patuh (tidak sering memberi usulan).
Berbeda dengan OSIS putra yang sering menyanggah dan memberi usulan. Padahal yang saya rasa usulan-usulan dari teman-teman putra termasuk usulan yang membangun. Murid-murid dahulu yang pernah terwalikelasi olehnya juga banyak yang mengatakan jika kerap menganaktirikan.
Efek atau dampak dari kejadian ini adalah sebagian murid yang tidak suka dengan guru tersebut. Karena terus-terusan hanya murid putri yang terperhatikan. Hal ini saya ketahui dari banyaknya teman-teman yang mengomongkan tentang guru tersebut.
Namun pada akhirnya semua kembali ke karakter masing-masing dalam menyikapi. Toh, guru tersebut seperti itu juga karena karakternya sendiri. Murid putri juga biasa dengan guru tersebut walaupun terkadang ada sedikit ketakutan. Dan yang laki-laki juga merasa biasa saja walaupun ada rasa tidak suka. Juga tinggal menunggu untuk keluar dari kelas itu, untuk lepas dari guru itu, dan untuk pergi dari sekolah itu.