Sumber Gambar: mediahusbandry.com
Ketika kita berbicara tentang tokoh perempuan dalam sejarah Islam di Indonesia, nama Siti Walidah atau yang lebih karib dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, seharusnya menjadi salah satu yang paling teringat dan terhormati. Ia bukan hanya seorang istri pendiri Muhammadiyah, tetapi seorang pemimpin pemikiran, pelopor pendidikan, dan pejuang hak perempuan di masa ketika suara kaum wanita masih nyaris tak terdengar. Melalui langkah-langkah sunyi tapi pasti, Siti Walidah telah membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi motor penggerak perubahan dalam masyarakat, bukan dengan kekuatan fisik, tetapi dengan visi, ilmu, dan keberanian moral.
Lahir pada tahun 1872 di Kauman, Yogyakarta, Siti Walidah tumbuh dalam lingkungan religius yang kental. Ayahnya adalah seorang penghulu keraton, yang juga memiliki pesantren. Dari sinilah Siti Walidah mengawali pendidikannya. Ia mempelajari Al-Qur’an, hadis, dan kitab-kitab klasik sejak kecil. Meski saat itu pendidikan formal bagi perempuan sangat terbatas, semangat belajarnya tak pernah padam.
Gerakan Pembaruan
Walidah tumbuh menjadi sosok yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Ia melihat langsung bagaimana perempuan dalam masyarakat saat itu seringkali teranggap sebagai warga kelas dua. Artinya, tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan hanya terbatasi pada urusan rumah tangga.
Perasaan tidak adil itu tidak hanya ia pendam. Walidah menjadikan itu bahan renungan dan titik tolak perjuangannya. Bersama suaminya, KH. Ahmad Dahlan, Walidah turut serta dalam gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Namun, ia tidak hanya mendukung dari belakang. Ia berada di garis depan perjuangan untuk perempuan.
Siti Walidah membentuk majelis pengajian bagi kaum ibu dan remaja perempuan yang kemudian terkenal sebagai Sopo Tresno. Kelompok ini bukan hanya ajang pengajian biasa. Di dalamnya, perempuan-perempuan belajar membaca Al-Qur’an, menulis, berhitung, hingga berdiskusi tentang masalah sosial. Ini adalah hal yang sangat radikal pada masanya. Dari kelompok kecil inilah tumbuh Aisyiyah, organisasi perempuan Islam pertama di Indonesia yang hingga kini tetap aktif dan berkembang luas di seluruh negeri.
Apa yang Siti Walidah lakukan adalah bentuk nyata dari keberanian berpikir maju. Ia tidak menunggu izin dari sistem yang timpang. Ia tidak menunggu waktu yang “tepat” untuk bertindak. Ia memulai dari hal-hal kecil di sekitarnya, dengan keikhlasan dan komitmen tinggi. Perjuangannya tidak hanya mengangkat derajat perempuan, tetapi juga memperkuat peran perempuan dalam dakwah Islam yang inklusif, memberdayakan, dan mencerdaskan. Bagi Siti Walidah, perempuan adalah tiang negara. Jika perempuan terdidik, maka bangsa akan kokoh. Jika perempuan kuat, maka masyarakat akan beradab.
Warisan dan Relevansi Perjuangan
Perjalanan Siti Walidah tidaklah mudah. Ia sering mendapat cibiran karena mengajak perempuan untuk belajar dan berkumpul. Sebagian masyarakat menganggap tindakannya menyalahi norma. Tetapi ia tidak gentar. Ia memahami bahwa perubahan memang tidak selalu tersambut baik pada awalnya. Ia sadar bahwa perjuangan butuh keteguhan hati dan visi jauh ke depan.
Dalam banyak kesempatan, ia tetap menekankan bahwa Islam adalah agama yang memuliakan perempuan, dan tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang menyuruh perempuan untuk hidup dalam ketertinggalan. Dengan landasan inilah ia terus menguatkan langkahnya, meyakinkan para perempuan bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban untuk belajar, berpikir, dan berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat.
Relevansi perjuangan Walidah sangat kuat dalam konteks kehidupan perempuan muslim hari ini. Di tengah kemajuan teknologi, globalisasi, dan tantangan sosial modern, perempuan kembali terhadapkan pada berbagai pilihan dan tekanan. Banyak yang masih merasa ragu untuk mengambil peran publik karena khawatir menyalahi kodrat atau tidak mendapat dukungan.
Banyak yang merasa harus memilih antara menjadi ibu yang baik atau menjadi pemimpin di luar rumah. Di sinilah Siti Walidah memberikan pelajaran yang luar biasa. Ia menunjukkan bahwa perempuan bisa menjalankan perannya sebagai istri, ibu, pendidik, dan aktivis secara seimbang. Ia tidak harus mengorbankan satu peran demi peran lainnya, selama semuanya berjalan dengan niat yang benar dan pengelolaan waktu yang bijaksana.
Agen Perubahan
Siti Walidah juga mengajarkan bahwa kekuatan perempuan tidak selalu harus bersifat keras atau konfrontatif. Ia menggunakan pendekatan kasih sayang, pendidikan, dan keteladanan. Ia menanamkan nilai-nilai Islam dengan lembut tapi kuat. Ia tidak berteriak, tetapi kehadirannya menggerakkan. Ia tidak memaksa, tetapi wawasannya menyadarkan. Dari sinilah kita bisa belajar bahwa menjadi agen perubahan tidak harus menempuh jalur yang keras. Cukup dengan konsisten pada nilai, teguh pada keyakinan, dan tulus dalam tujuan, kita bisa membawa pengaruh besar dalam lingkungan kita.
Hari ini, nama Siti Walidah terkenang sebagai Pahlawan Nasional. Tetapi lebih dari sekadar gelar, warisan terbesarnya adalah semangat dan keberaniannya untuk bermimpi besar bagi perempuan. Ia membuka jalan, agar generasi perempuan setelahnya bisa berjalan lebih mudah. Maka, tugas kita bukan hanya mengenangnya sebagai bagian dari sejarah, tetapi melanjutkan langkahnya sebagai bagian dari cita-cita yang masih belum sepenuhnya tuntas.
Perempuan masa kini adalah mereka yang belajar dari masa lalu, hidup dengan kesadaran hari ini, dan bergerak untuk masa depan. Jadilah perempuan yang tidak hanya menempati ruang, tetapi menghidupkan ruang. Jadilah perempuan yang tidak hanya berbicara tentang perubahan, tetapi menjadi wujud dari perubahan itu sendiri. Sebagaimana yang telah Siti Walidah contohkan, maril kita bangun dunia yang lebih baik. Bisa termulai dari keluarga, komunitas, dan lingkungan terdekat kita. Sekarang saatnya kita ambil peran dan tunjukkan bahwa perubahan itu menyembul dari langkah kita sendiri.[]