“Tujuan hidup adalah untuk percaya, berharap, dan berusaha.”
Indira Gandhi, Mungkin nama itu terdengar asing di telinga kita, sebagai masyarakat Indonesia. Berbeda dengan di tanah kelahirannya India, pamor Indira Gandhi menjamur di mana-mana. Namanya terabadikan menjadi yayasan pendidikan, gedung olahraga, universitas, bahkan Bandar udara.
Laku sejarahnya mendapat penghargaan tak lain karena Indira adalah perempuan pertama yang berhasil menjabat Perdana Menteri India. Semasa menjabat, pelbagai persoalan menyelimuti kebijakannya dalam mengatur kendali pemerintahan. Masyarakat patriarkal satu di antaranya, mendominasi hiruk-pikuk kehidupan di India kala itu.
Perempuan bernama asli Indira Priyadarshini Nehru itu merupakan putri Perdana Menteri pertama India, Jawaharlal Nehru. Nehru adalah tokoh penting dalam gerakan kemerdekaan India. Sifat gigih dan pemberani ayahnya menurun pada diri Indira. Indira adalah sosok perempuan berani nan tega, tidak mengherankan jika segala tindakan dan keputusannya kerap menuai gejolak dan kontroversi. Bahkan sosok legendaris Indira pun memiliki banyak musuh berupa Gerakan opisisi.
Kegigihannya dalam menyuarakan kebenaran, membuat Indira tak luput dari pelbagai teror upaya pembunuhan. Hal itu terjadi pada 31 Oktober 1984, kedua kedua pengawal Indira pemeluk ajaran Sikhisme bernama Satwant Singh dan Beant Singh menembak mati Indira.
Usut punya usut, sebelumnya Indira mengintruksikan penyerangan ke kuil emas di Kota Amritsa, Punjab. Kuil ini menjadi markas pengikut Sikh, satu dari sekian agama besar di India, yang menginginkan Punjab sebagai negara merdeka.
Perjalanan Politik
Perjalanan Indira menjadi PM tak ujug-ujug mulus. Politikus Partai Kongres ini dijadikan “boneka bodoh” oleh para politisi seniornya. Dalam Kompas.id (24/11/2018) tertulis politisi senior tersebut seperti S Nijalingappa, K Kamaraj, SK Patil, Sanjeeva Reddy, dan Atulya Ghosh, mafhum sebagai “The Syndicate” karena mereka mengontrol kekuasaan Indira di balik layar.
The Syndicate mendukung Indira menjadi PM, selain karena putri Jawaharlal Nehru, agar bisa tersetir dan mengikuti permainan mereka. Faktanya, Indira tak mudah tersetir, bahkan ia sampai merekrut beberapa penasihat politik dan ekonomi dari luar partai. Pengaruh The Syndicate perlahan ia singkirkan oleh agenda politiknya sendiri.
Sikap Indira termaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap subordinasi. The Scydicate mengira perempuan seperti Indira hanyalah remeh dan gampang tersetir. Namun, perkiraannya meleset dengan keberanian Indira yang berhasil memicu gejolak internal partai menjadi “Pertarungan ideologi”.
Kejadian serupa sebetulnya mirip dengan peristiwa naiknya Abdurahman Wahid atau Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4. Gus Dur yang didapuk oleh kelompok Poros Tengah dengan maksud agar bisa disetir. Dengan nyeleneh dan sedikit berontak, Gus Dur malah menjalankan manuver politiknya sendiri. Persis seperti Indira Gandhi yang mengedepankan kemsalahatan rakyatnya alih-alih partai atau kelompoknya.
Hal ini diperkuat dengan sebuah peristiwa bersejarah. Indonesia pernah dikunjungi oleh Indira Gandhi. Tepatnya pada 16 Juni 1950, Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) Drs. Moh. Hatta, H. Agus Salim, dan Sutan Sjahrir menerima kunjungan kehormatan dari Perdana Menteri Jawaharlal Nehru berserta putrinya, Indira Gandhi. Alamat ini apakah menjadi tanda bahwa Gus Dur meniru keberanian sosok Indira kala memilih jalur berbeda dengan kelompoknya?
Sosok Inspirasi
Betty Friedan dalam bukunya It Changed My Life: Writings on the Women’s Movement (1985) mengisahkan pertemuannya dengan Indira Gandhi. Pertemuannya itu memengaruhi gerakan dan pandangannya menyoal perjuangan kaum perempuan.
Perjuangan dan kepentingan tokoh politik tak jarang menuai pro-kontra. Ada sebuah perjuangan yang mesti dituntaskan. Begitupun dengan Indira, sebagai perdana menteri, ia menginginkan rakyat sejahtera. Maka kebijakan untuk mereduksi suatu kelompok yang mengganggu ketertiban rakyatnya perlu ia selesaikan. Sebagai jaminan, keamanan Indira dipertaruhkan.
Kasus serupa pernah dialami Dilma Roussef sebelum menjadi presiden perempuan pertama di Brazil pada 2010. Era 1970-an, Roussef dipenjara oleh pemetintahan militer sayap kanan dengan tuduhan subversif. Siksaan demi siksaan harus ia terima dalam tahanan.
Perjuangan Roussep memperjuangkan keadilan sejalan dengan Indira. Namun nasib buruk lebih menimpa Indira. Ancaman perjuangan Indira sangat tragis melalui ancaman yang menimpa tubuhnya dengan timah panas.
Dengan begitu, bila bercerita mengenai Indira berarti berbicara pula soal rasa keadilan-kesadaran. Buah itu semua melahirkan keselarasan dan keseimbangan di antara semua pihak. Mengucap nama Indira berarti membayang sosok perempuan “besi” dari India. Muara perjuangannya, ia pupuk demi kemaslahatan bersama banyak orang. Kita mengingat Indira pernah mengatakan bahwa tujuan hidup adalah untuk percaya, berharap, dan berusaha.