Saya tidak pernah mempertanyakan mengapa saya kuliah. Sejak awal, itu sudah terkesan sebagai bagian dari hidup saya. Sebuah kelanjutan yang wajar setelah lulus sekolah. Namun, ketika saya mulai memperhatikan kisah-kisah orang di sekitar, terutama para mahasiswa perempuan, saya menyadari bahwa perjalanan menuju bangku kuliah tidak pernah sesederhana itu bagi semua orang.
Saya melihat mereka datang ke kelas dengan senyum, duduk rapi, mencatat, dan ikut diskusi. Akan tetapi, di balik semua itu, ada cerita-cerita yang tidak pernah masuk ke ruang publik. Ada yang harus meminta izin berkali-kali kepada orang tuanya untuk bisa melanjutkan pendidikan. Ada yang harus bernegosiasi agar ia tak menikah muda. Bahkan ada yang harus menyembunyikan keinginan kuliah karena teranggap tidak sesuai dengan “kodrat perempuan”.
Sebagai laki-laki, saya awalnya tidak begitu menyadari hal ini. Saya menganggap semua mahasiswa punya perjuangan yang sama. Namun, pelan-pelan, saya mulai peka. Ketika seorang teman menceritakan bahwa ia harus bangun lebih pagi untuk mencuci, memasak, dan menyiapkan kebutuhan rumah sebelum kuliah, saya terdiam. Diri ini tidak pernah mengalami itu.
Saya hanya perlu bangun, mandi, sarapan, lalu berangkat. Beban saya, untuk sementara, hanya tugas kampus. Akan tetapi, beban mereka? Jauh lebih dari itu. Dan, yang membuat saya lebih kagum, mereka tidak mengeluh. Mereka tetap hadir di kelas, tetap aktif berdiskusi, tetap tersenyum ketika menyapa.
“Kampus yang katanya inklusif dan adil, ternyata masih banyak mahasiswa—terutama perempuan—yang merasa harus menyesuaikan diri terus-menerus, seakan ruang ini bukan milik mereka sepenuhnya.”
Pribadi saya mulai merasa bahwa saya tidak hanya harus mendengarkan cerita mereka, tapi lebih pada belajar dari ketabahan dan keteguhannya. Ada satu kejadian masih membekas dalam ingatan. Seorang teman perempuan gagal mengikuti ujian karena harus menjaga ibunya yang sakit. Ia tidak sempat meminta dispensasi karena tidak tahu harus mengurusnya ke mana.
Ketika saya tanya kenapa tidak bilang ke dosen, ia menjawab dengan pelan, “Kadang saya merasa tidak punya hak untuk minta pengertian.” Jawaban itu membuat saya merenung lama. Di kampus yang katanya inklusif dan adil, ternyata masih banyak mahasiswa—terutama perempuan—yang merasa harus menyesuaikan diri terus-menerus, seakan ruang ini bukan milik mereka sepenuhnya.
Kampus Layak Perempuan?
Saya mulai bertanya-tanya: apakah kita benar-benar sudah memberi ruang yang layak untuk perempuan di kampus? Apakah sistem akademik kita sudah cukup peka terhadap realitas sosial yang mereka hadapi? Ataukah kita, baik institusi maupun sesama mahasiswa, masih terus mereproduksi norma-norma yang justru membebani mereka?
Pun, saya menyadari, perjuangan perempuan di dunia pendidikan bukan hanya tentang masuk ke perguruan tinggi, tapi juga tentang bagaimana mereka terhargai dan terperlakukan di dalamnya. Banyak yang masih harus berjuang agar suaranya terdengar, agar pendapatnya teranggap, agar posisinya terakui. Bahkan di organisasi mahasiswa, saya masih sering melihat bagaimana perempuan terabaikan dalam pengambilan keputusan atau hanya menjadi “pemanis” kepengurusan.
Dan ironisnya, banyak dari kita—termasuk saya sebelumnya—tidak sadar bahwa itu sebuah bentuk ketidakadilan. Menyaksikan semua ini membuat saya ingin berubah. Saya ingin menjadi laki-laki yang bukan hanya sadar, tapi juga berpihak. Bukan dengan menjadi pahlawan, tapi dengan membuka ruang, mendengarkan, dan mendukung tanpa merasa superior. Saya ingin menjadi bagian dari lingkungan kampus yang lebih adil, yang tidak hanya mendorong perempuan untuk berani bersuara, tapi juga siap untuk benar-benar mendengarkan mereka.
Saya percaya bahwa pendidikan adalah hak semua orang. Akan tetapi, hak itu tidak akan bermakna jika tidak disertai dengan keadilan dalam praktiknya. Perempuan yang kuliah bukan sedang “melampaui kodrat”, seperti anggapan sebagian orang. Mereka sedang menjalani haknya, hak yang sama seperti saya dan teman-teman laki-laki saya. Dan mereka pantas mendapat dukungan yang sama, kesempatan yang sama, serta penghargaan yang setara.
Saya melihat mereka berjuang setiap hari. Mereka tidak meminta belas kasihan. Mereka hanya ingin ruang yang adil. Dan saya rasa, sebagai laki-laki, saya juga punya peran untuk memastikan ruang itu benar-benar ada. Perjuangan perempuan di balik meja kuliah mungkin tidak selalu terlihat dramatis. Tapi dari sanalah muncul benih-benih perubahan. Dari langkah kecil mereka hari ini, akan lahir generasi baru yang lebih kuat, lebih bebas, dan lebih setara. Dan saya bersyukur bisa menjadi saksi dari perjuangan itu.[]