Perempuan Kedung Buni dan Kisah Opak Buatannya

Opak Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Kedung Buni, sebuah dusun kecil yang sederhana di bilangan Kecamatan Panyingkiran, Majalengka. Di sana, sebagian kecil penduduknya selain menambak ikan, pun mencari penghidupan lewat produksi opak. Makanan khas Priangan berbahan dasar tepung beras, ketan, atau singkong. Saya, selama hampir satu dekade hidup dan kenal dengan ngopak, kegiatan membuatnya.

Dalam sepekan, selain membuat pepes ikan atau pindang, Ma Iyah mesti ngopak. Begitu pun juga dengan Ma Iyung, adiknya. Mereka berdua adalah bibi saya, kakak-kakak dari bapak saya. Ngopak bagi masyarakat Kedung Buni semacam kebudayaan yang tak boleh terlewatkan. Bukan saja karena itu mata pencaharian sampingan atau utama, melain dalam ngopak ada hal lain yang lebih dari sekadar bekerja, berkegiatan.

Memang, jika seorang tuan rumah sedang ngopak karena ada pesanan atau untuk konsumsi hajatan, para tetangga ngarojong kompak membantunya. Begitupun ketika yang lain mendapat kegiatan serupa. Ngopak bukan semata-mata ngopak, tapi ia tanggung jawab jalinan batin antarsesama.

Berbagi Tugas

Dalam ngopak, para lelaki memulainya dengan ngajubleg. Istilah terambil dari alat tradisional terbuat dari batu bernama jubleg untuk menumbuk adonan opak. Ketika penutu dihantamkan ke jubleg memipih adonan suara bleg bleg bleg menguar darinya. Dari situlah mengapa alat ini ternamai sebagai jubleg. Selama proses ngajubleg, para perempuan menyiapkan alat cetak dan tempat menaruh adonan mentah sebelum kemudian dijemur.

Kala ngajubleg selesai, para lelaki istirahat sejenak. Atau mengisinya dengan memberi pakan ikan, narokbambu atau batang pohon kering, dan lainnya. Adonan hasil ngajubleg itu kemudian oleh sebagian perempuan dibentuk bulatan-bulatan kecil. Ma Iyah menyebutnya “kirata” dikira-kira tapi nyata. Tak ada ukuran pasti mengenai besar-kecil dan massanya. Perempuan lain langsung mengkeksekusi 

Baca Lainya  Eksistensi Ketimpangan Perempuan dalam Film

Sebelum benar-benar merampingkan dengan menggelindingkan potongan paralon. Ada pula bagi mereka, yang masih belajar, menggepengkan adonan opak memakai alat pemipih terbuat dari kayu. Simpel dan lebih cepat alih-alih manual menunggunaka paralon tadi, tetapi seringnya tak efektif. Kadang kala bentuknya tidak sesuai ukuran terharapkan, terlalu kecil atau kelebaran. Mencong sana, mencong sini.

Ingatan Masa Silam

Sewaktu kecil, saya sering sekali membantu (baca: merecoki) Ma Iyung dan Ma Iyah dalam ngopak. Bagian favorit tentu kala membikin adonan opak memakai alat pemipih itu. Mulanya sering gagal, sampai-sampai Ma Iyah atau Ma Iyung melarang saya untuk melakukannya lagi. Konon, pekerjaan amburadul saya malah membikin kerja-kerja ngopak ini menjadi lebih lama. Semrawut, he-he. Akhirnya saya hanya menonton sembari memainkan mobil-mobilan atau bola plastik di halaman rumah.

Saya tak meragukan kepiawaian tangan-tangan perempuan Kedung Buni dalam ngopak. Bayangkan, berbekal sepotong peralon, mereka bisa membuat adonan opak menjadi bulat presisi. Sempurna. Itu dengan manual tangan mereka sendiri, tanpa bermesin. Lain hal, dalam hal pemanggangan, mereka taktis memanggang opak-opak kering menjadi hidangan siap santap. Dengan hitungan detik, opak-opak gepeng itu mengembang. Menguarkan aroma dan menyorongkan warna kecoklatan. Artinya, sajian itu sudah bisa terkonsumsi atau terbungkus untuk diantar ke pemesan.

Dari Ma Iyah dan Ma Iyung-lah, pengetahuan saya ihwal opak berkembang. Selain berbahan ketan, ada juga berasal dari singkong. (baca: sampeu), atau kami orang Sunda menyebutnya opak becak. Jenis ini tak dipanggang seperti opak ketan, melain dengan menggoreng untuk mematangkannya. Bentuknya bulat tapi permukannya bergaris dan kasar. Garis-garis itu terbentuk dari jari-jari garpu yang ditekan-tekan. Lagi-lagi saya pernah membuatnya di bawah asuhan Ma Iyah dan Ma Iyung.

Baca Lainya  Perempuan dalam Pelukan Hangat Seblak

Ragam Opak

Dari jenis opak ketan saja, ada varian manisnya. Berbahan dasar sama, tetapi pada proses ngajublegadonan mendapat tambahan gula. Ketika selesai terpanggang pun warna opak manis ini warnanya mayorita coklat tua. Ini, kata Ma Iyung dan Ma Iyah, ada penyebab dari campuran gulanya. Sebab, ketika gula dipanaskan—entah dengan memasak atau memanggangnya—warnanya bakal berubah kecoklatan. Dan, benar juga, ilmiah sekali alasannya, batin saya ketika sudah mengerti hal-hal menyerempet sedikit saintis ini.

Nah, di Kedung Buni, ada satu opak yang amat terkenal. Selain memang pembuatnya sering menjual ke pasar kecamatan, ia memiliki label/merek tersendiri yakni Opak Wa Haji Apip. Rumahnya di sebelah barat rumah yang saya tinggali, dekat dengan lapangan bola di pekarangan rumah Ma Ecoh. Wa Haji Apip memang sering mendapat pesanan dari luar kecamatan untuk pelbagai acara.

Dalam peristiwa lain, ketika saya  menetap di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadiin di telatah Rimbo, Leuwikujang, Leuwimunding, sebagian masyarakat sana juga rupanya produsen opak. Beberapa kakak tingkat di pondok malah kerap diminta masyarakat produsen opak itu untuk ngajubleg. Dari sanalah saya kenal dengan istilah atau merek Opak Rimbo yang, mungkin, di lintasan Leuwimunding amat masyhur. Lagi-lagi, sorotan-soratan produksi kala ngopak ialah perjumpaan-perjumpaan saya dengan para perempuan, persis seperti peristiwa ngopak yang saya jumpai di Kedung Buni.

Atau, satu waktu, ketika Wa Elih, A Ajun, A Aif, Bapak, dan saya ke Conggeang, Sumedang, untuk menjenguk Wa Encud (kakak Bapak saya) yang sedang mendapat perawatan tulang, saya menemukan sentra opak di sana. Tertulis besar di pintu gerbang masuk ke kecamatan: “Selamat Datang di Sentra Opak Conggeang”. Selama perjalanan saya melihat kiri-kanan toko opak berjejer. Opak-opak tergantung di kusen, sisanya termangu di etalase. Di baliknya lagi-lagi perempuan tengah berjaga, ada pula yang tengah ngopak, memanggang makanan khas Priangan itu.

Baca Lainya  Aestehtic: Pemberdayaan Perempuan melalui UMKM

Sesampai di tempat perawatan tulang, Ma Iyah yang telah sepekan menemani Wa Encud di sana, menyuguhkan dua opak berbeda. Pertama Opak Conggeang yang ia dapat dari sana dan Opak Wa Haji Apip yang ia bawa dari Kedung Buni. Sebuah perjumpaan opak demi opak di pelbagai daerah yang termotori oleh tangan-tangan perempuan, bukan saja dalam soal mengolahnya tetapi dalam lawatan perjumpaan dan pengisahannya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *