“Nilai kualitas manusia bukan ditentukan oleh jenis kelamin yang bersifat fisik melainkan olek ketaqwaan yang bersifat intelektual sekaligus spiritual.
Nur Rofiah Bil Uzm
Demikian pernyataan seorang aktivis dakwah yang menyebarkan perspektif dan pengetahuan tentang keadilan gender Islam, yaitu Nur Rofiah. Beliau adalah pendiri dan penggagas kegiatan ngaji untuk keadilan gender Islam atau “Ngaji KGI”.
Kegiatan ini berlangsung sejak pertengahan tahun 2019. Kali pertama Ngaji KGI terlaksana di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Setelah itu, KGI mulai menyebar di berbagai wilayah Indonesia khususnya di pulau Jawa.
Profil Nur Rofiah
Perempuan dengan nama lengkap Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm lahir pada tanggal 6 September 1971 di Randudongkal, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Nur Rofiah adalah putri dari Qusyaeri (ayah) dan Seha (ibu). Sejak kecil, Rofiah besar dalam budaya keluarga Nahdlatul Ulama. Ibunya meninggal saat Nur Rofiah masih duduk di bangku kelas 2 sekolah dasar.
Beberapa tahun kemudian, ayahnya juga meninggal saat Nur Rofiah duduk di bangku kelas 6 SD. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di rumahnya di Randudongkal, Pemalang. Setelah menamatkan sekolah dasar, Nur Rofiah melanjutkan pendidikannya di TM dan MA di Jombang, Jawa Timur di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah (MASS) Yayasan Khoiriyah Hasyim.
Setelah lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas, Nur Rofiah melanjutkan pendidikan tingginya di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin pada tahun 1990-1995. Seiring dengan studinya, ia juga melanjutkan pendidikan informal di Pesantren Ali Ma’shum Krapyak di Yogyakarta, yang kemudian oleh Nyai Hj. Ida Rufaida Bu nyai dari Pon.Pes Ali Ma’shum, Krapyak, yang menawari Nur Rofiah kesempatan untuk pergi ke Turki.
Dan benar adanya berkat semangatnya mengejar ilmu yang tinggi, Nur Rofiah juga berkesempatan mendapatkan beasiswa ke Turki dan melanjutkan studi master dan doktoralnya di Universitas Ankara, di Turki. Dalam proses studinya ia tidak pulang ke kampug halamannya selama lima tahun, di mana dalam lima tahun tesebut ia gunakan untuk menyelesaikan studi pascasarjana (1997-1999) dan program doktoral (1999-2001).
Setelah tamat dan kembali dari Turki, ia bergabung dengan P3M, yang direkturnya adalah Kiai Masdar Farid Mas’udi. Dia teramati oleh P3M karena membahas pemikiran Kiai Masdar dalam tesisnya di Turki. Sekaligus aktif di P3M, Nur Rofiah juga aktif di PP Fatayat NU, Alimat dan juga Rahima.
Pada tahun 2004, ia menjadi Pegawai Negeri Sipil sebagai dosen. Saat ini ia masyhur sebagai akademisi dan tokoh perempuan muslimah Indonesia. Nur Rofiah saat ini berstatus dosen PNS di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Kemudian yang diperbantukan sebagai pengajar di Sekolah Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Jakarta.
Dakwah Perspektif Keadilan Gender Islam
Wanita yang menekuni kajian tafsir sejak bangsu kuliah ini tertarik dengan isu keadilan gender dalam islam. Ia merasa gelisah ketika membaca literatur tentang perempuan karena beberapa hasil interpretasi agaknya tidak menguntungkan bagi perempuan. Karena kalau membaca dengan tafsir lain, misalnya dengan double movement-nya (gerakan ganda) Fazlur Rahman, maka tafsir itu tidak demikian. Oleh karena itu, kegelisahan terbesarnya adalah adanya pandangan negatif terhadap perempuan yang sering muncul dalam pandangan agama. Di sisi lain Nur Rofiah menyakini bahwa Islam sebenarnya memiliki sikap yang sangat positif terhadap perempuan.
Ia kemudian membaca karya-karya Nasr Hamid Abu Zaid secara intensif sambil melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Ankara. Tulisan-tulisan Nasr Hamid yang paling mempengaruhi dan mengesankannya adalah buku-buku yang berkaitan dengan Relasi Bahasa Arab & Gender khususnya pada poin ketika ia memberi kritik konsep tentang mudzakkar-muannas.
Selanjutnya dari kegelisahan yang ia dapatkan dari buku-buku Nashr Hamid, ia lebih mendalami ilmu tafsir. Disertasi yang ia tulis sebagai tugas akhir bertajuk, “Metode Tafsir Transformatif”. Akibat pergolakan tersebut dan juga pencarian jawaban, Nur Rofiah berpandangan bahwa Islam sejak awal telah menekankan kemanusiaan perempuan.
Dengan kata lain, perempuan dan laki-laki sama-sama berstatus hamba Allah dan menerima amanat sebagai Khalifah fil Ardl (penguasa di muka bumi). Keduanya merupakan subjek penuh dari sistem kehidupan, sehingga keduanya wajib mewujudkan manfaat di muka bumi dan berhak menikmatinya.
Budaya Patriarki
Menurut alumni University of Ankara, Turki ini, ketidakadilan terhadap perempuan berakar pada budaya patriarki yang masih mengakar dan berpandangan negatif pada lima pengalaman biologis perempuan, yakni menstruasi, hamil, melahirkan, melahirkan, dan menyusui. Perspektif ini kemudian membuat perempuan sangat rentan terhadap lima pengalaman sosial, yaitu pelabelan negatif (stigma), di nomor duakan (subordinasi), pengucilan (marginalisasi), kekerasan (violence) dan beban ganda (double borden).
Perspektif positif terhadap perempuan, lanjutnya, membutuhkan pengakuan atas pengalaman biologis lima perempuan sebagai bagian dari kemanusiaannya. Karena lima pengalaman biologis perempuan menyertai rasa sakit (adza) bahkan sangat menyakitkan (wahnan ‘ala wahnin), suatu perbuatan hanya teranggap manusiawi jika tidak menambah rasa sakit dari lima pengalaman biologis tersebut.
Kemudian, menurut Nur Rofiah, cara pandang terhadap lima pengalaman biologis dan lima pengalaman sosial perempuan menentukan tingkat kesadaran kemanusiaan perempuan, yang kemudian sangat mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap kesejahteraan manusia sebagai tujuan ajaran agama
Tingkat Pertama Terendah, mendapat tanda dengan menolak perempuan sebagai manusia, sehingga menganggap laki-laki menempatkan diri sebagai pihak superioritas. Kesadaran pada tingkatan ini memandang tindakan buruk pada perempuan bukan pelanggaran agama.
Kedua Tingkat Menengah/Kesadaran Formal, yaitu menolak pengalaman biologis khas perempuan sebagai bagian dari kemanusiaan mereka. Dan Kesadaran level ini memandang tindakan buruk pada pengalaman bilogis maupun sosial perempuan dan tindakan tidak adil hanya karena menjadi perempuan sebagai pelanggaran agama.
Ketiga Tertinggi/Kesadaran Hakiki, yaitu memandang pengalaman biologis perempuan sebagai bagian dari kemanusiaan mereka, sehingga tindakan buruk pada pengalaman biologis khas perempuan atau mengandung ketidakadilan hanya karena menjadi seorang perempuan sebagai pelanggaran agama.
Kemungkinan Perspektif
Perspektif ini merupakan tantangan besar, karena perspektif negatif terhadap perempuan ini telah membentuk pandangan manusia terhadap dunia selama berabad-abad. Tidak menutup kemungkinan juga mewarnai nilai-nilai universal yang baik seperti kemanusiaan dalam hak asasi manusia, norma sosial dan kearifan masyarakat, norma keilmuan dalam sains, dan norma prestasi dalam agama.
Menurut Nur Rofiah, tantangan ini membutuhkan upaya semua pihak. Ia sendiri berinisiatif menggelar Ngaji-KGI (Keadilan Gender Islami) sejak pertengahan 2019 lalu. Awalnya kegiatan tersebut diambil secara offline dan gratis karena memanfaatkan kesempatan ketika ada jadwal ke luar kota. Namun sejak pandemi, Ngaji KGI mulai dilaksanakan secara daring, sehingga kegatan tersebut dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas. Dalam satu tahun, Ngaji KGI sudah dilihat dan diikuti oleh lebih dari seribu peserta baik nasional maupun peserta asing (internasional).