Bagi mahasiswa, memilih untuk aktif dalam organisasi merupakan sebuah tekad mewujudkan regenerasi. Pada berbagai event misalnya, menyusun sebuah acara baik di dalam maupun di luar kampus merupakan kerja-kerja organisasi yang tak bisa terhindarkan. Keaktifan dalam berorganisasi dapat memberi pengaruh baik bagi siapapun yang bertekad untuk serius mengikutinya.
Tulisan ini berangkat dari pengalaman pribadi penulis. Semasa mahasiswa, penulis mengalokasikan waktu untuk terlibat aktif dalam kegiatan organisasi intra maupun ekstra kampus. Sebagaimana organisasi pada umumnya, pertemuan berbagai karakter orang akan bersama-sama mewujudkan visi besar organisasinya.
Hablum minannas merupakan landasan logis bagi setiap insan yang berorganisasi. Namun, dalam mencapai tujuan-tujuan lain dalam mewujudkan visi organisasi tentu bakal menemukan hambatan-hambatan yang cukup beragam.
Maka dalam kondisi ini, mubadalah hadir sebagai sebuah pedoman baru bagi sebagian orang. Selain membicarakan “nilai kesalingan” relasi antar suami istri, mubadalah juga melingkupi tentang cara pandang, sikap tolong menolong, dan kerja sama yang setiap orang dalam komunitas kecil maupun besar harás membangunnya.
Dalam menyikapi persoalan mubadalah ini, penulis memiliki pandangan lain. Mubadalah bagi penulis, bukan hanya mengenai konsep keadilan relasi antar suami istri saja, melainkan dalam cakupan persoalan lain pun mubadalah harus terterapkan.
Penerapan Konsep
Konsep ini diterapkan dalam berorganisasi, misalnya. Sebab di dalamnya mengandung nilai tolong-menolong dan kerjasama setiap insan yang berorganisasi. Maka, pemahaman mubadalah bisa menjadi acuan organisasi dalam melaksanan segala langkah geraknya.
Sebagaimana masalah yang sering teralami oleh para organisatoris; perbedaan pendapat, misalnya. Perbedaan ini sudah seharusnya disikapi secara dewasa dan dengan pikiran terbuka. Karena perbedaan adalah rahmat, maka sudah seharusnya kita menganggap perbedaan tersebut menjadi basis kekuatan untuk membangun kesolidan berorganisasi.
QS. Al-Maidah ayat 2, menjelaskan bahwa, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (perbuatan) kebaikan dan ketakwaan dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. Ayat tersebut mengandung perintah keharusan bersikap tolong menolong dalam setiap kebaikan. Kebaikan sebagai perwujudan dalam menjalankan amanah organisasi.
Tidak bisa mungkir memang bahwa dampak dari perbedaan pendapat menjadi sesuatu yang kehadirannya harus tersyukuri sebagai rahmat. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak demikian. Terjadinya perbedaan pendapat cenderung malah berdampak kurang baik.
Hal ini bisa tersebabkan karena kecenderungan orang menghadirkan sekat ego antar sesama anggota meskipun dalam satu wadah organisasi. Oleh karenanya, memahami bahwa berorganisasi memiliki tujuan yang baik seharusnya setiap insan bisa menanggapinya dengan baik.
Melalui prinsip mubadalah, pemahaman soal berorganisasi seharusnya menjadi sebuah prinsip yang harus dipegang. Bersama-sama bekerja dan bekerja sama menggunakan lingkup organisasi untuk sesuatu yang bermanfaat minimal untuk diri sendiri dan orang lain.
Lalu, menjadikan organisasi sebagai ruang keilmuan dalam pengalaman. Tak lupa, menjadikan seluruh insan yang berada dalam satu ruang lingkup organisasi adalah tim. Maka, untuk mewujudkan kerja organisasi dengan prinsip mubadalah seharusnya bisa dipahami dan dimengerti oleh siapapun yang nantinya berkeinginan untuk terlibat di dalam organisasi.