Misoginis: Narasi Seksisme Politisasi Kampanye Pemilu

Kampanye pemilu jadi ajang unjuk diri setiap paslon untuk memperlihatkan pribadinya. Pengemasan bahasa yang menarik, bermodal visi misi dan kegagahannya sebagai garda terdepan dalam memberikan perhatian, bantuan, dan penyalur aspirasi menjadi senjata ampuh pemikat rakyat. Segala bentuk program kerja “seolah-olah” akan terealisasikan pasca terpilihnya salah satu paslon. Padahal belum tentu. 

Jelang pemilu, 27 November kian tegang tatkala salah satu pasangan calon Gubernur DKI Jakarta Ridwan Kamil beserta Wakilnya Suswono Nomor Urut 1 menyentil ihwal janda sebagai candaan yang seksis dalam kampanyenya. 

“Nanti janda-janda akan disantuni oleh Pak Habiburrohman, akan diurus lahir batin oleh Bang Ali Lubin, akan diberi sembako oleh bang Adnan, dan kalau cocok akan dinikahi oleh bang Rian,” tuturnya. 

Pasangan calon tersebut kian blunder ketika gurauannya mendapat respons serius dari berbagai pihak, negatif tentunya. Mulai dari cuitan di X (dulu Twitter), pemberitaan di stasiun televisi nasional, siniar mengulas tindakan Kang Emil, begitu sapaan akrabnya, hingga mengusik gerakan feminisme di kalangan komunitas tetentu.

Arah Petisi

Tidak main-main, Pergerakan Serikat Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) DKI Jakarta bersama dengan Federasi Serikat PEKKA Indonesia melayangkan petisi berupa “Hentikan Politisasi dan Narasi Seksis terhadap Perempuan Janda dalam Kampanye Politik” (2024)Mereka mengaku terluka dan direndahkan dengan pernyataan yang disampaikan oleh Ridwan Kamil dan Suswono dalam kampanye politiknya. Pernyataan tersebut mempolitisasi dan melecehkan status perempuan janda yang mereka adalah perempuan kepala keluarga.

“Kampanye seharusnya menjadi ruang untuk menyampaikan visi dan misi serta komitmen memperjuangkan hak perempuan. Namun, menjadikan perempuan, khususnya janda, sebagai bahan politisasi dan candaan adalah tindakan tidak beretika. Hal ini tidak hanya merendahkan martabat perempuan, tetapi juga memperkuat stereotip negatif yang dapat berdampak luas terhadap persepsi publik.” tambahnya. 

Baca Lainya  Sistem Lotre, Pemecahan Masalah atau Diskriminasi?

Dari sini kita tahu bahwa orasi yang dianggap “candaan” bagi Kang Emil justru memperlihatkan ketidakmampuannya memahami kesetaraan. Pun ia tak menyoal feminisme dan gender sehingga menggiringnya pada lelucon yang sama sekali tidak memberikan penghargaan terhadap perempuan, khususnya janda.

Mengutip Forum News Network (2024) bertajuk “Ridwan Kamil Memang Dangkal Sejak dari Dengkul! Jadikan Janda Obyek Becandaan di Kampanye”. Rocky Gerung sebagai narasumber menjelaskan, peradaban tidak mungkin tumbuh apabila sebagian umat manusia, dalam hal ini laki-laki, menganggap remeh perempuan. Ia juga menyinggung etika politik menjadi hal yang komplet dan kompleks. Mencari massa pemilu dari kalangan perempuan seolah menjadikan laki-laki bisa berdiri sendiri dan menjadi pemimpin. Miris! 

Sensitif Gender 

Kampanye yang merendahkan perempuan, khususnya janda tidak bisa terselesaikan hanya sekadar minta maaf. Kedua paslon tersebut seolah memandang bahwa janda menjadi objek yang lemah, tidak berdaya, tak cukup mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya, sehingga suara dan jumlahnya dapat termanfaatkan untuk kepentingan politik dengan memberikan iming-iming yang justru semakin memperparah stigma janda di kalangan masyarakat.

Mereka tak berpikir atas dampak bakal perempuan terima. Psikologis, menjadikan perempuan merasa tidak berharga dan hilang kepercayaan diri. Sosial semakin memperkuat ketimpangan gender dan memarginalisasi perempuan. Ekonomi menghambat perempuan mencapai penuh dalam berkarier atau bahkan politik yang membatasi mereka berpartisipasi dalam pengambilan Keputusan publik. 

Jauh dari pada itu, pengetahuan seorang pemimpin dapat terlihat dari kepekaannya terhadap perempuan. Apabila pemimpin yang tidak memiliki sensitivitas gender dalam pengetahuannya maka pola kepemimpinan tidak lain adalah otoriter dan patriarki. Demikan akan sulit untuk menggiring para pemimpin agar terbuka dari kesetaraan. 

Mereka lupa bahwa partai-partai politik dari berbagai daerah juga melibatkan dan menempatkan posisi perempuan pada jabatan yang strategis. Apalagi partai yang mengusung paslon tersebut untuk naik menjadi kandidat calon gubernur memiliki ormas sayap bernama KPPG (Kesatuan Perempuan Partai Golkar). Yakni menjadikan perempuan sebagai organisasi sayap pemuda dan perempuan, guna mendukung kerja-kerja politik di lapangan. Secara tidak langsung, mereka telah membuat gaduh pada rumahnya sendiri. Ups!

Baca Lainya  Perempuan dan Objek Stereotipe Sosial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *