Menikahi Korban Bukan Solusi

Sumber Gambar: kantongntt.com

Awal tahun 2024 silam, seorang anggota Kepolisian RI Bripda Fauzan akhirnya kembali berdinas usai mengajukan banding atas sanksi PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat). Kasus bermula pada Oktober 2023, BF memerkosa dan memaksa teman perempuannya (korban) bernama M aborsi. Dua bulan berselang, selain menikahi M, BF mengajukan banding sidang kode etik polisi—sesuai Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022—terhadap sanksi PTDH-nya.

Banding berhasil terkabulkan pada Februari 2024 memutuskan BF mendapat demosi (pemindahan jabatan ke jabatan yang lebih rendah). Pemecatan dalam putusan kode etik sebelumnya seakan berubah drastis karena alasan/bukti BF menikahi perempuan tadi. Seolah, dengan menikahi M, itu bentuk tanggung jawab BF sekaligus alasan penurunan sanksi. Alasan itu, yang kira-kira, l Kabid Propam Polda Sulawesi Selatan Kombes Zulhan ucapkan.

Berbeda, justru pada Januari 2025, BF terlaporkan melakukan KDRT lewat penelantaran sang istri sejak awal pernikahan (Desember 2023). Dalam pada itu, kasus semula BF—sebetulnya—belum selesai. Kini malah tertambah dengan delik baru ihwal penelantaran.

Kita bisa membaca Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, menikahkan korban dengan pelaku pemerkosaan termasuk tindak pidana kekerasan seksual yakni pemaksaan perkawinan. Dengan jelas, teratur di ayat sebelumnya bakal mendapat pidana penjara paling lama sembilan tahun dan/atau pidana denda paling banyak 200 juta.

Di kasus awal mengenai pemerkosaan, BF mungkin terhindar dari Pasal 473 KUHP Ayat (1) berbunyi: Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya, dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

Alibi Semata

Terkadang langkah restorative juctice (keadilan restoratif) dalam kasus kekerasan seksual acapkali malah membikin sang korban semakin menjadi korban, berulang, bahkan lebih menderita. Sorotan ini terduga jelas dalam kasus BF yang, pura-pura, berniat baik lewat menikahi M atas dasar langkah keadilan restoratif tadi. Padahal langkah itu alibi junto gimik semata agar dapat kembali berdinas. Agar tak sepenuhnya diberhentikan, apalagi ā€˜dengan tidak hormat’.

Baca Lainya  Haid Panjang dan Solusi Kesehatan Lebih Baik

Terkadang upaya restoratif termanfaatkan secara semena-mena oleh pelaku. Biasanya mengandung unsur amat politis. Menjaga nama baik pribadi, lembaga, atau instansi. Tak sedikit kasus-kasus besar tetiba lenyap tak tertindaklanjuti lewat upaya restoratif.

Sepintas, restoratif memang hadir sebagai ruang berdamai antara pelaku dan korban. Dalam praktiknya, kedua belah pihak sukarela menempuh jalur itu tanpa paksaan dari mana pun. Namun, jika niat baik restoratif di tengah jalan ia ingkari itu memunculkan persoalan baru. Ada iktikad tidak baik yang oleh salah satu pihak lakukan.

Dalam kasus BF, misalnya, ia berkenan menikahi M sebagai wujud tanggung jawab karena telah memerkosanya. Itu pun terhukumi karena istansi memecatnya. Bayangkan, bila saja BF tak dipecat, barang kali ia tak menikahi (bertanggung jawab) M sama sekali.

Namun, betapa pun wujud pernikahan bentuk tanggung jawab, lantas korban mana yang menginginkan terkhianat-kerasi lebih lanjut dalam ikatan suci itu. Sebuah akad lelaki-perempuan untuk membina rumah tangga serta meraih rida-Nya, malah menjadi jahanam dan cambuk bagi salah satunya.

Kita bisa membayangkan sebelum perkawinan saja, BF sudah melakukan kekerasan terhadap M. Maka sangat boleh juga kita menduga itu bakal terjadi setelah perkawinan. Atau bahkan amat lebih sadis. Dan, itu terbukti terhitung Januari 2025 BF terlaporkan melakukan demikian pada M. Bahkan BF konon pascamenikah (2023) hingga terlaporkan (2025) tak mau serumah dengan M. Apakah ada kata yang lain yang lebih pantas untuk kita alamatkan pada BF selain “biadab”?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *