Mencari Ruang Aman di Perguran Tinggi

Perundungan Sumber Gambar:Ā istockphoto.com

Di balik megahnya gendung-gedung perkuliahan, antusiasme mahasiswa baru, dan jargon-jargon ā€œkampus ramahā€, ternyata masih banyak luka yang tersembunyi dan sering oleh orang-orang abaikan. Luka ini bukan datang dari mendapat nilai C, D, dan E. Ataupun karena mengerjakan skripsi yang tidak kunjung selesai. Melainkan datang dari kekerasan dan pelecehan seksual yang oleh sebagian mahasiswa alami. 

Kampus, yang seharusnya menjadi tempat dan ruang aman mahasiswa bertumbuh, mengembangkan potensi, dan mempersiapkan masa depan. Ternyata, malah menjadi sumber trauma mendalam bagi para penyintas yang mengalami kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kampus.

Fenomena kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi bukan sekedar cerita dari mulut ke mulut. Laporan Komnas Perempuan tahun 2024 menunjukkan bahwa sektor pendidikan menjadi wilayah ketiga tertinggi dalam kasus kekerasan berbasis gender. Dari total 4.178 kasus kekerasan terhadap perempuan, tercatat 82 kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi sepanjang 2021–2024. Data ini belum mencakup kasus-kasus yang tidak terlapor karena korban takut, malu, atau tidak tahu harus lapor ke mana.

Kekerasan Verbal

Pelecehan seksual yang terjadi pada mahasiswa tidak hanya sentuhan fisik saja. Banyak muncul dari tatapan menjijikkan, candaan mengarah pada seksual, komentar tentang kondisi tubuh, pesan bernada cabul, bahkan lewat penyalahgunaan kegiatan bimbingan. 

Pewartaan mengenai oknum dosen yang mengatasnamakan kegiatan bimbingan, tetapi melakukan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap mahasiswa masih sering terjadi. Selain itu, banyak pelaku kekerasan seksual berasal dari kalangan senior, pengurus organisasi, bahkan pejabat kampus. 

Pola-pola tersebut dapat teridentifikasi, di mana pelaku selalu berada dalam posisi berkuasa, sedangkan korban sering kali merasa tidak berdaya. Ketimpangan posisi tidak adil ini membuat korban merasa terjebak. Jika berani melawan, mereka harus mempertaruhkan nilai, reputasi, bahkan keselamatan. Namun, jika diam, mereka terpaksa menanggung penderitaan sendiri.

Baca Lainya  Panggilan Darurat Pelecehan Seksual

Dampaknya tidak hanya terasa di lingkungan akademik. Banyak sekali korban dari kekerasan seksual yang tidak hanya kehilangan rasa dan ruang aman, tetapi juga kehilangan rasa percaya diri mereka. Mereka merasa pribadinya kotor, malu karena sudah terlecehkan, bahkan muncul rasa bersalah yang dalam. Rasa bersalah ini bisa terus menghantui, membuat korban menarik diri dari lingkungan sekitar.

Menurut Komnas Perempuan (2021), lebih dari 79% korban kekerasan seksual mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan, depresi, insomnia, dan trauma jangka panjang. Namun, hanya sebagian kecil yang mendapat layanan pemulihan atau pendampingan.

Peraturan tak Memihak Korban

Maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus menunjukkan bahwa masih banyak aturan yang tidak melindungi korban. Misalnya, prosedur pelaporan yang berbelit, pendampingan psikologis yang terbatas, serta stigma negatif dari masyarakat yang masih kuat. Tak jarang korban pelecehan seksual justru mengalami intimidasi atau pengucilan. Bahkan, banyak dari mereka dipaksa untuk ā€˜merelakan’ kejadian tersebut demi menjaga nama baik kampus. Ironisnya, kampus yang seharusnya menjadi tempat kaum terpelajar justru kerap tidak mampu memahami perasaan korban.

Sudah waktunya kampus berhenti melindungi pelaku dan mulai melindungi korban. Sistem tidak bisa terus menormalkan pelecehan hanya karena ā€œsudah biasaā€, atau membiarkan pelaku tetap berada di podium karena ā€œberprestasiā€. Kampus yang baik bukan yang tak punya masalah, tapi yang berani menghadapinya secara adil dan manusiawi. Dibutuhkan langkah-langkah seperti menyediakan Unit Layanan Terpadu (ULT), pendamping psikologis, prosedur pelaporan yang jelas, dan hukuman tegas bagi pelaku. 

Kita tidak bisa terus membungkam suara-suara yang terluka dan tidak bisa berpura-pura bahwa ini masalah kecil. Karena luka yang dibiarkan bisa menjadi borok sosial yang sulit disembuhkan. 

Baca Lainya  Menjaga Kesehatan Mental Perempuan

Mahasiswa bukan hanya berhak atas pendidikan, tetapi berhak atas rasa aman, dan perlindungan. Kampus seharusnya menjadi ruang aman, pulih, dan tumbuh mahasiswa, bukan malah menjadi tempat menyimpan trauma. Perubahan ini harus dimulai dari sekarang, dari kesadaran, keberanian bicara dan keberpihakan pada korban. Hanya dengan begitu, kampus bisa benar-benar menjadi tempat yang ramah, adil, dan manusiawi.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *