Memandang (Raga) Perempuan

Saat membaca buku ini, tidak bisa dipungkiri bahwa pembaca akan membayangkan (raga) perempuan, sebelum masuk lebih jauh ke persoalan konstruksi sosial masyarakat.

Buku ini memaparkan pengalaman-pengalaman nyata kaum perempuan dalam memandang menjalani hidup, ikhtiar pemenuhan sosial, dan kodrat ragawi. Setiap perempuan di dunia ini niscaya memiliki pengalaman yang sangat beda—meski secara garis besar sama.

Hal inilah yang kemudian membuat kisah-kisah perempuan menjadi semakin kaya, variatif, hingga layak dituturkan ke khalayak yang lebih luas, serta boleh jadi amat personal. Seperti kisah-kisah yang terangkum dalam buku Menjadi Hawa (2023) ini.

Gagasan untuk menulis dan menerbitkan antologi tulisan ini sebenarnya sederhana. Sebuah ide tiba-tiba masuk ke kepala Layla Badra Sundari, yang lekas ia respons dengan membuat status Whatsapp dan instastory. Status itu bunyinya adalah ajakan untuk teman-teman “membagikan pengalaman biologis perempuan (menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui)”.

Sederet Pengalaman

Sederet pengalaman biologis yang khas, unik, dan hanya terasakan oleh perempuan. Akhirnya gayung pun bersambut, sahut-menyahut.

Sejumlah 19 penulis turut berkontribusi dalam buku ini. Masing-masing dari mereka menguraikan pengalaman mengenai kebertubuhan perempuan. Mereka menulis dengan sangat jujur, membawa pembaca untuk melihat lebih dekat hingga menaruh empati.

Saat membaca buku ini, tidak bisa termungkiri bahwa pembaca akan membayangkan (raga) perempuan, sebelum masuk lebih jauh ke persoalan konstruksi sosial masyarakat. Pengalaman kebertubuhan perempuan pertama-tama barang tentu adalah menstruasi—ada pula yang menyebutnya datang bulan.

Menstruasi (haid) adalah jalan pertama menjadi perempuan dewasa. Sebuah proses keluarnya darah dari rahim akibat pelepasan selaput lendir rahim atau uterus. Beberapa penulis mengisahkan bagaimana pengalaman menstruasi pertama mereka; ada yang merasa takut & malu, bingung, sampai mencoba menyembunyikannya dari orang tua.

Baca Lainya  Kampus dan Stereotipe Pemimpin Perempuan

Pengalaman Teralami

Izdihar Syifa Cahyani membagikan pengalamannya dari kali pertama haid, bingung memakai pembalut, nyeri perut, mengalami desminore sehingga terkadang menstruasi tidak normal, bahkan telat haid tetapi bukan tanda-tanda kehamilan.

Rasa sakit dan nyeri memang kerap muncul seiring menstruasi. Namun, rasa takut juga muncul dalam diri saat orang lain mengetahui—yang sering berujung pada ejekan atau hinaan bahkan perundungan (bullying).

Seperti perasaan Izdihar Syifa Cahyani yang merasa takut jika bocor di dalam kelas. “Mungkin dari beberapa orang ada yang berpendapat itu adalah kejadian lucu… Rasa malu pasti ada karena itu terlihat dan bahkan akan menjadi bahan tontonan anak laki-laki,” tulis Cahyani. Barangkali, hal ini juga perempuan rasakan lain kala masih mengenyam bangku sekolah.

Kisah tentang menstruasi yang lain yakni dari Laila Fajrin (Ubai). Ubai membagikan pengalaman menstruasinya yang cukup menggangu konsentrasi belajar dan mempengaruhi presensi. “Akibat kram yang menyakitkan ini, berulang kali aku tidak sadarkan diri atau pingsan saat menstruasi. Tensi atau tekanan darahku juga menjadi rendah dan badan lemas tidak berdaya. Tak jarang, aku juga sering izin untuk tidak masuk sekolah akibat datang bulan,” tutur Ubai.

Raga yang lemah membuat Ubai sering absen hingga tertinggal materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Ia pun terpaksa mengejar ketertinggalan dengan menyalin catatan teman sebangku. Pengalaman biologis Ubai ini, tentu tidak bisa secara mutlak disalahkan.

Ubai memberi tawaran konstruktif bahwa dunia pendidikan yang ramah gender mesti memikirkan kondisi ini. Sebab bagaimanapun, kita tidak bisa menafikan kodrat ragawi yang dialami oleh perempuan. Memberi kesempatan dan kebebasan selayaknya dalam dunia pendidikan-pengajaran adalah satu di antara sekian cara memuliakan perempuan.

Baca Lainya  Bulan Ramadan: Menengok Kisah Wafatnya Aisyah Sang Ummul Mukminin

Ubai sendiri mengaku masih berusaha mengontrol tubuh agar nyaman setiap kali datang bulan. Masing-masing perempuan pun punya cara tersendiri biar nyaman dan mengurangi nyeri menghadapi haid. Ubai memilih rutin meminum jamu kunir asem tempo datang bulan.

Lebih jauh, meski menstruasi acap terbarengi rasa kram luar biasa, Ubai juga memikirkan perasaannya di masa tua. “Kelak, aku juga percaya akan merindukan momen-momen ini saat memasuki usia monopause (berakhirnya siklus menstruasi secara alami)”.

Persoalan Biologis

Persoalan biologis perempuan semacam terkisahkan secara apik oleh Cho Nam-Joo lewat novel sensasionalnya, Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982. Novel ini menceritakan seorang perempuan muda yang lahir di akhir abad ke-20 dengan membangkitkan pertanyaan-pertanyaan lagi menggugat praktik patriarkis-misoginis di sekitar kita.

Begini kisah Kim Ji-yeong pada masa-masa awal menstruasi. “Kram akibat menstruasi jauh lebih menyusahkan daripada perasaan tidak nyaman selama menstruasi… pada hari kedua, Kim Ji-Yeong merasa kaku, tegang, dan sakit mulai dari bagian dada, pinggang, perut bagian bawah, panggul, paha sampai ke bokong… Sambil berbaring telungkup di lantai kamar tidur, memegangi perut bagian bawahnya… Kim Ji-Yeong terus-menerus menggerutu bahwa hal ini tidak bisa percayai. Bahwa separuh penduduk dunia mengalami hal yang sama setiap bulannya.”

Melalui penceritaan Kim Ji-yeong ini, kita bisa mengetahui bagaimana pengalaman biologis perempuan sungguh kaya dan sangat berbeda tinimbang laki-laki. Rasa sakit selalu rutin mendera raganya. Sampai Kim Ji-yeong pun nyaris tak percaya, “separuh penduduk dunia mengalami hal yang sama setiap bulannya.”

Citra Individu

Belum lagi perkara gender yang sangat kuat membentuk citra individu dan menuntut pemenuhan sosial dari wilayah pribadi (asmara, pengasuhan, struktur keluarga) sampai yang umum (karir, pendidikan, ekonomi, politik, agama).

Baca Lainya  Rekonstruksi Pola Pikir Masyarakat tentang Pendidikan Perempuan

Betapa perempuan, mesti memanggul banyak beban. Melalui epilog buku ini, Ashilly Achidsti mengutarakan pengalaman perempuan yang beraneka ragam membuka mata kita bahwa, kita perlu menghargai perempuan dan memperlakukan mereka sesuai kebutuhan yang berkaitan dengan pengalaman biologisnya. Ashilly Achdisti juga mewanti-wanti, tentang masih banyak hal perbaikan hidup demi ikhtiar mencapai kesetaraan dan keadilan gender.

Kompleksitas perkara dalam mana “menjadi Hawa” membuat semua orang harus terus memahaminya, sama-sama memberi ruang ekspresi & tempat paling aman sekaligus nyaman.

Kehadiran buku ini jadi pengingat dan penyebar semangat; bahwa perempuan memiliki kodrat yang tidak bisa disalahkan (sepihak) atau dicampakkan sekenanya. Perempuan pun tidak boleh dan jangan sampai, meminjam istilah Avianti Armand, “dihapus namanya”.

Buku ini dengan lantang menggemakan suara-suara perempuan yang sepantasnya terdengar oleh orang-orang di luar sana—tanpa pandang gender, bahwa perempuan mesti mendapat tempat yang layak dalam dunia keseharian, baik di ruang publik maupun ranah privat.

Penulis : Layla Badra Sundari, dkk.
Penerbit: Gading
Cetakan : Pertama, Februari 2023
Tebal   : xxviii+220 halaman
QRCBN   : 62-1359-4401-358

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *