Satu lagi tokoh pahlawan perempuan Indonesia yang terlupakan, dia adalah Maria Ulfah Santoso. Maria adalah perempuan pertama Indonesia yang mendapatkan gelar sarjana hukum. Ia juga memiliki pengaruh penting pada saat terjadinya perjanjian Linggarjati.
Selain itu, ada banyak kontribusi positif yang di antaranya Maria Ulfah menjadi Menteri Perempuan pertama Indonesia sekaligus perempuan Indonesia pertama yang menjadi anggota kabinet.
Perempuan bernama lengkap Mr. Hj. Raden Ayu Maria Ulfah atau Maria Ulfah Santoso atau Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo. Ia adalah pahlawan perempuan Indonesia yang turut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perempuan yang tumbuh besar dari keluarga bangsawan ini merupakan kelahiran Serang Banten ini telah aktif dalam pergerakan nasional sejak tahun 1934.
Tak hanya itu, Maria juga merupakan pahlawan perempuan Indonesia yang aktif memperjuangkan kemajuan bangsa. Dia juga aktif memperjuangkan hak dan ketidakadilan perempuan di Indonesia di masa penjajahan kolonial.
Riwayat Maria
Mengenai riwayatnya, Maria Ulfah lahir pada tanggal 18 Agustus 1911 di Serang, putri dari Raden Mochammad Achmad dan Raden Ayu Chadidjah Djajadiningrat yaitu saudara dari guru besar. Dr. Hoesein Djajadiningrat dan Achmad Djajadiningrat. Mochammad Achmad adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang menyelesaikan Harvard Business School (setingkat SMA) pada awal abad ke-20. Mochammad Achmad kemudian menjabat sebagai Bupati Kuningan.
Maria Ulfah kecil bersekolah di sekolah dasar di Rangkasbitung bersama ayahnya yang bekerja di kota. Tidak lama setelah tinggal di Rangkasbitung, ayahnya pindah ke Batavia, di mana ia menjabat sebagai Gubernur Mestre (sekarang Jatinegara), dan Maria Ulfah pindah ke Batavia.
Pada tahun 1929 Maria Ulfah pergi ke Belanda bersama ayahnya beserta saudara perempuan Iwanah dan saudara laki-laki Hatnan. Ibunya telah meninggal saat itu. Di Belanda, Maria Ulfah memilih belajar hukum di Leiden. Pilihan tersebut terambil karena menurutnya status hukum perempuan lemah dan perlu diperbaiki. Semasa kuliah, Maria Ulfah tinggal di rumah keluarga Belanda dan menetap bersama adik bungsu Soetomo, Siti Sundari, seorang dokter yang menjadi pahlawan nasional di Indonesia.
Di Belanda, ia menjadi anggota perkumpulan mahasiswa Leiden Vereeniging van Vrouwelijke Studenten Leiden (VVSL). Keinginan untuk bergabung dalam gerakan pembebasan perempuan berubah menjadi perjuangan pembebasan dan kemerdekaan seluruh bangsa Indonesia.
Dia sering bertemu dengan tokoh-tokoh nasional Belanda. Maria Ulfah sering terlibat percakapan ayahnya dengan Haji Agus Salim, yang sempat tinggal beberapa lama di Belanda.Perbincangan mereka berkisar sekitar perkoperasian dan soal buruh. Muhammad Hatta juga sering hadir di sana.
Setelah empat tahun belajar, pada tahun 1933 Maria Ulfah mendapat status sebagai perempuan Indonesia pertama yang mendapat gelar sarjana hukum, Meester in de Rechten (MR), dan menyematkan gelasnya sarjana hukum pada namanya.
Setelah menyelesaikan studinya di Universitas Leiden, Maria memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mengabdikan hidupnya untuk pengabdian masyarakat, khususnya memperjuangkan hak-hak perempuan. Pada tahun 1934, Maria Ulfah menjadi guru di Sekolah Muhammadiyah dan Perguruan Tinggi Rakyat. Selain itu, Maria aktif memberikan kelas membaca dan menulis kepada ibu-ibu di Salemba Tengah dan Paseban.
Peran dan Kontribusi
Pada tahun 1935, Maria menghadiri Kongres Perempuan Indonesia di Batavia, kesungguhannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan semakin konsisten. Di kongres tersebut, ia menjadi kepala Biro Konseling, yang tugasnya mengadvokasi dan membantu perempuan yang menghadapi kesulitan dalam hidup mereka dalam dunia perkawinan dan pernikahan.
Untuk itu, dibentuklah Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian (BP4) dan Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (KPKPAI). Pada Kongres Perempuan Indonesia ke-3, KPKPAI mendapat pengakuan oleh Kongres dan diberi nama baru, Badan Perlindungan Perempuan Kawin Indonesia (BPPI). Ia pun berhasil mendorong pemerintah untuk mengesahkan UU Perkawinan nomor Tahun 1974.
Maria Ulfah bekerja di Kementerian Kehakiman (shikooku) pada masa pendudukan Jepang. Pada masa sebelum proklamasi Indonesia, Maria berada di balik Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa warga negara sama di depan hukum. Hal tersebut pribadinya lakukan saat Maria Ulfah duduk menjadi anggota BPUPKI.
Maria juga terkenal sebagai orang dekat Sutan Sjahrir. Seperti melansir majalah tempo, Sjahrir mengusulkan Maria untuk menduduki jabatan di pemerintahan Indonesia yang baru merdeka. Misalnya, Maria Ulfah pernah menjadi perantara antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah sekutu pada masa Perjanjian Linggajati.
Menjadi Menteri
Selain itu, Maria Ulfah juga dilantik sebagai Menteri Sosial di bawah kabinet Sjahrir II dan III ketika Indonesia memperkenalkan sistem pemerintahan parlementer. Salah satu gebrakannya selama menjabat sebagai Mensos adalah pengenalan Hari Buruh Sedunia melalui pengumuman Kementrian Sosial.
Setelah pensiun, Maria Ulfah Soebadio mendapat tugas menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada tahun 1968. Selain itu, Maria tetap aktif dalam kegiatan sosial, seperti pengurus Yayasan Pekerja Indonesia (1968-1973), Presiden Yayasan Rukun Isteri (1970), dan Presiden III Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin).
Semasa hidupnya, Subadio menikah dua kali, yang pertama dengan Pak Santoso (1848) dan dengan Soebadio Sastrosatomo yang aktif dalam gerakan kemerdekaan Republik Indonesia, anggota KNIP, DPR Sementara Republik Indonesia, DPR Sementara. dan DPR setelah pemilu pertama (1955).
Atas jasa-jasanya, Maria Ulfah Subadio mendapatkan Penghargaan Satya Prestasi Karya Satya Tingkat II Tahun 1961; Bintang Maha Putra Utama (1973). Maria Ulfah Santoso meninggal pada tanggal 15 April 1988 pada usia 76 tahun di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan dalam upacara kenegaraan di TMP Kalibata.