Kekerasan Seksual dan Kegagalan Sistematik Pendidikan

Sumber Gambar: news.detik.com

Kekerasan seksual telah lama mencuat menjadi masalah kita bersama. Di banyak ruang, baik publik seperti terminal, stasiun, pasar, bahkan ruang yang semestinya aman yakni sekolah, kasus demi kasus masih saja berulang terjadi.

Beberapa kasus terbaru, seorang guru agama melakukan kekerasan seksual terhadap muridnya. Kejadian ini kembali membuat kita kesal, mengingat kasus-kasus semacam ini sebenarnya telah lama terjadi, terutama di lembaga pendidikan. Sayangnya, perilaku amoral itu seakan-akan tak pernah selesai, malah makin hari makin banyak saja.

Lembaga pendidikan, sekolah, yang seyogyanya menjadi tempat untuk membina generasi, berubah menjadi tempat menyeramkan yang merusak genereasi. Dan lebih mengkhawatirkan lagi dalam banyak kasus, guru sebagai figur pengajar yang kerap menjadi pelaku. 

Guru dan Relasi Kuasa

Di sekolah, guru merupakan sosok terhormat bagi siswa, terlebih di sekolah yang masih menganut sistem konservatif. Dalam sistem itu, guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga simbol kebenaran yang memiliki relasi kuasa, baik di ruang kelas maupun kehidupan siswa. Dengan relasi kuasa tersebut, guru dapat memberikan pengaruh besar bagi siswanya.

Dalam konteks kekerasan seksusal, relasi kuasa dapat secara leluasa tersalahgunakan. Kondisi ini memungkinkan guru menjadi pelaku, dan inilah yang banyak terjadi dalam kasus kekerasan seksual di sekolah. Kekerasan semacam ini menjadi semakin langgeng, karena korban (seringkali murid) dengan ketimpangan kekuasaan, menjadi tidak berani melawan atau melapor karena merasa takut, tidak percaya diri, atau bahkan terancam oleh pelaku. 

Banyaknya kekerasan seksual yang guru lakukan menjadi persoalan serius, sehingga perlu mengurai faktor masalah lainnya secara menyeluruh. Dengan demikian, agar dapat menyelesaikan masalah secara tepat. Kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah tidak cukup terpahami hanya sebagai perilaku penyimpang individu semata. Terdapat pula faktor eksternal turut melanggengkan permasalahan ini. Salah satu faktor penting adalah sistem pendidikan itu sendiri.

Baca Lainya  Kurikulum Perspektif Keadilan Gender: Kunci Pencegahan Kekerasan Seksual

Responsivitas Kebijakan

Kekerasan seksual mencerminkan lemahnya sistem pendidikan yang bersifat sistematik. Hal ini menunjukkan kebijakan pendidikan kurang renponsif persoalan kekerasan seksual. Semisal, kebijakan konservatif yang mengangggap pendidikan seks adalah sebuah hal tabu terbahas dan tidak tepat untuk terpelajari di sekolah. 

Padahal pada usia pubertas pembicaraan terkait pendidikan seksualitas itu amat perlu bagi perkembangan secara individu dan sosial. Karena tak mendapatkan kebutuhan pendidikan seksualitas, banyak siswa yang belum menyadari tentang masalah-masalah seksualitas. Dengan demikian, mereka tak dapat mencegah kekerasan seksual pada pribadinya dan merasa kebingungan dengan apa yang terjadi ketika menjadi korban. Dan inlah yang kemudian termanfaatkan banyak pelaku yang memiliki kuasa. 

Selain itu, dari sisi pelaku kekerasan seksual di sekolah, yakni guru. Sistem pendidikan kita secara langgeng juga terus memproduksi para pelaku ini. Hal ini dapat terjadi karena, seringkali guru dapat mengajar di sekolah tanpa melalui sistem penerimaan yang tepat. Sistem yang terus berlaku tersebut akan menghasilkan guru dengan kompoten yang belum terukur pula, terlebih dalam kompetensi kepribadian yang belum jelas. Sehingga ini dapat menjadikan peluang kekerasan seksual oleh guru dapat terjadi di banyak sekolah. Dan itu akan terus terjadi jika sistem pendidikan sebagai kontrol tidak dapat terbehani secara serius.

Formalitas Administratif

Padahal, guru sebagai salah satu profesi, sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebutkan, sudah memiliki berbagai aturan ketat terkait perekrutan, kode etik, dll. Namun realitasnya, UU sebagai landasan normatif dan hukum tersebut tidak terlaksana dengan baik. Pendidikan seakan-akan hanya menjadi formalitas administratif tanpa pengawasan substansial terhadap kualitas dan integritas. Akibatnya, berbagai penyimpangan, termasuk potensi kekerasan seksual oleh oknum guru, terus bermunculan tanpa penanganan yang sistematis dan menyeluruh.

Baca Lainya  Menggugat Perilaku Asusila Guru terhadap Murid

Hal ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di banyak profesi lain. Profesi dokter, misalnya, memiliki berbagai tahap seleksi dan etika kerja ketat, sehingga potensi terjadinya pelanggaran, termasuk kekerasan seksual, dapat terminimalisir. Meskipun tak menafikan bahwa pelanggaran tetap mungkin terjadi, tetapi dengan sistem lebih terstruktur dan akuntabel, risiko tersebut minim alih-alih dengan yang terjadi di dunia pendidikan.

Maka, pendidikan perlu mendapatkan perhatian lebih. Mulai dari sistem yang mengatur serta implementasi pengawasan ketat dan berkelanjutan. Dengan begitu, menyentuh aspek individu yang terlibat langsung dalam proses pendidikan, seperti guru, tenaga kependidikan, dan pihak sekolah. Tanpa pembenahan menyeluruh, pendidikan akan terus menjadi ruang yang rawan terhadap berbagai bentuk penyimpangan, termasuk kekerasan seksual.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *