Data putusan Mahkamah Agung (MA) selama 2018-2022 menunjukkan terdapat 213 kasus pernikahan bermasalah akibat kawin paksa. Dari jumlah ini, 119 perkara diputus dengan perceraian oleh pengadilan agama (PA).
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat terjadi kenaikan 300 persen atas kawin paksa seiring meningkatnya pernikahan anak. Bahkan pada tahun 2021 sejumlah 22 juta orang jadi korban pernikahan paksa (Kurnia, 2022).
Mayoritas korban perbudakan modern adalah perempuan dan anak-anak. Perempuan sering kali berhadapan dengan situasi tidak bisa dan tidak boleh memilih pasangan hidupnya.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi hal tersebut adalah sosial dan budaya seperti budaya patriarki, peran tradisional yang kaku, perjodohan paksa, ketergantungan ekonomi, dan tekanan sosial yang membatasi kebebasan dan hak mereka untuk menentukan dengan siapa mereka ingin menjalin hubungan atau menikah.
Martabat dan Kehormatan
Kawin paksa juga terjadi karena perempuan sering kali teranggap lemah dalam menjaga martabat dan kehormatan pribadinya. Persepsi bahwa perempuan tidak mampu menjaga martabat dan kehormatannya sering kali menjadi alasan bagi pemaksaan perkawinan.
Keyakinan ini dapat mengakibatkan tekanan sosial yang mengharuskan perempuan menikah dengan seseorang yang orang lain tentukan. Bukan berdasarkan pilihan atau keinginan sendiri. Akibatnya, perempuan bisa kehilangan jati diri dan merasa terhimpit dalam hubungan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Kawin paksa mengabaikan hak perempuan untuk membuat pilihan hidup dan merampas kebebasan mereka dalam menjaga integritas dan martabat pribadi. Hal ini, mengakibatkan perempuan terjebak dalam hubungan yang tidak ia inginkan. Dan merasa tidak memiliki kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Tak hanya itu, pemaksaan perkawinan pun telah melanggar hak asasi manusia dasar mereka, termasuk hak atas kebebasan, kesetaraan, dan martabat.
Pandangan tersebut menciptakan stigma dan stereotipe negatif terhadap perempuan, yang menghambat perkembangan mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Akibatnya, perempuan mungkin merasa rendah diri, kehilangan kepercayaan diri, dan memiliki pemahaman yang salah tentang potensi dan kemampuan mereka.
Hambatan dan Keterbatasan
Hal ini dapat menghambat partisipasi perempuan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Serta membatasi kesempatan mereka untuk mengembangkan karier, mendapat pendidikan, dan menjadi aktif dalam masyarakat. Dampaknya adalah perempuan menjadi kurang berdaya dan memiliki keterbatasan dalam mencapai potensi penuh mereka.
Kehidupan rumah tangga akibat kawin paksa adalah situasi tidak kondusif dan tidak adil. Pemaksaan perkawinan seringkali menyebabkan ketidakharmonisan dalam hubungan, yang pada akhirnya bisa berujung pada perceraian yang menyakitkan.
Salah satu atau kedua belah pihak dalam perkawinan paksa bisa merasa tertekan dan terjebak dalam ikatan yang tidak teringinkan. Kehilangan kebebasan untuk memilih pasangan hidup menghilangkan esensi dari sebuah hubungan yang sehat.
Pernikahan haruslah terbangun dengan penuh keridaan dari kedua belah pihak (suami dan istri) untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah-mawaddah-rahmah. Tujuan pernikahan dalam agama Islam, yang berarti kehidupan yang penuh ketenangan, kasih sayang, dan rahmat.
Prinsip Maqashid
Ini selaras dengan prinsip maqashid asy-syari’ah hifzdzun nafs. Prinsip maqashid asy-syari’ah yang berfokus pada pemeliharaan dan perlindungan jiwa, juga menjadi landasan penting dalam membangun hubungan pernikahan yang sehat. Dalam konteks pernikahan, prinsip ini mencakup perlindungan terhadap emosi, mental, dan spiritual kedua belah pihak. Sehingga menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk saling berbagi, tumbuh, dan berkembang bersama.
Menghargai otoritas perempuan dalam menentukan pasangan tanpa memaksa adalah tindakan yang sangat penting untuk mewujudkan kesetaraan gender dan menghormati hak-hak asasi manusia. Memberikan kebebasan kepada perempuan untuk memilih pasangan hidupnya sendiri berarti mengakui dan menghormati hak mereka untuk memiliki kendali atas kehidupan pribadi mereka.
Dalam lingkungan yang menghargai otonomi perempuan, mereka dapat menyuarakan preferensi, aspirasi, dan kriteria mereka dalam mencari pasangan yang sesuai dengan keinginan dan harapan mereka. Praktik ini memungkinkan perempuan untuk membangun hubungan yang lebih bermakna dan saling mendukung dalam rumah tangga, sehingga menciptakan lingkungan yang sehat dan bahagia bagi semua anggota keluarga.
Kemaslahatan yang terharapkan dalam pernikahan berdasar pada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak dapat mewujudkan perlindungan akal bagi laki-laki dan perempuan, sesuai dengan prinsip maqasid asy-syari’ah, khususnya hifdzul aql (perlindungan akal).
Ayat dalam Surah An-Nisa ayat 21 menegaskan pentingnya kesepakatan dan kerelaan dalam perkawinan. “Dan bagaimanakah Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan menjadikan mereka menerima petunjuk? Dan bagaimanakah Allah memberi kesesatan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan menjadikan hati mereka keras, seolah-olah mereka naik ke langit? Demikianlah Allah menimpakan hukuman kepada orang-orang yang tidak beriman.”
Dengan demikian, kesepakatan dan kerelaan dalam pernikahan merupakan bentuk perlindungan akal dan memastikan bahwa hubungan tersebut berjalan sesuai dengan kehendak dan petunjuk Allah.