Kartini seorang perempuan Jawa penikmat bacaan sastra. Perempuan ningrat Jawa yang gemar membaca berbagai buku-buku sastra mempengaruhi pemikirannya terhadap masalah yang menimpa kaum perempuan. Kita terlanjur mengerti, bahwa ia adalah perempuan paling masyhur bagi gerakan pembaharuan perempuan pribumi terhadap pelarangan dunia pendidikan kaum perempuan.
Meski kita sudah lepas dari belengu tradisi, kita masih sering lupa, bahwa Kartini mengajarkan kita membaca sastra. Pembacaannya pada buku sastra menjadi senjata perlawanan terhadap tradisi adat jawa (pingitan) pada masa kolonialisme.
Kita bisa simak kisahnya dan sastra dalam buku berjudul Panggil Aku Kartini Saja (2015) garapan Pramoedya Ananta Toer. Pram memberikan informasi kepada pembaca, bahwa Kartini seorang pembaca sastra. Sastra yang ia baca berjudul Max Havelaar, Couperus (Louis Marie Anne), Eline Vere, Een Haagsche Roman, Nootloot, Extaze, Eene Illuzie, dan Majesteit.
Raganya boleh terkurung belengu adat tapi pikirannya tak mau mengalah demi kerja pembaharuan dan pembebasan. Kartini sadar bahwa pikirannya harus terus mendapat asupan nutrisi membaca buku untuk menyampaikan paradigma dan ide-ide baru.
Ratapan dan Harapan
Dari bacaan itu, Kartini menulis surat berisi ratapan dan harapan untuk kemerdekaan pendidikan bagi perempuan. Kepatuhannya atas belenggu adat bukan berarti ia mengalah, tapi demi berbakti terhadap ayahnya. Dalam kesehariannya, hanya bacaan sastra yang menjadi teman Kartini dalam menuangkan kegelisahan, kesedihan, dan harapan. Meskipun ia tidak mendapatkan ketidakadilan dalam pendidikan, ia meyakini dengan tulisannya akan mengubah nasib kaum perempuan di masa mendatang.
Kegemaran Kartini terhadap buku sastra itu yang kini tidak tersadari menjadi warisan intelektual dalam pendidikan. Peringatan hari Kartini melulu membahas “emansipasi wanita bangsa” atas keberhasilan memerdekakan perempuan dalam pendidikan. Ingatan terhadap peringatan Kartini pada 21 April di koran Tribun Jateng (20 April 2017) memberikan informasi “Kartini menjadi inspirasi di Belanda”.
Keturunannya memperingati hari Kartini melalui jamuan makan malam bersama Bupati dan Wakil Bupati Rembang, Abdul Hafidz, Bayu Andriyanto, Michael (Duta Besar Belanda), Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial, waktu itu, ed-) di Gedung Kartini Rembang. Mereka memeriahkan peringatan melalui jamuan makanan yang penuh kenikmatan.
Tak hanya itu, para politikus berambisi menghidupkan Kartini kembali melalui pagelaran kesenian tari, meminta pihak keluarga untuk memberikan barang-barang peninggalan Kartini untuk sumbangkan ke museum Kartini di Rembang.
Peringatan Kartini kini sungguh melulu memberikan bernuansa kemegahan. Hidup dengan kesederhanaan terlanda kesedihan hanya berbekal buku yang Kartini alami, tak membuat paham perempuan abad ke-21. Acara demi acara sebagai peringatan Kartini tampaknya belum menjadi gagasan intelektualitas untuk lekas mengulangi kegiatan Kartini kembali untuk membaca buku.
Menulis Ingatan
Pengetahuan orang terhadap Kartini sebatas perempuan paling ampuh yang mampu menumbangkan tradisi (pingitan) bagi perempuan untuk bersekolah. Buku yang Kartini tulis melalui kumpulan surat-surat R.A Kartini berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (1992) garapan Armijn Pane mengingatkan kita keresahan serta kesedihan yang pernah kartini alami atas bangsannya. Kita patut mendengarkan dari nukilan tulisan Kartini ;
“Harapan, tinggal Harapan! Pedih rasa Hatiku, Mengenangkannya lagi. Kami di sini tiada memperkatakannya lagi, tetapi diam tanda mengia, belum tanda mengalah; kami sudah sampai sejauh itu; akan melepaskan semuanya kami tidak suka, dan sekali-kali tiada niat kami hendah membuangkannya, tak pernah berniat yang demikian itu.” (halaman, 62)
Ketakutan Kartini atas bangsanya, ia lampiaskan melalui tulisan yang mampu menjadi ingatan kita bersama. Agaknya pesan Kartini melalui buku untuk menumbuhkan perempuan cerdas telah lapuk tertelah keadaan zaman modern. Mengingat Kartini kini telah menggebu sebagai acara yang fenomenal nan sensasional yang harus berorientasi pada peran-peran perempuan.
Kita bisa menduga saja, peringatan Hari Kartini akan ada adegan ambisius yang tak logis dalam berbagai acara yang mampu kita ketahui. Di antaranya; berhijab ala Kartini, berpakaian kebaya, adu memasak, bahkan acara mendaki gunung sebagai perjuangan mengingatnya. Peringatan Kartini tampaknya menjadi acara penuh kesakralan melalui adegan peran kerja perempuan terkini. Kehebohan serta kemashuran untuk mengingat hari Kartini semakin terlupakan, bahwa pesan Kartini kepada perempuan ialah harus terus membaca serta menulis sebagai kegiatan kerja intelektual sebelum tubuh ini menghilang.[]