“Tradisi kuno dari buku tua menjelaskan bahwa seorang putra dari bangsa kesatria tidak boleh menikah dengan seorang putri dari bangsa Brahmana. Namun, seorang putra dari bangsa Brahmana boleh menikahi perempuan dari bangsa kesatria. Tradisi tersebut semata-mata untuk menjaga agar kaum perempuan dari bangsa Brahmana tidak diturunkan ke status kasta yang lebih rendah.“
Kalimat di atas merupakan pernyataan dari salah satu novel karya Khilma Anis yang kemudian memunculkan pertanyaan bagi perempuan. Apakah tradisi pernikahan perempuan dari kalangan Brahmana atau priyai harus dinasti (pesantren) yang mengatur di dalamnya?
Mayoritas pesantren akan berupaya untuk menjaga dinastinya dengan menikahkan perempuan dari kalangan Brahmana atau yang kita kenal dengan sebutan (Ning) di era sekarang dengan laki-laki yang juga dari kalangan Brahmana (Gus). Dengan tujuan untuk mempertahankan dua lembaga agar tetap terjalin hubungan dengan baik. Meskipun hal demikian tidak seluruhnya terjadi di semua pesantren, namun tradisi-tradisi tersebut hingga kini masih bertahan dan memiliki daya tarik dari berbagai kalangan.
Tradisi Pesantren
Dunia pesantren erat kaitannya dengan beragam budaya dan tradisi yang menarik menjadi bahasan. Termasuk pembahasan mengenai perjodohan, Insumar (2015) menyatakan bahwa perjodohan adalah upaya menyatukan dua insan, perjodohan memiliki makna ikatan pernikahan yang terjadi bukan atas dasar keinginannya sendiri. Perjodohan memiliki unsur desakan dari pihak lain, baik dari orang tua maupun hasil dari tradisi itu sendiri, namun tidak sepenuhnya perjodohan terkesan negatif, ada pula yang kemudian berakhir dengan saling mencintai.
Perjodohan di lingkungan pesantren bukan lagi menjadi hal yang baru. Bahkan di luar dunia pesantren, era terdahulu misalnya, hal-hal semacam itu sudah terepresentasikan melalui karya sastra yang banyak menghadirkan kisah-kisah perjodohan. Seperti karya fenomenal Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, Kalau Tak Untung karya Selasih, dan karya-karya lainnya (Haryanti dan Fakhriyah, 2020).
Gambaran Karya
Adapun di era sekarang, perjodohan di kalangan pesantren masih eksis tergambarkan melalui karya-karya sastra. Terdapat dalam novel Dua Barista karya Najhaty Sharma, Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy, dan tiga karya Khilma Anis Hati Suhita, Wigati, serta Jadilah Purnamaku Ning yang telisikannya banyak menghadirkan tradisi-tradisi pesantren termasuk salah satunya adalah perjodohan baik dari kalangan ning maupun santri dalam cerita tersebut.
Karya-karya tradisi pesantren yang memuat perjodohan di atas memunculkan beragam asumsi yang menggemaskan. Meskipun tersampaikan dalam balutan fiksi, namun unsur utama adalah perempuan pesantren berbicara mengenai perempuan pesantren.
Melihat biografi penulis merupakan orang-orang dari kalangan pesantren baik seorang ning maupun bu nyai. Mengetahui bahwa karya sastra genre novel bertema perempuan pesantren belum banyak tertulis oleh kalangan perempuan pesantren sendiri. Sehingga hal ini menjadi magnet bagi orang luar untuk memahami lebih dalam tradisi dan budaya yang ada di dalam pesantren, termasuk perjodohan.
Kepasrahan dan Kesetaraan
Geertz (1989) mengungkapkan bahwa dalam masyarakat Jawa perkawinan termasuk pemilihan jodoh menjadi urusan orang tua mempelai. Kepasrahan terhadap pemilihan jodoh dengan mempertimbangkan faktor jenjang sosial, wawasan keagamaan, kafaāah (sekufu atau kesetaraan status) dan larangan incest (perkawinan sedarah), teranggap sebagai suatu bentuk pengabdian dan kepatuhan kepada orang tua.
Hal tersebut yang kemudian menjadikan hak seseorang terampas dan tidak memiliki kesempatan dalam memilih pasangan hidupnya. Terutama hak-hak perempuan baik santri maupun ning di kalangan pesantren yang masih kerap tertemui. Senada dengan pendapat Sundari (2021) bahwa perempuan pesantren seolah senyap dan membutuhkan mulut orang lain untuk bersuara. Mengiyakan dengan alasan berpegang pada ketaatan terhadap guru. Padahal perempuan sendiri memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menyuarakan hak-haknya.
Namun sejauh ini, para perempuan dari kalangan pesantren mulai bangkit untuk menyuarakan hak-haknya, menggaungkan keadilan bahkan kesetaraan gender. Hal ini terbuktikan dengan banyaknya tokoh perempuan baik dari kalangan Ning maupun Bu Nyai yang aktif dalam relasi gender.
Seperti bu nyai Sinta Nuriyah, Nur Rofiah, Hindun Annisah, Badriyah Fayumi, Masriyah Amva dan lain-lain. Tradisi pesantren begitu melekat dalam dunia mereka, sehingga lebih mengetahui seluk-beluk dan alasan konkret mengapa perjodohan terjadi. Dengan demikian, kembali memunculkan pertanyaan, apakah sejauh ini orang-orang dari kalangan pesantren masih melakukan perjodohan?