Anak Perempuan bersama Dukanya

Anak Perempuan dan Ayah Sumber Gambar: pixabay.com

Tepat dua bulan yang lalu, saya kehilangan peran dan sosok bapak dalam hidup sebagai anak perempuan. Bukan hanya sosoknya, tapi juga kasih sayang dan harapan dalam segala aspek kehidupan saya. Bapak terkena penyakit diabetes dan hipertensi di beberapa tahun belakangan. Tak saya sangka jika sakitnya menggerogoti tubuh bapak hingga menderita gagal ginjal stadium lima.

Kurun waktu empat bulan bapak benar-benar berjuang melawan sakitnya. Laki-laki tangguh yang tak pernah mengeluh harus berdiam merasakan sakit yang sudah terdiagnosis tidak bisa sembuh. Bahkan pada hari-hari terakhir masa hidupnya mendiang sebenarnya harus melakukan operasi untuk amputasi satu jari kakinya.

Pagi itu, bapak tiba-tiba tidak sadarkan diri, saya langsung berlari memanggil dokter jaga. Dokter pun datang dengan cepat memberikan penanganan, saya dan ibu menunggu di luar. Tak berapa lama, dokter mengatakan bahwa terjadi henti jantung secara tiba-tiba dan menyatakan saat itu juga bahwa bapak telah meninggal dunia. Saya berlari masuk ruangan tidak percaya, bahkan sampai menggoyang-goyangkan tubuh bapak agar bisa terbangun kembali.

Saya tidak menemukan rasa tenang dalam jiwa, yang pada awalnya merengek dan berteriak sejadi-jadinya. Lalu berteriak lantang sambil memeluk tubuhnya, “Bapak, Pak. Saya di sini, Pak! Bapak jangan pergi, ayo antar saya ke sekolah, ke kampus! Bapak belum melihat kampus saya”, seketika suster menangis dan keluar dari ruangan.

Rasa Haru

Tangan bapak saya pegang sekencang-kencangnya, saya ajak untuk jalan-jalan seperti biasanya. Simbah menarik dan memeluk saya seerat mungkin. Keadaan rumah sakit menjadi haru kala itu. Ada yang menarik saya keluar untuk mengurus kematian bapak. Tubuh saya lemah tak berdaya, terduduk bersandar di depan pintu kamar rumah sakit lalu hanya bisa terdiam menangis di depan jenazahnya.

Baca Lainya  Transportasi Publik dan Ironi Pelecehan

Saya harus mengurus surat kematian bapak dari rumah sakit, beberapa suster memeluk seerat mungkin dan ikut menangis. Mereka ikut berbelasungkawa atas kepergian bapak. Rasanya runtuh seketika, rintih tangis yang tak kunjung henti membuat hati rapuh hancur berkeping-keping. Saya tidak pernah menyangka bahwa bapak meninggalkan sebelum saya berhasil mengenakan toga.

Pemakaman sore hari itu, raga saya tak berdaya, semua orang turut hanyut dalam ratap. Setiap orang yang ikut mengantar bapak memeluk saya dan menangis. Saya menyaksikannya, bapak yang sudah tiada, terkubur dalam tanah tempat sekaligus rumah barunya. Hari itu seakan tak nyata, saya menatap sendu dan masih dengan isak tangis memanggil “Bapak, bapak!” dengan lirih.

Sosoknya yang teduh, tidak pernah sekalipun membentak saya. Beliau yang mengerahkan semua raganya untuk membahagiakan saya, senyumnya yang tak bisa lagi saya lihat, tawa candanya yang tak bisa lagi saya dengar, peluk hangatnya yang tak pernah lagi dapat saya dekap. Cintanya yang selalu saya rasakan rindunya setiap saat.

Saya rasa, saya tidak dekat dengan bapak. Namun nyatanya, saya merasa kehilangan arah saat beliau tiada. Semua terasa dejavu, ternyata apa saja kegiatan saya ada sosok bapak di sebelah. Bapak yang selalu saya panggil ketika membutuhkan pertolongan. Dan beliau yang selalu sigap memberikan jasanya kepada anak perempuan tunggalnya ini.

Impian Orang Tua

Semenjak menginjak remaja, saya hampir tidak pernah berdiskusi dengan bapak. Saya hanya fokus pada diri sendiri. Bapak seperti terlihat tidak peduli, tapi nyatanya yang paling bahagia saat saya berhasil mencapai mimpi. Padahal universitas saya saat ini adalah universitas yang bapak inginkan. Saya sengaja tidak memberitahu bapak ketika akan ujian, ingin memberi surprise ceritanya agar bapak lekas sembuh dan bersemangat melihat kampusku yang baru.

Baca Lainya  Mubadalah sebagai Prinsip Berorganisasi

Ketika lulus, saya langsung memberitahu hasil kelulusan di universitas itu kepada bapak. Bapak senang mendengarnya, bahkan tersenyum turut berbahagia atas pencapaian saya. Namun, ketika saya memulai pembelajaran dan adaptasi di kampus baru, bapak malah pergi meninggalkan saya.

Betapa pilu dan hancur hati ketika saya berangkat ke kampus tanpa berpamitan lagi dengan bapak. Salam dan cium hangat beliau yang membuat saya bersemangat saat menuntut ilmu, begitupun ridanya yang selalu saya tunggu agar mempermudah semua langkah.

Kepergiannya membekas di ingatan, kejadian yang mengharu dan bahkan mengikis hati ketika merindu. Sekitar dua pekan, saya mengurung diri di kamar, tidak berselera makan, bahkan terus menangis atas kepergian bapak. saya benar-benar kehilangan arah dan harapan untuk bisa bangkit.

Rasanya membingungkan, kehilangan rasa sangat mencekam. Trauma bahkan takut ditinggalkan oleh orang sekitar lagi. Saya juga takut mengais kasih sayang terhadap orang lain, bukan hanya butuh perannya, tapi malah menggantungkan diri saya kepada orang lain. Bukan maksud acuh pada dirik sendiri. Toh, juga orang lain tidak mengenal saya dengan segala tingkah lelaku saya yang sebenarnya.

Tak apa, saya bisa meyakinkan diri untuk berusaha melakukannya sendiri. Bukan karena apapun tapi setiap manusia pasti ada kalanya merasa diri sendirilah yang paling mengerti jawabannya. Semoga, kelak segera saya temukan arti keikhlasan yang sebenarnya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *