Apakah kita pernah mendengar bahwa perempuan tak pantas mencecap pendidikan tinggi? Atau, ada juga yang mengatakan, perempuan itu di dapur, tak pantas kuliah/sekolah tinggi. Bahkan sudah banyak orang zaman dulu hanya lulusan SD, SMP, hingga SMA, tak melanjutan ke perguruan tinggi.
Cara berpikir orang demikian, kebanyakan menganut budaya patriaki yang mengakar kuat. Sebagaimana menganggap bahwa perempuan melulu di ranah dosmetik rumah tangga. Pun kerap menganggap jika ilmu yang perempuan peroleh tidak berguna. Sebab, katanya, pada akhirnya perempuan akan berakhir di dapur jika manjadi istri.
Di Indonesia, budaya yang melihat kaum laki-laki berwenang di atas perempuan ini masih awet hingga kini. Segelintir masyarakat masih menganut persepsi seksis tersebut sehingga timbul berbagai macam bentuk pembatasan dan diskriminasi pada kaum perempuan di berbagai bidang maupun aktivitas. Adanya pengotak-kotakan sektor domestik dan publik membuat ruang gerak perempuan menjadi terbatas ketika ingin berada di taraf yang setara dengan laki-laki di ruang publikĀ (Apriliandra & Krisnani, 2021).
Menghalau Pembatas
Mungkin, banyak perempuan sekarang yang gagal kuliah karena lingkungan mereka menganut budaya patriaki sangat kuat. Dengan demikian, mereka terpaksa memilih tak kuliah dan hanya di rumah. Kebanyakan perempuan hidup di bawah sistem yang, secara halus, membatasi berkembang. Entah soal pendidikan, bakat, dan potensi.
Pengalaman saya, pertama kali memutuskan kuliah dan merantau menjadi bahan julid (omongan) tetangga maupun saudara, meski kedua orang tua selalu mendukung pilihan anaknya. Mereka yang memiliki pola pikir seperti itu selalu beranggapan bahwa kuliah hanya menghabiskan uang, tidak ada hasilnya dan berujung di dapur.
Ini termasuk diskriminatif, mereka selalu membatasi hak perempuan untuk sekolah/berpendidikan tinggi. Di era modern seperti sekarang, semua gender memiliki hak dan kesempatan berpendidikan tinggi. Tak hanya lwlaki saja yang mesti sekolah tinggi, tapi perempuan juga memiliki hak yang sama.
Perempuan berkualitas akan melahirkan anak cerdas. Para peneliti di Glasgow, Skotlandia mengambil pendekatan lebih manusiawi untuk mengeksplorasi kecerdasan. Sejak 1994, kemudian dilakukan tiap tahunnya, peneliti mewawancarai 12.686 orang berusia 14-22 tahun. Hasilnya, tim peneliti menemukan prediktor kecerdasan terbaik adalah IQ dari seorang ibuĀ (Makarim, 2021).
Dalam artikel (Ziha, 2022)Ā mengatakan bahwa secara ilmiah bahwa 75-80% kecerdasan anak terwariskan dari kecerdasan ibu. Ayah hanya mewariska kecerdasan 20-25% saja. Ibu menurunkan kecerdasan lebih banyak karena memiliki dua kromosom X, sedangkan ayah hanya satu. Kromosom inilah sebagai penentu fungsi kognitif seorang anak.
Merentangkan Peradaban
(Fadhilah, 2025) mangatakan, di era modern perempuan memiliki hak dan kesempatan sama untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan berkontribusi di berbagai bidang. Pendidikan bukan hanya sekadar formalitas, tetapi sebuah hak yang harus diperjuangkan. Dengan pendidikan, perempuan tidak hanya dapat menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, tetapi juga dapat membantu membangun masyarakat yang lebih maju dan beradab.
Dengan begitu, kalau ada yang masih beranggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi, mungkin sudah saatnya kita bantu membuka pikiran mereka. Dunia sudah berubah, dan sudah saatnya kita meninggalkan pola pikir lama yang tidak lagi relevan dengan kenyataan saat ini.
Buktinya, di zaman sekarang sudah banyak perempuan yang aktif di dunia politik, olahraga, dan akademik. Serta, perempuan sekarang membawa pengaruh cepat terhadap dunia maya maupun di kehidupan nyata. Hal ini bisa tercapai karena kemampuan dan pendidikan yang dibentuk pada dirinya. Seorang yang kurang akan kualitas dirinya maka akan mendapat posisi yang kurangĀ (Ziha, 2022).
Walhasil, perempuan yang sekolah tinggi dan berwawasan luas sangat perlu di kehidupan ini. Kehidupan yang akan dihadapi ke depannya tanpa bekal akan membuat perempuan rentan terjebak dalam konflik atau drama kehidupan rumah tangga. Terlebih lagi, perempuan memiliki peran penting sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, investasi terbesar bagi masa depan adalah pendidikan.[]

