Pemerintah saat ini, melalui Kementerian Kebudayaan, tengah melakukan penulisan ulang sejarah Indonesia. Pelbagai macam motif dan alasan menyertai intrik penulisan ulang sejarah ini. Banyak pro-kontra di sana-sini. Para ahli dan pengajar sejarah dari sekian universitas berkumpul mengkaji kebijakan Kemenbud yang ambisius ini.
Kita sadar dan mengerti sesuatu yang “mengulang” itu tak ubahnya kerja dua kali. Konon, Kemenbud kuat beralasan bahwa banyak peristiwa sejarah yang tak termaktub. Sialnya, ungkapan “Sejarah ditulis oleh pememang” itu tak dimaknai dengan baik. Berarti selama ini sejarah kita belang-bentong dalam menyakupi peristiwa demi peristiwa?
Oh, ucapan meluruskan sejarah karena sebelumnya tertulis dengan tak benar-lengkap adalah alasan klise. Kalau-kalau saja ingin benar-benar menulis ulang sejarah Indonesia, maka segala peristiwa meski itu bersih-kotor, baik-buruk, tenang-herois, dan lainnya semuanya mesti termaktubkan. Kemenbud jangan sembarang dengan alibi menulis ulang, tapi hanya memasukkan sejarah yang baik semata.
Sejarah Tak Memihak
Penulisan sejarah harus mencontoh penulisan kamus, segala kata baik-buruk, bagus-jelek, kotor, jorok, itu terenteri di dalamnya. Agar orang tahu dan kenal bahwa kamus sejatinya bukan sekumpulan lema yang bagus dan baik. Ia mewadahi semua kata, artinya ia nertal. Kamus tidak berpihak, begitupun juga mestinya dengan sejarah. Kamus tetap menulis diksi jorok dan buruk, sejarah juga demikian seharusnya, peristiwa kekelaman dan kekejaman tak boleh absen di dalamnya.
Saya ingat ungkapan Dandhy Dwi Laksono dalam Debat Keren bertema Papua dengan Budiman Sudjatmiko 2019 silam bahwa Indonesia belum menjadi negara maju sebab ia belum selesai dengan sejarahnya sendiri. Dandhy mengibaratkan dengan Jerman sebagai negara maju di Eropa bukan semata karena sukses dengan bisnis mobil dan bajanya, tetapi karena mereka telah rampung dengan sejarah bangsanya sendiri.
Ini amat tersayangkan dari penulisan ulang sejarah Kemenbud yang, kalau boleh saya mengatakannya dengan jorok, berusaha menghapus dosa kekerasan negara terhadap perempuan. Sebab salah satu isu yang tersoroti ialah kala Fadli Zon, Menteri Kebudayaan, menyebutkan peristiwa pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998 adalah rumor.
Proyek ini, menurut Perempuan Mahardhika, sarat kepentingan kekuasaan, minim pastisipasi publik, dan berpotensi menghapus sejarah kekerasan terhadap perempuan serta kelompok rentan lainnya. Kita tak boleh menjadi bangsa yang sejarah hanya akan menjadi narasi tunggal penguasa saja.
Banyak kasus yang sedari dulu masih luput tertuliskan dalam perjalanan kesejarahan bangsa ini mengenai kekerasan terhadap perempuan. Tragedi pembantaian 1965, Mei 1998, Marsinah, dan sebagainya. Isu glorifikasi kekuasaan dan normalisasi impunitas pun tercurigai Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty, ihwal penulisan ulang ini.
Potensi Mengaburkan
Kita tahu, usaha-usaha kesepihakan apapun bakal berpotensi mengaburkan sesuatu yang jelas dan benar. Konsep kesepihakan pemerintah ini menjadi ancaman terhadap pelbagai fakta yang semestinya khalayak ketahui. Bukan malah kekuasaan memanipulasi dan mengglorifikasinya. Kebaikan dituliskan, sementara kejahatan diacuhkan begitu saja. Aneh.
Bila kita membaca sejenak ke belakang, dengan jelas dalam bukunya berjudul Politik Huru-Hara Mei 1998 (2004) Fadli Zon menganggap tindakan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) adalah gegabah dan naif dalam menganggap informasi dan kesaksian rohaniawan atas kasus pemerkosaan walau tanpa pengujian medis. F
Dari awal, sebenarnya Fadli Zon berusaha menyangkal, untuk tidak menyebutnya menghalangi, pengungkapan kasus pemerkosaan ini. Hingga pada rezim Prabowo, ia menjadi Menteri Kebudayaan yang, mungkin memiliki kewenangan demikian, ia berusaha mengubah catatan kesejarahan itu. Tak lain demi sebuah jalan penyucian yang ia juntokelompoknya ingin lakukan.
Banyak aliansi, aktivis, dan organisasi dari pelbagai kalangan menolak ide penulisan mereduksi adanya pemerkosaan massal Mei 1998. Alasannya jelas, proyek itu selain problematik adalah sarat kepentingan politik. Fadli Zon dengan segala perspektif kebenarannya ihwal kesejarahan ini amat ambisius dan bertarget tetapi semrawut, ngawur, sekaligus serampangan dalam proses risetnya.
Saya tergelitik ketika membaca pengantar Fadli Zon dalam bukunya itu, “Saya sebagai salah seorang saksi mata dan berada di tengah putaran badai ketika peristiwa Mei, tidak ingin peristiwa bersejarah itu dijadikan propaganda pribadi. Saya tidak ingin anak cucu saya membaca sejarah yang salah,”
Umumnya politisi, walau tak semua, Fadli Zon seperti gemar bersilat lidah. Di 2004 silam, ketika bukunya terbit ia ungkapkan kejengkelan kepada mereka yang berusaha mempropaganda sejarah, sekaligus peduli akan riwayat pemahaman sejarah bagi generasi mendatang. Namun kini, 21 tahun setelahnya, ketika ia menjadi pemegang kuasa di suatu kementerian berurusan soal budaya, lidahnya bersilat. Ia yang kini berusaha memporpagandakan sejarah bagi kelompoknya, bosnya, atau bagi dirinya (mungkin)?[]