Gen Z dan Pernikahan: Prioritaskan Karier atau Komitmen?

Pernikahan Sumber Gambar: istockphoto.com

Belakangan ini, media sosial ramai memperdebatkan persepsi tentang pernikahan. Fenomena ini menarik perhatian, terutama saat mengaitkannya dengan pola pikir Generasi Z (Gen Z), khususnya perempuan. Perempuan Gen Z cenderung memaknai pernikahan berbeda dari generasi sebelumnya. Banyak orang menunda pernikahan demi mencapai kemapanan pendidikan, karier, dan keuangan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren penurunan angka pernikahan di Indonesia: dari 1,9 juta (2022) menjadi 1,7 juta (2023), dan terprediksi turun lagi menjadi 1,6 juta (2024). Sementara itu, perceraian justru naik—dari 516.344 kasus (2022) menjadi sekitar 529.000 kasus (2023). Kenaikan ini menunjukkan pergeseran makna pernikahan dan tantangan struktural yang memengaruhi persepsi generasi muda terhadap perkawinan.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga melanda negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Di sana, pernikahan mengalami krisis serius dengan menurunnya angka kelahiran serta meningkatnya usia pernikahan pertama.

Lintasan Perspektif

Globalisasi informasi, terutama melalui TikTok, Instagram, dan YouTube, menyebarkan tren ini melintasi batas geografis. Perempuan Gen Z di Indonesia, sebagai generasi digital, menyerap narasi dari luar negeri sehingga mereka bersikap lebih kritis terhadap pernikahan. Akibatnya, perspektif generasi muda Indonesia tentang pernikahan bergeser—dari yang semula teranggap kewajiban sosial, kini menjadi pilihan personal yang memerlukan pertimbangan rasional dan emosional matang.

Fenomena ini tentu tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari berbagai faktor yang membentuk pola pikir baru di kalangan perempuan Generasi Z. Salah satu faktor utama yang mendorong lahirnya pandangan independen dan kehati-hatian terhadap pernikahan adalah semakin menguatnya nilai-nilai kemandirian dalam kehidupan perempuan muda masa kini. 

Istilah-istilah seperti “independent women” dan “alpha girl” kini semakin sering muncul dalam ruang publik, mencerminkan sosok perempuan yang berorientasi pada pengembangan diri, pencapaian karier, serta stabilitas finansial. Dalam konteks ini, pernikahan tidak lagi terpandang sebagai satu-satunya tujuan hidup, melainkan sebagai salah satu pilihan yang patut terpertimbangkan dengan matang, sesuai kesiapan pribadi dan nilai-nilai yang orang-orang yakini.

Baca Lainya  Peran Ibu sebagai Pendidik Keluarga

Kesadaran Kolektif

Istilah yang tersematkan perempuan mandiri kini mengalami perluasan makna. Tidak lagi terbatas pada kemandirian finansial, istilah-istilah ini juga mencerminkan kebebasan dalam berpikir, berpendapat, serta mengejar karier tanpa batasan norma gender tradisional. Konsep-konsep tersebut semakin akrab di kalangan perempuan Generasi Z, terutama karena penyebarannya yang masif melalui konten-konten edukatif dan inspiratif di media sosial. Platform seperti TikTok, Instagram Reels, hingga podcast populer seperti “Perempuan Berdaya” dan “Women Talk” memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran kolektif akan nilai-nilai kemandirian perempuan. 

Selain itu, istilah baru seperti “Sigma Female” juga mulai populer. Istilah ini melambangkan sosok perempuan yang mandiri, tidak tunduk pada ekspektasi gender konvensional, serta fokus pada pencapaian pribadi tanpa menjadikan relasi romantis sebagai sumber utama validasi diri sehingga semakin menciptakan sikap hati-hati terhadap pernikahan.

Generasi ini tumbuh di era keterbukaan informasi yang memungkinkan mereka mengakses berbagai narasi pernikahan, baik inspiratif maupun negatif. Akses ini memperluas wawasan dan membentuk pola pikir kritis terhadap realitas pernikahan. Penelitian empiris dari Ahmad Muflihul Wafa and Muhammad Harfin Zuhdi (2025) menunjukkan paparan berita perceraian selebriti di media sosial memicu ketakutan dan kecemasan tentang pernikahan di kalangan perempuan Generasi Z. Konten soal konflik, KDRT, atau kegagalan rumah tangga publik figur turut membentuk sikap skeptis terhadap pernikahan.

Fenomena ini juga dipengaruhi ketidakstabilan ekonomi global dan nasional pasca pandemi COVID-19. Inflasi tinggi, sulitnya mendapatkan pekerjaan layak, serta kebutuhan pendidikan membuat Generasi Z berpikir ulang sebelum menikah. Bagi mereka, pernikahan adalah komitmen besar yang butuh kesiapan matang, bukan karena tekanan sosial.

Budaya fear of missing out (FOMO) mendorong perubahan prioritas hidup. Banyak yang memilih pengalaman pribadi seperti traveling, pengembangan diri, dan karier dibanding membangun rumah tangga. Hal ini sejalan dengan temuan Adhani dan Aripudin (2024) yang menyebut pernikahan bagi Generasi Z bukan keharusan, melainkan pilihan sadar demi pencapaian pribadi dan kemandirian finansial.

Baca Lainya  Otoritas Keluarga dan Reproduksi Sistem Patriarki

Kesiapan Mental dan Finansial

Tingginya angka perceraian juga memperkuat sikap hati-hati ini. Zahro (2023) menunjukkan media sosial, khususnya Instagram, menjadi sumber utama gambaran realitas pernikahan. Isu KDRT selebriti sering dikonsumsi publik dan membentuk persepsi negatif. Penelitian Adhani dan Aripudin (2024) menegaskan perempuan Generasi Z mengutamakan pendidikan, karier, dan kemandirian dibanding menikah. Azkah (2024) menambahkan kesiapan mental dan finansial sebagai pertimbangan utama sebelum menikah.

Penelitian lain menunjukkan pergeseran persepsi lebih luas. Tirta dan Arifin (2025) mencatat fenomena “marriage is scary” berkembang karena ketidakpastian ekonomi, perubahan peran gender, dan angka perceraian. Malewa (2025) menegaskan kekhawatiran ini menguat pasca pandemi, terutama di kota besar. Habibah dan Pertiwi (2024) menyoroti peran TikTok membentuk pandangan pernikahan Generasi Z. Popularitas konten soal kemandirian perempuan dan gaya hidup childfree menandakan keputusan generasi ini lebih didasari preferensi pribadi, bukan norma tradisional.

Fenomena ini mencerminkan evolusi sosial dan ekonomi. Perempuan Generasi Z dipandang sebagai individu utuh dengan potensi mandiri di masyarakat. Keputusan menunda atau tidak menikah bukan penolakan, melainkan hasil pertimbangan matang. Pergeseran ini menunjukkan kemajuan pola pikir generasi muda, mereka berani mengambil keputusan rasional, bukan tekanan budaya atau ekspektasi sosial. Meski begitu, keputusan menikah di usia muda tetap hak individu selama diambil sadar dengan kesiapan mental dan finansial. Pergeseran ini diharapkan meningkatkan kualitas relasi pernikahan di masa depan karena didasari kematangan berpikir dan bertindak.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *