Sumber Gambar: freepik.com
Seseorang yang, sedari kecil, memiliki segumpal impian itu bernama anak. Di sekolah, mereka terminta mengisahkan impiannya kelak. Setyaningsih dalamĀ Bermula Buku, Berakhir TeleponĀ (2016) mendaraskan definisi, barangkali seseorang yang tak memiliki impian, ia tak pernah merasa menjadi manusia penuh pengharapan sekaligus keputusasaan.
Fase kanak-kanak pernah terlewati setiap orang. Segala imajinasi, rasa penasaran, hingga ketakjuban teralami sedemikian rupa. Ada ingatan dan penyesalan berkaitan dengan fase ini saat manusia-manusia bertumbuh dewasa. Tak sedikit manusia remaja dan dewasa sulit melepas-lucutkan tindak-tanduk kekanak-kanakannya.
Anggapan ini tertanam di sebagian orang seakan sifat ākebocahanā itu memalukan. Sulit terhindarkan, dalam kasus ini, bocah seringkali tertuduh sebagai fase bodoh, lemah, konyol, dan sentimen negatif lainnya. Kita sering mendengar sindiran lewat kalimat, āJangan berpikir seperti bocah, berpikirlah dewasa!ā.
Bocah tertuding berpikir pendek. Berpandangan saklek dan mampet. Pantas dalam kartun India berjudulĀ Shiva, yang tokoh utamanya seorang anak kecil bernama Shiva, sering mendapat lirikan sebelah mata dari lawan-lawannya. Padahal Pak Laddu Singh, seorang inspektus polisi, sering kali mendapat bantuan bocah kecil tersebut untuk menangkap atau melawan penjahat.
Saat adegan itulah, para penjahat kadang menganggap remeh Shiva dan kawan-kawan lewat olokan jangan mencampuri urusan orang dewasa. Lalu ucapan andalan terlontar dari mulut Shiva, āJangan panggil aku anak kecil, Paman!ā Shiva memang masih bocah namun tak ingin diremehkan lewat penyebutan anak kecil.
Melahirkan Imajinasi
Ingatan terhadap fase kanak-kanak sedikit banyak mengilhami sastrawan kondang asal Lamongan, Mahfud Ikhwan. Dalam salah satu cerpennya berjudul āBelajar Mencintai Kambingā, Mahfud menggambarkan sosok bocah saat libur sekolah meminta bapaknya membelikan sepeda untuknya. Konyol, bapaknya malah membelikan seekor kambing, āKambing lebih baik,ā tulisnya.
Cerpen itu termaktub dalam buku kumpulan cerpen Belajar Mencintai Kambing (2016). Kambing di sana, termaknai sebagai bayangan membantu orang tua tanpa harus kehilangan waktu bermain. Ya, zaman dulu, menggembala itu sama dengan bermain. Sepulang sekolah, bocah-bocah belingsatan menuntun kambing mereka ke ladang. Saling memamerkan kegagahan kambing-kambing mereka.
Bocah dan kambing pula lah yang menyertai Mahfud dalam penyusunan novelĀ Kambing dan HujanĀ (2015)-nya itu. Novel apik pemenang I sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014. Kisah kecil Mat dan Is yang menggembala kambing. Bahkan keduanya sampai telaten menamai anak-anak kambing mereka yang baru lahir. Dan, tempat yang paling tersukai di Tegal Centong untuk mengumbar gembalaan kambing mereka diĀ gumuk genjikĀ (bukit babi hutan).
Amatan Bocah
Berbeda dengan Mahfud yang menuangkah kisah bocah pada adegan cerpen atau novelnya, Bandung Mawardi (selanjutnya disebut Kabut) mengisahkan bocah lewat sekian pengamatan sederhananya. Ia membahas anak, buku tentang anak, puisi berkaitan anak, dan berita tentang anak lewat esai atau kliping sederhananya.Ā
Pada 2021, esai-esai bertema anak itu terabadikan dalam bukuĀ Terbaca: Sejenak Bertema Anak. Buku anak tersembahkan pula untuk bocah. Di sana tertulis, buku tersembahkan untuk Abad Doa Abjad, Sabda Embun Bening, dan Bait Daun Takjub. Nama ketiga anak itu indah bercap sastra. Buku ini satu dari sekian kumpulan tulisan Kabut membahas soal anak.
Tulisan-tulisan lain, soal āanakā tercecer di sekian kumpulan esai-esai Kabut. Bahasan anak dan puisi bisa terlacak dalam buku Dahulu: Mereka dan Puisi (2020). Kita bisa memungut satu esai berjudul āBocah, Ulah, Musibahā. Pengisahan Kabut: āSekian tahun, aku kadang diminta sekolah-sekolah untuk melatih murid-murid membaca puisi.ā
Kabut mendapat tawaran melatih murid membaca puisi itu sebuah kejenuhan, katanya. Latihan itu termaksud agar murid bisa ikut lomba baca puisi. Gugatan Kabut membara soal puisi lomba bukan puisi gubahan bocah. Ia ingin lomba puisi bocah diambil dari puisi karya bocah juga. Kabut agak senewen melihat bocah membaca puisi jauh bertema diri dan masanya.
Lain dari Mahfud dan Kabut, Puthut EA, kepala suku mojok.co ini memiliki banyak kisah soal anak, soal anaknya. Bahkan Puthut menulis catatan harian dari mulai Bisma Kalijaga, anaknya, lahir hingga ia tumbuh dewasa. Catatan-catatan itu termaktub dalam bukuĀ Dunia KaliĀ (2018).Ā
Catatan berisi rekaman interaksi seorang bapak dengan anak laki-lakinya. Mulai dari kisah jenaka, mengaduk perasaan, hingga pembangkangan anak terhadap orang tua. Atas pembacaa buku itu, kita tahu dalam relasi ortu-anak, bukan hanya anak yang belajar dari ortu, namun juga sebaliknya.
Hak dan Kesan Sepele
Soal bocah, saya teringat peristiwa di sekitaran Kelas Bahasa Indonesia yang diampu Mrs. Uun Nurcahyanti di lembaga Smart ILC Kampung Inggris, Kediri. Ketika itu, Joykoāanaknya Mr. Ungaātengah berputar-putar tak jauh dari lingkaran kelas kami. Salah seorang murid kelas kami menegur Joy seraya berucap, āJangan berputar-putar nanti pusing!ā.
Mendengar itu, Mrs. Uun menegur sikap murid tadi. āJangan biasakan melarang anak untuk melakukan hal yang ia sukai. Berputar-putar mungkin bagi kamu pusing tapi belum tentu bagi Joy,ā terang Mrs. Uun pada murid tadi.
Pesan ini membekas di ingatan saya. Selama ini, tak jarang, saya pun sering melarang anak kecil, dengan alasan perbuatan itu teranggap tak baik baginya. Dari ucapan Mrs. Uun saya mendapat ibrah, sekecil apapun keputusan yang diambil anak-anak, kitaāsebagai orang lain, orang dewasaātak berhak menyimpulkan sepihak, apalagi melarangnya.
Apa yang terlakukan anak kecil hari ini tak lepas dari takaran kemampuan dan instingnya. Lalu bagaimana bila Joy benar pusing saat berputar-putar dalam kasus di atas, misalnya? Biarkan ākepusinganā itu yang menjadi pelajaran bagi Joy. Orang lain, bahkan mungkin orang tuanya sekalipun, tak berhak melarangnya melakukan apapun yang ia kehendaki. Bukankah melarang seorang anak kecil berbuat ini-itu sama saja memangkas haknya?