Nisa.co.id – Bahas isu kebebasan pendapat di Indonesia gabungan komunitas dan organisasi Taman Wacana, Solopukaps, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Sebelas Maret Surakarta menggandeng Nisa.co.id untuk berkolaborasi menggelar Diskusi BERISIK (Bebas Cerita Tanpa Mengusik) dengan tema “Kebebasan Berpendapat: Dulu, Kini, dan Nanti” pada Kamis, (14/12) di Sejajar Space, Surakarta.
Kegiatan tersebut menghadirkan dua pemantik, Deana Sari selaku (Manager of Advocacy PUKAPS) dan Atsiruddin P. Aufar selaku (Perwakilan Mahasiswa Umum) yang dimoderatori langsung oleh Achmad Mahbuby selaku (Founder Taman Wacana).
Atsiruddin salah satu pemantik memaparkan bahwa, “Apabila hak asasi manusia (HAM) ditarik ke belakang, kebebasan ini hakikatnya adalah eksistensi manusia bertindak tanpa adanya paksaan sama sekali, tetapi tetap ada kontrol dari manusia itu sendiri.”
“Dalam perkembangannya, kebebasan berpendapat ini pada deklarasi internasional HAM oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), kemudian termaktub dalam UUD 1945 terkait Hak Asasi Manusia. Seiring perkembangan zaman, perlu kita refleksikan pada era digital. Kebebasan semakin luas cakupannya, namun batasan kebabasan ini terancam apabila menyinggung suatu hal,” lanjut Aufar.
Menurutnya, lumrah ketika negara demokrasi menyatakan kebebasan berpendapat untuk warganya. Salah satu instrumen hukum, yaitu UU ITE ini menjadi instrumen, dan dapat juga menghilangkan hak masyarakat untuk berpendapat.
Dalam kesempatan itu juga, Deana Sari mengapresiasi adanya forum ini sebagai bentuk refleksi kondisi hukum di Indonesia.
“Jadi walaupun hari HAM sudah lewat, tetapi kita di sini mendiskusikan bagaimana pendahulu kita berjuang. Ini juga menjadi PR kita bersama terkait apa yang akan kita Lakukan,” ungkap Manager of Advocacy PUKAPS sekaligus Ketua GMNI Cabang Kota Surakarta itu.
Konjugasi Hak
Deana menyampaikan, bahwa masih banyak orang-orang yang termarjinalkan dan belum mendapatkan haknya dengan baik. Salah satunya, perempuan yang masuk kelompok rentan. Sehingga tidak hanya buruh, petani kecil, orang jalanan, tetapi perempuan termasuk salah satunya.
“Saya mengajak teman-teman saat berbicara soal HAM tak hanya melihat humanisme, kekuasaan, atau kebijakan tetapi tentang kesetaraan,” tegasnya.
Hal yang sekarang sudah mulai jarang terlihat, lanjutnya, itu mengritik atau menyampaikan pendapat melalui sastra maupun karya seni yang lain.
“Sehingga mari kita cerdik dalam mengemukakan pendapat, agar apa yang kita ingin sampaikan bisa tersampaikan dengan baik dan tidak melanggar UU ITE,” jelasnya.
Setelah pemantik memberikan beberapa gagasan mengenai kondisi kebebasan berpendapat dari dulu hingga saat ini, bergeser pada diskusi aktif peserta. Mereka bebas berpendapat terkait apapun yang berkenaan dengan HAM, sehingga tau dengan kondisi demikian, apa yang bisa sama-sama lakukan.
Di akhir sesi, Aufar dan Deana menutup diskusi dengan membacakan dua puisi. Puisi tersebut berjudul “Ada Apa dengan HAM?” karya Agung Dwi Prasetyo berjudul dan puisi Wiji Thukul berjudul “Peringatan”. Pembacaan itu sebagai bentuk kebebasan berpendapat yang terlontar melalui sebuah karya sastra.