Suara (Diam) Perempuan: Konsep Anggapan tak Percaya Diri

Sikap Diam Perempuan Sumber Gambar: pixabay.com

Perempuan kerap kali tidak berani menyuarakan hal-hal kecil. Misalnya bersuara soal berargumen di kelas, forum, organisasi, atau lingkup keseharian yang melibatkan banyak orang. Ketidakberanian tersebut membuat perempuan tak percaya diri.

Dengan begitu, ketika hendak menunjukkan “inilah aku” kepada khalayak, keberaniannya perlahan tenggelam, bahkan karam. Terkadang penyebab hal itu karena cara berpikir perempuan sendiri. Padahal, bila kita sanggup menggali dan mengenali potensi, rasa minder tersebut dapat kita ubah menjadi kepercayaan diri yang tinggi.

Kepercayaan diri perempuan memerlukan mental yang kuat, berani, dan siap-sedia menerima risiko tak terduga. Namun, kuat mental dan keberanian tinggi saja tak cukup sebagai representasi unjuk gigi. Hal ini mesti terimbangi potensi dan pengetahuan mumpuni agar semakin berkualitas.

Rasa Percaya

Rasa percaya diri yang terbangun dari mental secara psikologis memberikan pengaruh keinginan untuk mempertontonkan sesuatu. Perempuan yang memiliki rasa percaya diri dapat terlihat dari pikiran, perasaan, dan keyakinan positif dalam pribadinya. Ia akan terus berupaya mengejar dan meraih cita-citanya. Sehingga, output keseimbangan antara keberanian (mental) dan potensi bakal menghasilkan kepercayaan diri.

Namun, masalah yang timbul jika tidak percaya diri adalah tertanam konsep diri negatif dalam diri kita. Dampaknya adalah selalu merasa kurang percaya diri dan tidak memiliki kemampuan untuk bersaing dengan yang lain.

Pada saat seseorang fokus untuk meningkatkan potensi dan kemampuan, rasa percaya diri akan terbentuk dengan sendirinya. Pun sebaliknya, banyak sekali tertemui perempuan memiliki potensi besar tetapi tidak memiliki mental cukup untuk menyuarakan ide dan pendapatnya. Hasilnya, dua hal tersebut tidak terdengar dan tersampaikan. Amat tersayangkan.

Sikap Diam

Dalam salah satu hadis Rasulullah saw. jelas bahwa jika kamu mau, maka sikap diam kamu merupakan bentuk persetujuanmu. Konteks hadis ini mengenai tawaran untuk menikahkan seorang gadis dengan laki-laki.

Baca Lainya  Pendidikan dan Perlawanan, Dua Pilar Gerakan Raden Ayu Artak

Dalam HR. Buhkori Nomor 5137, Rasulullah menyatakan bahwa ridanya (perempuan) adalah sikap diam. Bagaimana bila hal tersebut kita tarik dalam konteks ruang yang lebih luas? Apakah sikap diam (perempuan) masih tetap termaknai bentuk persetujuan, atau sebab ketidakberaniannya dalam menyuarakan?

Mengutip mahally.ac.id menyatakan bahwa diam bukanlah satu-satunya indikator persetujuan. Diam hanyalah isyarat yang bisa berbeda penggunanya dari satu daerah dengan daerah lain. Karena sebuah ungkapan bisa berbeda pemaknaan tergantung dengan budayanya.

Sikap diam perempuan tidak dapat tergeneralisir sebagai ungkapan setuju. Namun, selama tidak ada suara atau pendapat, maka pemaknaan diam tetap teranggap sebagai bentuk persetujuan. Dalam hal ini, perempuan perlu menyuarakan ide, argumen, bahkan kritik yang ia temui.

Satu tahapan sebelum menyuarakan, diperlukan keberanian dan rasa percaya diri dalam menyampaikan gagasan yang dimilikinya. Agar perempuan sampai pada tahap berani, diperlukan dorongan mental yang kuat untuk memberikan hasil percaya diri. Sehingga isu-isu yang beredar mengenai perempuan hanya “diam” sebagai bentuk setuju perlahan dapat ditepis mentah-mentah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *