Stella Cristie dan Gagasan Digitalisasi

Sumber Gambar: kompas.com

Pendidikan terus berkembang seiring perubahan zaman dan teknologi. Di satu sisi, sosok akademisi seperti Prof. Stella Cristie, menjunjung tinggi standar akademik, mendalami teori, serta mendorong mahasiswa berpikir kritis dan sistematis. Di sisi lain, terdapat generasi mahasiswa yang tumbuh di era digital. Terbiasa mengakses cepat terhadap informasi dan lebih menyukai pembelajaran fleksibel dan praktis.

Di tengah perbedaan ini, muncul pertanyaan: siapa yang seharusnya beradaptasi, pendidikan klasik atau mahasiswa era digital? Stella Cristie mewakili model pendidikan klasik yang menitikberatkan pada ketekunan, kedalaman analisis, dan pendekatan akademik sistematis. Model ini membentuk pola pikir kritis dan mendalam, sebagaimana ajaran Islam yang menekankan bahwa menuntut ilmu membutuhkan kesabaran dan usaha serius (QS. Al-Mujadilah: 11). Sebagian akademisi seperti Stella Cristie mungkin masih berpegang teguh pada metode klasik, tetapi tidak sedikit yang mulai mengadaptasi teknologi sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Namun, mahasiswa masa kini hidup dalam dunia yang serba cepat. Buku teks bukan lagi satu-satunya sumber belajar karena mereka dapat mengakses berbagai materi dari platform daring, kecerdasan buatan, dan komunitas global hanya dalam hitungan detik. Perubahan ini menciptakan pola belajar yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Lalu, bagaimana pola belajar mereka?

Mahasiswa era digital cenderung memilih metode pembelajaran yang cepat, ringkas, dan efisien. Mereka lebih tertarik pada informasi yang tersajikan dalam bentuk video edukatif, infografis, atau rangkuman alih-alih teks panjang. Dengan akses internet yang luas, mereka juga memiliki kebebasan untuk menentukan cara belajar yang paling sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Selain itu, pembelajaran yang bersifat praktis dan berorientasi pada hasil lebih terminati. Karena, mahasiswa ingin memperoleh keterampilan terapan daripada sekadar memahami teori tanpa praktik nyata.

Baca Lainya  Sukses Menjadi Perempuan Mandiri

Sebuah studi menyebutkan bahwa 73% mahasiswa lebih memilih metode pembelajaran interaktif alih-alih perkuliahan satu arah (Rahardjo, 2021). Data dari UNESCO juga menunjukkan bahwa model hybrid learning semakin berkembang dan teradopsi oleh berbagai institusi pendidikan global sebagai solusi atas tantangan era digital (UNESCO, 2022). Hal ini menandakan bahwa sistem pendidikan perlu beradaptasi dengan perubahan pola belajar yang terjadi.

Upaya Adaptasi

Pendidikan klasik tetap memiliki nilai yang tak tergantikan, terutama dalam menanamkan daya analisis dan membangun karakter ilmiah. Namun, jika sistem akademik tetap kaku tanpa mengakomodasi perkembangan zaman, maka dunia pendidikan akan tertinggal. Islam sendiri menekankan pentingnya ijtihad, yakni upaya untuk selalu menyesuaikan ilmu dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi dan nilai keilmuannya.

Sejalan dengan perkataan Ibnu Khaldun, pendidikan yang baik harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakatnya. Maka, tantangannya bukan sekadar mempertahankan metode lama atau beradaptasi penuh, tetapi bagaimana menemukan keseimbangan yang tepat. Bukan berarti perubahan harus drastis, tetapi ada beberapa solusi yang bisa menjembatani perbedaan ini.

Beberapa solusi yang bisa kita lakukan yakni: pertama, model pembelajaran hybrid, mengombinasikan teori klasik dengan teknologi digital, seperti video interaktif dan diskusi daring, agar pembelajaran lebih relevan. Kedua, dosen sebagai fasilitator, mengubah peran dosen dari sekadar pemberi materi menjadi mentor yang membimbing mahasiswa dalam mengeksplorasi ilmu secara lebih mandiri. Dan, ketiga, evaluasi berbasis kompetensi, beralih dari sistem hapalan menuju pendekatan yang lebih aplikatif melalui pemecahan masalah nyata.

Mahasiswa bukan satu-satunya yang harus menyesuaikan diri dengan dunia akademik. Sebaliknya, akademisi juga perlu bertransformasi agar tetap relevan di era digital. Pendidikan seharusnya bukan menjadi medan pertarungan antara metode klasik dan modern, melainkan tempat di mana keduanya bisa berkolaborasi untuk menciptakan sistem yang lebih efektif.

Baca Lainya  Sandwich Generation, Perempuan, dan Ketegangan Mental

Pertanyaannya bukan lagi ā€œsiapa yang harus beradaptasiā€, tetapi ā€œbagaimana pendidikan dapat berkembang tanpa kehilangan substansi?ā€ Dalam Islam, ilmu selalu berkembang dengan ijtihad dan pembaruan. Maka, pendidikan harus menjadi ruang kolaborasi antara tradisi dan inovasi, agar tetap relevan, efektif, dan bermakna bagi masa depan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *