Sistem Lotre, Pemecahan Masalah atau Diskriminasi?

Isu perempuan hamil di luar nikah menjadi perbincangan yang tidak ada habisnya. Pasalnya, pada Juli 2023, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat sebanyak 50 ribu anak hamil di luar nikah. Di Jawa Timur, misalnya ada 15.212 yang mengajukan dispensasi nikah, 80% karena hamil di luar nikah.

Besarnya angka searah dengan penyebab hubungan bukan hanya terdasari suka sama suka. Namun, beberapa terjadi karena pemerkosaan. Hal ini, secara aturan, keluar dari batas kesiapan sebab kehamilan saat usia muda memiliki risiko amat tinggi. Di antaranya; lahir prematur, pendarahan hebat, depresi pascamelahirkan, hingga kematian ibu dan anaknya.

Risiko tersebut bisa saja terjadi (bahkan mungkin) karena ketidaksiapan perempuan karena belum memiliki kesiapan secara fisik, mental, dan lainnya. Apalagi banyak mereka yang belum sepenuhnya menerima perubahan status dari remaja (lajang) menjadi seorang ibu.

Stigma Budaya Masyarakat Jawa

Budaya masyarakat Jawa memiliki beberapa pandangan yang sedikit berbeda ihwal hamil di luar nikah. Sebab, nilai-nilai adat, agama, dan norma sosial mereka sudah tergehemonisasi. Namun, tidak semua masyarakat adat di Jawa demikian, ada pula yang berbeda. Di suatu daerah, manakala penduduknya hamil di luar nikah maka diadakan “ruwatan”. Semacam pembersihan jiwa untuk membersihkan aib yang telah orang itu lakukan.

Sementara, di daerah lainnya masyarakat langsung menikahkan pasangan tersebut tanpa menunggu kandungannya lahir. Bahkan di beberapa wilayah tertentu, saat perempuan hamil di luar nikah, mereka bakal mendapati sistem lotre. Lotre tak lain adalah undian. Para lelaki yang pernah berhubungan (baca: berhubungan badan) dengan perempuan tersebut melakukan pengundian dengan hompimpa atau memakai kertas, hingga lewat permainan judi. Yang kalah, akan bertanggung jawab, maksudnya menikahi perempuan yang hamil di luar nikah tersebut.

Baca Lainya  Euforia Perempuan pada Pertandingan Sepak Bola

Di satu sisi, perempuan tersebut meratapi perasannya. Meski ia tahu siapa yang telah menghamilinya tapi karena kesepakatan sistem lotre semuanya bisa. Lekaki yang seharusnya bertanggung jawab bisa saja terlepas tersebabkan karena menang lotre. Menang undian. Menang taruhan. Lantas sistem ini bukan saja menambah persoalan baru tapi bersifat diskrimnatif terhadap perempuan yang hamil tadi.

Diskriminasi Gender

Sistem lotre berindikasi pada pertaruhan menang kalah. Bukan pada menekan si pelaku agar menanggung dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Bagi yang kalah, ia bukan saja apes, melain lebih dari musibah. Betapa ia tidak pernah menyentuh sekalipun perempuan tersebut lantas karena kalah lotre (undian) ia yang harus menikahi perempuan yang hamil oleh orang lain.

Dalam hal ini, tak hanya perempuan yang terugikan tapi lelaki yang kalah pun bernasib sama. Seakan sistem ini tengah mempermainkan napas kehidupan perempuan. Padahal kehamilan di luar nikah bukan urusan sepele. Namun, tradisi ini sungguh meremehkan, bahkan menghina secara nyata bagaimana seharusnya perempuan yang hamil di luar nikah mendapat perlindungan dan pertanggung jawaban yang serius dan tulus oleh lelaki yang melakukannya.

Dampak lain, perempuan hamil di luar nikah bakal menanggung konsekuensi sosial, terkucilkan, kehilangan pendidikan-pekerjaan, hingga mengalami tekanan mental. Belum lagi, jika sistem lotre itu terjadi ia hidup dengan lelaki lain, bukan dengan lelaki yang seharunsya bertanggung jawab.

Kiranya sistem ini tidak tepat terlakukan sebagai bagian dari memecahkan masalah hamil di luar nikah. Permasalahan ini bukan hanya untuk mengembalikan nama baik keluarga, menutupi aib, atau lainnya. Nasib perempuan yang hamil di luar nikahlah yang harus terpikirkan. Bagaimana pun, terlepas dari perilakunya yang melanggar norma, ia masih berhak mendapat perlindungan dan menuntut hak pertanggung jawaban pada pelakunya.

Baca Lainya  Berkebaya di Hari Kartini

Dampak psikologis perempuan yang hamil di luar nikah akan terus berkepanjangan bila persoalnnya masih terhenti pada siapa salah, siapa benar. Ia bukan alat mainan seperti yang ada dalam sistem lotre. Stigma-stigma budaya negatif terhadap perempuan di luar nikah senyatanya terus diterima perempuan. Bahkan, misalnya, kala bayinya lahir gunjungan semacam, “Anak e gak mirip bapak e to? Udu kuwi ancene bapak e.” (yang pernah saya dengar dari tetangga) terjadi kala sistem lotre berlaku.

Walhasil, seberat apapun dosa yang pernah seseorang lakukan, halnya perempuan yang hamil di luar nikah sejatinya berhak melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Ia harus mendapat keadilan. Bahwa sistem lotre itu harus senyatanya ditolak, karena selain mempermainkan pun diskriminatif serta mengandung unsur paksaan bagi satu pihak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *