Setitik Harapan Caleg Perempuan

Sumber Gambar: betahita.id

Kompetisi lima tahunan bangsa Indonesia bakal berakhir 14 Februari mendatang. Gerbang kampanye sudah mulai sejak 24 November 2023 lalu. Poster-poster caleg, partai, dan capres-cawapres berhamburan di hampir seluruh tempat umum. Di jalan. Di persimpangan. Bahkan di dinding atau kaca transportasi umum. Melambang setitik harapan ingin menjadi representasi rakyat.

Melihat sekian caleg daerah dan nasional kehadiran caleg perempuan menggenapi warna-warni pemilu. Perjuangan mengisi keterwakilan perempuan 30 persen di lembaga legislatif perlahan masif. Di Kompas (28/01), kita membaca liputan soal perjuangan beberapa caleg perempuan.menghadapi badai terjal pemilu.

Pintu kesempatan telah tersedia, namun cemooh demi cemooh masih didapat para caleg perempuan. Hari ini, sekian orang mungkin senewen soal nagkringnya perempuan di panggung legislatif. Di kepala mereka, sematan perempuan sebagai konco wingking dinilai keluar jalur, bahkan melebihi batas.

Padahal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga demokrasi memiliki peran dalam pemilu harus merepresentasikan seluruh kelompok masyarakat. Demikian agar cerminan demokrasi di Indonesia sehat. Akses terbuka selebar-lebarnya, untuk lelaki, perempuan, kelompok marjinal dan lainnya, selagi mampu dan memenuhi syarat.

Konsep pemenuhan hak sebagai warga negara ini mestinya terpahami secara matang. Pengkhususan caleg hanya untuk satu golongan, satu jenis kelamin, satu kelompok, itu hal mengada-ngada. Kebiasaan, yang belum tentu baik dan benar, saban hari termaklumi sebagai kebenaran terstruktur, bahkan dianggap firman Tuhan. Gawat.

Caleg Perempuan

Di beberapa wilayah, caleg-caleg perempuan berjuang mengupayakan kelompok dan daerah tempat tinggalnya. Perjuangan keseharian lewat advokasi, pendidikan, dan pengajaran telah terlakoni namun, barangkali, belum mencapai taraf memuaskan. Bergabung dengan sebuah partai lalu menjadi caleg, menjadi keputusan tepat demi melanjutkan perjuangan tersebut.

Demikian itu yang dilakukan oleh Aleta Kornelia Baun. Mama Aleta adalah seorang tokoh masyarakat adat daru Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia telah lama dikenal sebagai aktivis lingkungan. Di Kompas (28/01) tertulis, “Pada 1990-an, ia pernah mengorganisasikan untuk protes melawan perusahaan tambang marmet di NTT.”

Baca Lainya  Kepemimpinan Perempuan Perspektif Tafsir Maqashidi

Pada pemilu 2024 ini, Aleta meniti jalannya ke Senayan demi memperjuangkan hak masyarakat adat. Lewat jalan ini, setidakya ia bisa bersuara lantang mengaktifkan sinyal kuat untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Tak lain, lelaku Aleta demikian tak lain demi daulat dan martabat masyarakat adat.

Di wilayah lain ada ada Jumiyem. Seorang pekerja rumah tangga (PRT) yang mencalonkan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta perwakilan Partai Buruh. Sama seperti Aleta, Jumiyem aktif di dunia advokasi selama 20 tahun. Keputusan menceburkan diri ke politik telah Jumiyen kantongi lewat gagasan pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

Selama berkecimpung di advokasi PRT, Jumiyem menggarisbawahi urgensi pembentukan sebuah aturan yang mengatur hal ini. Pelbagai kasus yang ia hadap-tangani seringkali merugikan PRT. Misalnya, setelah sedikit meriset, Jumiyem ingin pihak terkait mengintegrasi kelayakan jam kerja dan upah.

Pada akhirnya, Aleta dan Jumiyem adalah potret kecil dari caleg perempuan Indonesia yang tengah berjuang di bidang masing-masing. Harapan demi harapan mereka titi hari demi hari. Melalui pelbagai jalan dan cara. Saat disodorkan kompetisi lima tahunan ini, tak ada salahnya, perempuan terjun mereposisi perjuangan dan gagasan dalam lingkup lebih serius di politik, misalnya. Ada setitik harapan yang kita tunggu dari para caleg perempuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *