Di kampus Universitas Indonesia, kita tak asing mendengar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Siapa tak mengenal Najwa Shihab dan Ade Rai. Seorang presenter-jurnalis terkemuka dan binaragawan kebanggaan Indonesia. Keduanya memiliki resep pergulatan semasa berjuang di fakultas ini.
Di balik maju dan berkembangnya FISIP-UI, ada sosok perempuan tak boleh terlupakan. Bu Mir, sapaan akrabnya, membidani berdirinya salah satu fakultas terbesar di UI ini. Bahkan Bu Mir rela tak meraih gelar doktor hanya demi kemajuan FISIP.
Perjalanan Miriam
Miriam lahir di Kediri, 20 November 1923. Ia merupakan putri ketiga dari dr. Moh Saleh Mangoendiningrat. Bersama kedua kakaknya, Poppy Syahrir (istri Sutan Syahrir, mantan perdana menteri RI) dan Soedjatmoko, serta adiknya Nugroho Wisnumurti, Miriam dikenalkan pada gerbang ilmu pengetahuan. Disiplin dan penekanan belajar diterapkan betul oleh Mangoendiningrat lewat pelbagai cara, salah satunya lewat pengembaraan buku.
Di majalah Intisari edisi Desember 1989, perjalanan sinau Miriam diejawantahkan. Mula-mula, Bu Mir bersekolah di Surabaya. Lalu melanjutkan ke sekolah menengah tinggi (SMT) di Jakarta sekelas dengan Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan Koentjaraningrat. Pascatamat dari SMT, karena belum ada perguruan tinggi, Miriam bekerja di Komisi Bahasa Indonesia, Kementerian P.P.K, yang dipimpin Sutan Takdir Alisyahbana.
Diplomat Perempuan Pertama
Berkat kemahirannya berbahasa Inggris, ia kemudian diterima bekerja pada Sekretariat Perundingan Linggajati (1946-1947) dan Perjanjian Renville (1947-1948). Ia pun bekerja menjadi penyiar bahasa Inggris di Radio Republik Indonesia. Tak hanya itu, Miriam pun pernah belajar sosiologi pada Bung Hatta dan bahasa Sangsekerta dari Poerbatjaraka.
Menjadi pegawai Kementerian Luar Negeri, Miriam mendapat tugas sebagai sekretaris di Perwakilan Indonesia (baca: kedutaan) di New Delhi, India. Sebagai diplomat di India, Miriam akrab keluarga Nehru—perdana menteri India, terutama dengan Indria Gandhi, putrinya. Pengakuan kedaulatan RI, boleh dibilang Miriam menjadi diplomat perempuan pertama RI. Sokongan dan keterlibatan dalam dunia diplomasi, mungkin, membuat Miriam tertarik pada politik.
Ukiran Jasa
Sekembalinya ke Indonesia tahun 1953, Miriam menikah dengan Ali Budiardjo, S.H., M.Sc. Suaminya ini adalah dosen sewaktu Miriam belajar di Perguruan Tinggi Hukum dan Sastra. Setelah mengundurkan diri dari Depatemen Luar Negeri, Miriam mencurahkan tenaga dan pikirannya di bidang pendidikan. Kemudian Miriam menjadi asisten Prof. Djoko Soetono, S.H. di Lembaga Penelitian Masyarakat, Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan pada 1954.
Tahun 1959-1962 Miriam mendapat beasiswa untuk menadalami ilmu politik di AS. Di antaranya ia belajar manajemen industri di MIT dan di Harvard dengan fokus pemikiran politik. Sembari menjalani kesibukannya, Miriam mengasuh bayinya, Gitayana, yang lahir pada 1958,
Pulang ke tanah air, Miriam kembali sibuk di UI. Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan menjadi bagian penting bagi Miriam, karena memisahkan diri menjadi Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial. Pengabdian Miriam dimulai hingga fakultas ini menjadi besar dan melahirkan lulusan berpengaruh bagi Indonesia. Beberapa jabatan pernah ia ampu, di antaranya dosen, pembantu dekan bidang akademis, ketua jurusan Ilmu Politik, guru besar Ilmu Politik, dekan, dan koordinator program pascasarjana UI.
Karya Miriam
Selain berkecimpung di kampus, Bu Mir mengaktifkan keseimbangan intelektual dengan menulis. Beberapa buku telah ia telurkan selama menjadi dosen. Di antaranya Ilmu-Ilmu Politik (1972), bersama M. Syafi’i Anwar Menggapai Kedaulatan untuk Rakyat: 75 Tahun Prof. Miriam Budiardjo (1998), bersama Suwandi S. Brata Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (1992), dan Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila (1994).
Menjadi perempuan memiliki tanggung jawab mengurus anak dan mengajar tak membuat Bu Mir pantang. Satu di antaranya ialah berkat dorongan dari suaminya. Bu Mir pun sadar bahwa sebagai perempuan karier harus bisa mengombinasikan peran sebagai ibu rumah tangga juga. Bu Mir tutup usia pada Januari 2027. Kini, nama mendiang terabadikan menjadi gedung Miriam Budiardjo Resource Center (MBRC) di FISIP. Gedung serbaguna tersebut biasa menunjuang kegiatan sivitas akademika FISIP, satu di antaranya ialah perpustakaan. Semoga mendiang Bu Mir mencipratkan semangat perjuangannya kepada generasi penerus, utamanya para perempuan harapan bangsa Indonesia.