Rekonstruksi Pola Pikir Masyarakat tentang Pendidikan Perempuan

“Bukan tanpa alasan orang mengatakan kebaikan dan kejahatan dimulai anak bersama air susu ibu, karena tangan ibulah yang meletakkan benih kebaikan ataupun kejahatan dalam hati manusia .”

R.A. Kartini

Kasur, dapur, dan sumur, sudah tak asing selalu menempel pada diri perempuan. Banyak suara-suara yang mengatakan ā€œperempuan itu nggak perlu kuliah tinggi-tinggi, karena kodrat perempuan itu di kasur, di dapur, dan di sumur.ā€ Kodrat memiliki arti god given nature atau sesuatu yang murni pemberian Tuhan, seperti kodrat biologis. Demikian pendapat tersebut perlu mendapat telaah dan rekonstruksi demi mewujud peradaban perempuan yang lebih adil.

Dengan begitu, kodrat merupakan sifat bawaan lahir yang laki-laki dan perempuan term. Seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui merupakan kodrat seorang perempuan. Berbagai kodrat tersebutlah yang tidak terganti dan teralami laki-laki.

Stigma lain pun muncul mengenai perempuan belum berpredikat “perempuan utuh” bila tak memiliki pengalaman di ranah domestik. Padahal, urusan-urusan domestik bukan bersifat kodrati, karena bisa juga terlakoni laki-laki. Jadi, pembebanan urusan domestik tidak bisa hanya kepada perempuan saja, laki-laki bisa terjun dalam ranah itu.

Ning Imaz Fatimatuz Zahra, seorang putri pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Ihsan Lirboyo, pernah menyinggung hak dan kewajiban perempuan bagi laki-laki menurut mazhab empat. Beliau menjelaskan bahwa Syafi’iyah melihat bahwa memasak, mencuci, dan pemenuhan kebutuhan lain adalah kewajiban laki-laki. Bahkan istri berhak meminta upah pada suami atas air susu yang telah terkonsumsi anaknya.

Sementara, Imam Malik mengategorikan kewajiban istri harus menyesuaikan daerah tempat tinggalnya. Jika di daerah tersebut kewajiban istri memasak, merawat rumah, dan sebagainya, maka kewajiban itulah yang harus istri tunaikan.

Dari sini jelas jika fikih mengatur kemaslahatan bersama. Ini adalah tawaran dari syariat tetapi implementasinya perlu dengan sebuah kompromi. Dengan memakai konsep tambal-sulam, misalnya, suami bekerja sedangkan istri mengurus rumah tangga. Atau keduanya sama-sama bekerja berarti juga bersama-sama mengurus rumah tangga. Yang terpenting di situ terdapat mu’asyarah bil ma’ruf atau hubungan/relasi baik.

Baca Lainya  Mendidik Generasi Emas: Perempuan sebagai Sekolah Pertama

Melawan Stigma

Stigma konco wingking tersebut sejatinya mempersulit perempuan untuk berkarir dan berpendidikan. Padahal pendidikan merupakan gerbang besar dari suatu perjuangan, pengembangan, dan kemajuan. Socrates, seorang filsuf Yunani, pernah mengatakan, ā€œsemakin banyak pengetahuan, orang pasti akan bijaksana dan semakin luas wawasannya, semakin bijaksana pula tindakannya.ā€

Jika menelisik lebih jauh, perempuan memiliki pelbagai keistimewaan yang luas. Pertama, perempuan merupakan setengah dari peradaban, karena dunia berisi perempuan dan laki-laki. Walhasil jika perempuan terdidik, maka separuh peradaban akan maju. Sebaliknya, jika hanya laki-laki saja yang boleh menempuh pendidikan, maka hanya separuh peradabanlah yang akan maju.

Maka, hak pendidikan bukan hanya menjadi milik laki-laki saja, melainkan perempuan juga berhak atasnya. Seandainya laki-laki dan perempuan berprinsip bahwa berpendidikan itu penting dan tidak perlu memandang gender, maka pemikiran itu dapat membuka peradaban yang maju seutuhnya. Jadi, majunya seorang perempuan bukan berarti kalahnya seorang laki-laki.

Kedua, perempuan adalah tiangnya negara. Dengan menghancurkan karakter perempuan, berarti sama dengan menghancurkan generasi selanjutnya, akibatnya hancur pula sebuah negara.

Ketiga, perempuan merupakan al-ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq. Artinya, ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya, jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya. Ungkapan Hafiz Ibrahim tersebut seolah mengingatkan bahwa betapa pentingnya peranan seorang ibu dan keluarga dalam mendidik anak.

Peradaban dan Kecerdasan

Bahkan R.A. Kartini pernah mengatakan, ā€œBukan tanpa alasan orang mengatakan kebaikan dan kejahatan dimulai anak bersama air susu ibu. Karena tangan ibulah yang meletakkan benih kebaikan ataupun kejahatan dalam hati manusia yang tidak jarang dibawa sepanjang hidupnya dan bagaimana sekarang ibu Jawa dapat mendidik anak-anaknya. Jika mereka sendiri tidak terdidik, peradaban dan kecerdasan bangsa Jawa tidak akan maju dengan pesatnya kalau perempuan dalam hal itu keterbelakangan.ā€

Baca Lainya  Bulan Ramadan: Menengok Kisah Wafatnya Aisyah Sang Ummul Mukminin

Ibu, ialah seorang pendidik pertama bagi anak-anaknya. Pendidikan seorang ibu akan berakhir pada sebuah karakter yang kemudian tergodog dalam sebuah dimensi lembaga pendidikan.

Pada intinya, masyarakat perlu mengubah pola pikir mengenai hak pendidikan, yang sejatinya termiliki oleh laki-laki dan perempuan. Menjadi seorang perempuan berpendidikan bukan berarti menjadi perempuan yang melupakan kodratnya.

Perempuan membutuhkan pendidikan karena dirinya menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Maka dari itu, pendidikan merupakan tonggak utama untuk membentuk peradaban yang maju.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *