Rasimah Ismail menjadi salah satu tokoh perempuan yang memberontak dan menentang kolonialisme Belanda di wilayah Sumatera Barat. Perempuan yang lahir pada tahun 1912 di Jambu Air, Fort de Kock (sekarang Bukittinggi) adalah etek (bibi) dari penyair flamboyan Taufik Ismail.
Ketika usia 7 tahun, Rasimah masuk ke Volkschool (Sekolah Desa). Setamat dari Sekolah Desa, Rasimah melanjutkan pendidikan Islam di Diniyahschool Fort de Kock– pimpinan Mochtar Luthfie. Setelah itu, ia melanjutkan sekolahnya di Diniyah Putri pimpinan Rahmah El-Yunussiah (Arsa, 2017).
Ketika sekolah di Diniyah Putri, ia berjumpa Rasuna Said. Guru, sekaligus mentor politiknya. Dari Rasuna ia mengenal seni berpolitik, dan berorasi di depan massa. Sejak itu, keberadaan Rasimah akrab dengan julukan singa podium asal Maninjau itu.
Perempuan Melawan
Rasimah Ismail merupakan perempuan yang berkiprah aktif dalam politik mentang pemerintah kolonial Belanda. Rasimah Ismail menjadi seorang pejuang kemerdekaan yang aktif dalam melawan kolonial Belanda melalui berbagai cara.
Rasunah Ismail menerima tawaran Rasuna Rasimah menjadi salah satu tokoh yang tercatat dalam sejarah PMI (Persatuan Muslimin Indonesia), bersama dengan tokoh-tokoh lain seperti Iljas Jacoeb, Djalaluddin Thaib, Mochtar Luthfie, A. Ghafar Ismail, Rasuna Said, Rasul Hamidy, Datuk Palimokayo, dan lainnya. PMI berdiri pada tahun 1930, yang meneriakkan semboyan Indonesia Merdeka, dan mengusung ideologi Islam Kebangsaan yang pada tahun 1932 berubah akronimnya menjadi PERMI.
Selain Rasimah, beberapa perempuan juga aktif dalam menggerakkan PERMI, antara lain Fatimah Hatta, Timur M. Nur, Khasyiah, dan Ratna Sari (Panji Masyarakat, 21 Desember 1982). Pada tahun pertama keberadaannya, PERMI berjalan lancar tanpa hambatan. Kegiatan seperti rapat, kursus, dan agenda openbare berjalan dengan lancar dan tanpa gangguan.
Sampai akhirnya pemerintah Belanda mulai menggaungkan Wilden Schole Ordonantie, atau Ordonansi Sekolah Liar, yang ditujukan terutama kepada sekolah-sekolah swasta seperti Diniyah, Thawalib, dan sekolah yang berada di bawah Muhammadiyah.
PERMI tidak tinggal diam dalam menghadapi kedua aturan kolonial Belanda tersebut. Rasuna dan Rasimah aktif melakukan protes. Keduanya bahkan terkenai tuduhan spreekdelict. Rasimah terjerat dalam tuduhan Goeroe Ordonantie dan juga ujarannya di depan massa.
Rasimah tertuduh menyebarkan ujaran kebencian terhadap pemerintah saat berorasi di depan 100 orang massa pada tanggal 23 Oktober 1932 di Sungai Puar, Oud Agam. Seorang hakim ketua Landraad Fort de Kock membacakan kesaksian dari asisten demang Sungai Puar yang menyatakan, “Tanah Indonesia sudah tersait-sait, seperti roti oleh perekonomian Kolonial Belanda!” (Sumatra Bode, 10 Februari 1933).
Tuduhan kedua terhadap Rasimah adalah karena ia menyerukan kepada massa, “Untuk mencapai Indonesia merdeka, saya akan berkorban jiwa dan raga!” Hakim ketua menyatakan bahwa kata-kata tersebut adalah penghasutan dan merusak rust en orde. Akibat dari tuduhan tersebut, Rasimah Ismail mendapat hukuman penjara selama 9 bulan. Pemerintah Kolonial Belanda mengasingkan dan memenjarakan Rasimah.
Perempuan dalam Catatan Sejarah
Pada paruh pertama abad ke-20, perempuan terlibat dalam berbagai upaya melawan penjajahan Belanda. Baik melalui perlawanan fisik (kekerasan) maupun jalur politik-radikal.
Dari kalangan pergerakan Islam, dua tokoh perempuan yang terkenal sebagai “dua singa betina” adalah Rasuna Said dan Rasimah Ismail. Kedua tokoh ini merupakan tokoh PERMI yang gigih menentang pemerintah kolonial Belanda pada zamannya.
Dengan pemikiran politik yang matang, Rasimah terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan politik, termasuk penggalangan dana dan aksi-aksi perlawanan lainnya. Sebagai bagian dari jaringan perlawanan, Rasimah terlibat dalam pengorganisasian dan koordinasi kegiatan perlawanan di daerahnya.
Sebagai tokoh masyarakat, Rasimah juga mempengaruhi pandangan dan sikap masyarakat terhadap kolonial Belanda. Pun memperkuat semangat perlawanan dan persatuan dalam melawan penjajah.
Melalui peranannya, Rasimah menjadi suara bagi mereka yang tidak memiliki suara dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia, mencerminkan semangat, dan tekad perempuan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Dalam historiografi Indonesia pasca-kolonial, peran dan kontribusi perempuan sering kali tidak terlihat atau hanya terlihat dari sudut pandang yang terbatas. Sejarah cenderung fokus pada narasi dan penjelasan yang berkisar pada tokoh-tokoh laki-laki. Sedangkan perempuan sering kali hanya sebagai objek atau hanya muncul dalam konteks yang berkonotasi negatif.
Perlu upaya untuk memperluas cakupan narasi sejarah agar mencakup pengalaman dan kontribusi perempuan secara lebih menyeluruh. Sejarahwan perlu mendokumentasikan lebih banyak kisah perempuan dalam sejarah. Juga menggali sumber-sumber yang mencerminkan pengalaman perempuan dan menginterpretasikan ulang peristiwa sejarah dari sudut pandang gender yang lebih inklusif.
Perjuangan Rasimah Ismail dalam melawan kolonial Belanda mencerminkan semangat dan tekad perempuan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Meskipun perannya tidak selalu tercatat dalam sejarah resmi, kontribusinya yang berani dan gigih tetap menjadi bagian penting dalam perjuangan bangsa ini.