Setiap hari, ada banyak perempuan yang betah berlama-lama menatap sosoknya di cermin. Namun, tak sedikit juga perempuan yang tegak di depan cermin bukan dalam rangka mengagumi diri sendiri, melainkan membandingkannya dengan orang lain. Berharap pipinya lebih tirus atau kulitnya sedikit lebih cerah.
Ada pula yang membuka kamera depan ponsel, menggeser filter satu per satu hingga berhenti di titik di mana pantulan sosoknya terasa paling βcantikβ. Tersenyum dengan perasaan yang tak sepenuhnya senang, tetap ada rasa tak nyaman. Seolah kita sedang berlomba dengan versi diri yang tak pernah benar-benar nyata.
Di era serba cepat ini, kecantikan sering kali berubah menjadi patokan nilai diri. Dunia maya, dengan segala gemerlapnya, pelan tapi pasti membentuk standar baru tantang apa itu cantik. Kulit cerah mulus tanpa noda, rambut panjang indah, tubuh ideal, senyum menawan dari segala sudut pandang kamera.
Distraksi Layar
Kita terkelilingi oleh citra sempurna yang terus muncul di layar. Dengan begitu, kita lupa fakta bahwa apa yang kita lihat adalah hasil editan, pencahayaan, atau sudut terbaik dari seseorang yang juga manusia biasa, sama seperti kita yang penuh dengan kekurangan.
Dulu, kecantikan sering dihubungkan dengan keanggunan hati, tutur kata lembut, yang menjaga pandanngannya atau ketulusan yayng terpancar dari mata. Namun, kini, makna cantik sendiri berubah menjadi hal-hal visual semata. Seberapa βinstagramableβ wajah kita. Seberapa rapi feed kita, seberapa aesthetic story kita, atau seberapa banyak βlikeβ yang kita dapat. Rasanya kita seperti hidup di dunia di mana filter lebih terpercaya daripada perasaan sendiri. Dan pastinya perempuan pernah merasa lelah dengan ekspetasi itu.
“Di era serba cepat ini, kecantikan sering kali berubah menjadi patokan nilai diri. Dunia maya, dengan segala gemerlapnya, pelan tapi pasti membentuk standar baru tantang apa itu cantik.”
Perempuan lelah karena merasa tidak cukup cantik, merasa tidak cukup ramping, merasa tidak cukup putih, merasa tidak cukup tinggi, atau merasa tidak cukup menarik untuk mendapat pengakuan. Lelah karena seolah harus menyesuaikan diri dengan standar yang terus bergeser setiap waktu. Seperti mungkin hari ini tren kulit cerah, besok tren kulit eksotis. Bulan ini tren bibir ping ranum, esoknya tren bibir gelap. Rambut panjang lurus yang melambangkan kesederhanaan, lalu rambut pendek berombak yang melambangkan kebebasan.Β
Kecantikan Sejati
Di tengah tekanan standar itu, sebenarnya masih banyak perempuan yang membuktikan bahwa kecantikan sejati tak selalu harus terlihat, tapi terasakan lewat sikap tutur kata mereka. Seperti Najwa Shihab dan Maudy Ayunda, menunjukan bahwa kecantikan tak harus terpamerkan secara terbuka. Cukup dengan kecerdasan, tutur kata yang lembut dan tegas.
Ada juga IU dan Emma Watson, mereka cantik bukan karena memiliki tubuh berukuran βSβ melainkan karena hati dan prinsip yang mereka pegang. Mereka menginspirasi banyak perempuan untuk lebih percaya pada nilai diri daripada tampilan luar. Namun di tengah derasnya arus tren dan media sosial, standar kecantikan terus berubah dan menekan perempuan untuk menyesuaikan diri. Padahal seharusnya kecantikan menjadi cerminan karakter dan hati, bukan sekedar tampilan fisik.
Islam pun mengingatkan bahwa yang paling mulia bukanlah yang paling rupawan, melainkan yang paling bertakwa. Kecantikan sejati bukan di wajah, tapi di hati yang bersyukur. Sebab Allah tidak melihat rupa dan harta,melainkan hati dan amal kita. Maka, perempuan masa kini perlu belajar menilai dirinya bukan dari kaca cermin, melainkan dari akhlak dan kontribusinya bagi sekitar. Tidak ada standar kecantikan yang lebih indah dari menjadi diri sendiri seutuhnya.[]

