Perkembangan pesantren sebagai lembaga pendidikan di Indonesia menjadi ciri khas tersendiri lewat pengajaran agama yang kental dan melekat. Pesantren tradisional maupun modern keduanya memiliki misi yang sama, sebagai pelopor keilmuan yang melahirkan banyak ilmuan, tokoh, dan pujangga. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren mempunyai kedudukan tinggi dalam mempengaruhi arus pemikiran yang mewarnai gaya hidup dan praktik sosial masyarakat Indonesia.
Meskipun demikian, kedudukan pesantren sebagai lembaga pendidikan, nampaknya sebagian besar berada dalam kuasa laki-laki (kiai) dengan menempatkan posisi sebagai pengasuh atau pimpinan lembaga. Sudah lazim melihat pesantren di bawah naungan seorang laki-laki, yang pada dasarnya baik secara keilmuan maupun kedudukan, laki-laki lebih mempunyai power dan kewajiban atas pemegang status ini.
Berdasarkan fenomena yang ada, pesantren bukan saja menjadi obyek yang menarik dalam kajian ilmu agama. Pun, memiliki literatur menarik dari kearifan, ajaran, peran sosial, hingga kontribusi merawat marwah perempuan. Terlepas dari itu, beberapa ajaran dan dokrin agama yang lahir dari pesantren memiliki kesenjangan dalam merealisasikan nilai-nilai gender, khususnya perempuan.
Sosialisasi Gender
Dalam masa pekembangannya, terdapat dua pespektif yang saling berlawanan dalam menilai kepemimpinan perempuan. Pertama, perspektif tradisional yang tidak terima dengan kepemimpinan perempuan, namun masih dipandang sama dengan laki-laki. Kedua, perspektif intelektual modern yang lebih cendeung berpemikiran west oriented scholars dan menolak pandangan litelatur keislaman klasik. Dengan cara pandang ini dapat menilai kepemimpinan perempuan lebih sangat humanis. Karena setiap perempuan mempunyai hak yang termiliki oleh laki-laki (Nurdiana, 2020: 248).
Adanya berbagai problematik dalam permasalah sosial menjadi latar belakang utama timbulnya pemikiran dan gagasan feminisme. Dengan tujuan mengembalikan kemurnian moral dan status perempuan. Namun lebih dari itu, adanya kesenjangan sosial, diskriminasi, dan patriarki tak lepas dari transmisi ajaran spiritual bersumber dari penafsiran bias gender.
Ema Marhumah dalam bukunya Konstruksi Sosial Gender di Pesantren; Studi Kuasa Kyai atas Wacana Perempuan (2011) menegaskan adanya wacana kesetaraan gender masih menjadi persoalan di lingkungan pesantren. Hal ini kerena adanya anggapan bahwa gender merupakan produk Barat yang berkembang dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Alhasil, mayoritas pesantren di Indonesia masih mempertahankan nilai-nilai gender tradisional bersumber pada kitab-kitab klasik, termasuk kitab kuning karangan ulama terdahulu. Adapun kajian dalam kitab-kitab tersebut masih mengadopsi nilai-nilai lama mengedepankan superioritas laki-laki sehingga posisi wanita seolah-olah termarginalkan (subordinasi).
Pengaruh Keilmuan
Sudah menjadi bagian penting sebagai kaum agamis, kita mengadopsi pemikiran yang terlahir dari ajaran para tokoh agama baik secara lisan maupun tulisan. Di berbagai penjuru wilayah di Indonesia, kitab kuning menghiasi khazanah keilmuan dan relasi pengetahuan yang begitu kuat dan melekat. Hal ini menarik dicatat, karena selain sebagai bahan ajar utama teologi Islam, kitab kuning juga mempunyai pengaruh besar dalam upaya pemahaman, dan kultur budaya masyarakat. Selain itu, kitab kuning juga sebagai bentuk warisan para ulama yang menjadi bahan ajar utama di berbagai lembaga pendidikan pesantren di Indoensia.
Selain sebagai bahan ajar utama dalam pendidikan pesantren, kitab kuning juga mempunyai pengaruh besar dalam transmisi pengetahuan dan pemahaman umat Muslim dalam mengenal agama. Terlepas dari itu, bukan sebauah hal yang tidak mungkin bahwa kitab kuning juga memiliki doktrin dan penafsiran yang bias gender. Adanya hal ini tentu bukan sebuah kebetulan, mengingat hampir keseluruhan pengarang kitab kuning adalah laki-laki, sehingga tidak menuntut kemungkinan adanya penafsiran yang bias gender itu terjadi.
Dalam pandangan (Martin Van Bruinessen 2012 : 209), kenyataan ini bisa terlihat dalam beberapa ajaran kitab kuning, baik dalam penggunaan bahasa yang memihak kepada laki-laki, maupun pilihan aspek kehidupan perempuan. Poin tersebut menjadi pokok bahasan kitab-kitab fikih, terdapat bias yang begitu dalam dan transparan. Seandainya pakar fikih dan tauhid yang perempuan mengembangkan kembali sebuah fikih baru dan doktrin-doktrin iman, berdasarkan nas yang sama, niscaya sangat berbeda dengan fikih dan doktrin yang ada sekarang ini.
Martin juga menegaskan, kehadiran kitab kuning sebagai ajaran teologi memang penting tetapi selain sebagai obyek pengajian ia juga sebagai objek kajian, studi kritis. Karya ulama zaman dahulu mesti terpahami secara kontekstual, dengan memperhatikan latar belakang sejarah, sosial, dan politik. Kitab kuning dengan segala muatannya bukanlah kebenaran mutlak, melainkan juga cerminan budaya, kebutuhan, dan pendapat umum pada tempat dan zamannya.
Bias Kesenjangan
Bagi beberapa kalangan, mungkin enggan menerima kanyataan ini, tetapi dalam nuansa yang luas, adanya wacana ini juga tidak bisa terbantah. Sebab dasar lahirnya penafsiran bias gender terjadi di beberapa ajaran termasuk kitab kuning sebagai bahan ajar utama kajian Islam. Terlepas dari itu, setidaknya para sarjana modern juga telah banyak melirik akan adanya kesenjangan ini. Dengan beragam analisa dan pembacaan yang baru maka lahirlah hukum dan status kesetaraan yang seimbang dalam kacamata Islam yang rasional.
Artinya, adanya diskriminatif perempuan, budaya patriarki, bukan semata lahir dari tradisi sosial masyarakat. Namun problem ini juga lahir karena adanya resepsi pemikiran yang terlahir dari dokrtin agama yang bersumber dari ajaran kitab kuning. Dengan hal ini, rekontruksi pemikiran dan ajaran yang tertuang di dalam kitab kuning, menjadi hal penting sebagai bentuk transmisi keilmuan. Juga memeberikan nuansa baru dan keseimbangan terhadap hak asasi perempuan di dalam ajaran agama.