“…Usia boleh tua tapi jiwa harus tetap muda…”
Ungkapan benar dan pantas tersemat pada Opu Daeng Risadju. Ia menjadi salah satu pahlawan nasional Indonesia yang turut berjuang di usia yang tak lagi muda. Meski sudah renta, perempuan dari Tanah Luwu itu berani menanggung siksaan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) demi mengamalkan amar makruf nahi mungkar.
Mulanya Risadju adalah seorang yang buta huruf, kecuali aksara Bugis. Ia terlahir dari keluarga bangsawan yang merupakan keturunan bangsawan dari Kerajaan Luwu. Palopo merupakan kota pelabuhan penting di Teluk Bone, di kota ini pula berpusat Kedatuan Luwu, kerajaan yang secara kultural mendapat penghormatan di Sulawesi Selatan. Kota inilah Risadju lahir pada 1880, sebagai anak dari Muhammad Abdullah To Baresseng dan Opu Daeng Mawellu.
Risadju kemudian menikah dengan Haji Muhammad Daud, dan terkenal dengan nama Opu Daeng Risadju. Keluarganya pernah tinggal di Pare Pare, sebuah kota pelabuhan lain di Sulawesi Selatan yang menghadap Selat Makassar. Layaknya kebanyakan orang Islam pada masanya, Risadju hanya belajar mengaji Al-Qur’an tanpa sekolah formal. Hal ini yang membuatnya memiliki pemahaman baik terhadap ilmu agama, khususnya Islam.
Berhimpun ke Partai
Semangatnya dalam membela agama menggiringnya bergabung dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Perkenalannya dengan seorang tokoh PSII, membuat Risadju melek politik pergerakan nasional dan resmi menjadi anggota PSII sejak 1927 saat usianya sekitar 47 tahun. Sejarah dan tujuan PSII sendiri tertulis dalam Arsip Nasional Republik Indonesia (2009) bahwa PSII merupakan organisasi politik dan kemasyarakatan yang pertama di Indonesia.
PSII berdiri dengan tujuan menjalankan Islam dengan seluas-luasnya. Prioritas programnya adalah persatuan di kalangan umat Islam agar tidak teradu domba dan terpecah-pecah. PSII akan mewujudkan persamaan derajat bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia dengan landasan etika dan moral sesuai dengan ajaran Islam. Keterlibatan di partai inilah, babak baru Risadju dalam memulai perjuangan hingga mengalami penyiksaan di usia senja.
Risadju yang menjadi pejuang perempuan dan turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui PSII merupakan sosok pemimpin wanita disukai rakyat dan didengar oleh anggotanya. Hal ini lantas membuat Belanda khawatir akan pengaruh Risadju di tanah Sulawesi sehingga membatasi ruang geraknya. Meski ruang geraknya terbatasi, namun pengaruhnya yang hebat tak mengurungkan niatnya untuk menyerah dan tak meneruskan cita-citanya.
Kegigihannya dalam upaya menyatukan berbagai suku dan kerajaan di wilayah yang ia kunjungi atau tinggali terbuktikan dengan kepulangannya ke kota kelahiran di Palopo. Melansir dari tirto.id dengan giat Risadju mempropagandakan cita-cita PSII di daerah Luwu, terutama di kalangan keluarga dan sahatab-sahabatnya. Langkah nyatanya adalah mendirikan cabang PSII di Palopo pada 14 Januari 1930 yang terketuai langsung olehnya.
Setelah cabang PSII Palopo berdiri, tidak lama kemudian tokoh masyarakat Malangke mengajak Risadju membangun ranting di sana. Mereka memainkan peran penting dalam memperkuat kekuasaan dan pengaruh di berbagai daerah. Perjalanannya ke berbagai wilayah juga membawa pengaruh budaya dan adat istiadat dari Sulawesi Selatan ke tempat-tempat lain.
Mengendus Ancaman
Kepemimpinan Risadju tersebut tercium sebagai ancaman oleh pemerintah kolonial Belanda karena kegiatan-kegiatannya teranggap semakin membahayakan pemerintah kolonial. Pada 1934, ia mendapat hukuman penjara dan kerja paksa selama 14 bulan. Risadju juga tertuduh menghasut serta menyebarkan kebencian di lapisan masyarakat terhadap pemerintah. Ia tercatat sebagai wanita pertama yang dipenjara oleh pemerintah kolonial karena masalah politik. Tindakan pemerintah kolonial bertujuan untuk mengurangi aktivitas Opu Daeng Risadju dan perkembangan PSII.
Lepas dari penjara dan pada masa pendudukan Jepang, Risadju hidup berpindah-pindah, dari satu desa ke desa lain. Waktu Jepang menyerah kepada Sekutu, Risadju sudah menetap di Belopa. Setelah Belanda mencoba kembali, dalam satu lembaga bernama Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), Risadju kembali jadi sasaran penangkapan NICA ketika usianya sudah kepala enam. Ia tertangkap dan mendapat paksaan berjalan kaki 40 km dari Desa La Tonre hingga Watampone. Sebulan setelahnya, ia pindah ke penjara Sengkang di Wajo. Lalu pindah ke Penjara Bajo. Dia dibebaskan setelah tuli karena siksaan.
Ketangguhan Risadju memberikan gambaran bahwa meski usia tak lagi muda namun semangat juang tak boleh padam. Dalam kepemimpinannya, Risadju menekankan pentingnya kepemimpinan yang kuat dan karismatik. Ia menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki visi yang jelas, keberanian, dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang sulit. Terutama dari sudut pandang pemimpin perempuan dapat memberikan perspektif yang menarik dan berbeda, dalam konteks peran, kepemimpinan, dan kekuasaan yang menunjukkan pentingnya membangun koalisi dan aliansi strategis.
Bagi pemimpin perempuan, hal ini dapat terartikan sebagai pentingnya membangun jaringan yang kuat dan kolaboratif dengan pemimpin lain, baik pria maupun wanita untuk memperkuat posisi dan memberikan pengaruh. Pemimpin perempuan dapat mencontoh Risadju dengan menunjukkan kepercayaan diri, visi yang jelas, dan integritas, sehingga mampu menginspirasi dan memimpin dengan tegas. Pemimpin perempuan dapat melihat bagaimana prinsip-prinsip yang terpegang oleh Risadju dapat diterapkan dalam konteks modern, memperkuat peran dan pengaruh mereka dalam berbagai bidang kepemimpinan.