Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Sebagai muslim sudah pasti kita harus mempelajari dan mengamalkan hadis dengan baik dalam makna pemahaman tekstual maupun kontekstual. Akan tetapi, sebelum kita mengamalkannya, kita mesti memastikan terlebih dahulu bagaimana kualitas sanad dari hadis tersebut. Apakah terpastikan kesahihan sanadnya maka kebenaran hadis lanjut pada kritik makna atau matannya.
Pemaknaan hadis oleh setiap ulama berbeda-beda sehingga melahirkan banyak pemahaman. Kemudian pada analisis matan pemahamannya berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan zaman serta tingkat pengetahuan bahkan keadaan di daerah tersebut. Dalam pengambilan makna ada berbagai acuan untuk mengukur sisi akurat hadis dari sisi matan. Misalnya, orientasi pada teks Al-Qur’an, hadis lain yang lebih sahih, ijmak dan qiyas, fakta sejarah ilmu pengetahuan, dan aspek bahasa.
Perempuan menjadi salah satu pembahasan hadis secara kompleks sering kontroversi dalam pengambilan maknanya. Banyak dalil yang secara tekstual teranggap merendahkan perempuan sementara Islam hadir untuk mengangkat derajatnya. Jauh, sebelum Islam hadir, anggapan perempuan di bawah laki-laki itu nyata. Kemudian kala Islam hadir, ia memberikan perhatian sangat besar dan memberikan posisi terhormat untuk kaum perempuan.
Di sisi lain, banyak hadis terklaim berbau misoginis. Timbulnya sikap misoginis (kebencian terhadap perempuan) berakar dari pandangan bahwa perempuan tercipta semata-mata untuk memuaskan hasrat lelaki. Pun tersalahkan sebagai penyebab terusirnya nabi Adam as. dari surga ke bumi. Pandangan ini kemudian menanamkan citra negatif terhadap perempuan dalam masyarakat. Dua kisah tersebut seolah telah menyebarkan citra negatif terhadap kaum perempuan.
Narasi semacam ini berkembang menjadi pandangan menyalahkan perempuan atas jatuhnya manusia dari tempat mulia, sehingga dari sanalah muncul benih-benih kebencian. Sebenarnya, pemahaman ini berakar dari tradisi Yahudi yang kemudian menyebar ke berbagai masyarakat lain, termasuk masyarakat di jazirah Arab. Pengaruh cerita tersebut secara bertahap membentuk pola pikir yang menempatkan perempuan sebagai pihak lemah, berdosa, dan layak tersalahkan. Dengan demikian, perempuan sering kali mendapat perlakuan tidak adil dalam struktur sosial yang berkembang di wilayah tersebut.
Pendekatan Kritis
Hadis Rasulullah yang menyatakan sebagian besar penghuni neraka adalah perempuan kerap menjadi bahan perdebatan di kalangan muslim maupun kajian gender lintas agama. Hadis tersebut berbunyi: “Aku melihat neraka, lalu aku melihat bahwa mayoritas penghuninya adalah kaum perempuan.” (HR. al-Bukhari no. 29, Muslim no. 80). Tak jarang, teks hadis ini terpahami secara harfiah sehingga menimbulkan anggapan bahwa Islam merendahkan martabat perempuan. Bahkan, menjadi dasar untuk mendukung pandangan misoginis yang berkembang dalam masyarakat muslim.
Seharusnya anggapan itu patut mendapat telaah kembali dengan menggunakan pendekatan yang lebih kritis dan mempertimbangkan konteks. Pada khazanah keilmuan Islam, memahami hadis tidak bisa terjadi semata-mata melalui pembacaan tekstual, melainkan harus dengan pengkajian terhadap latar belakang historis (asbab al-wurud), analisis terhadap sanad dan isi (matan), serta arahan pada tujuan utama syariat (maqashid syariah).
Catatan sejarah menulis, hadis oleh nabi Muhammad saw. sampaikan kala menyampaikan khutbah Idulfitri yang banyak hadir di sana ialah perempuan. Dalam versi riwayat lebih lengkap, Rasulullah menerangkan penyebab dominannya perempuan sebagai penghuni neraka adalah karena kebiasaan mereka yang mudah mengeluh, tidak menghargai kebaikan suami, serta terjerumus dalam berbagai dosa. Dengan demikian, inti dari hadis ini sebenarnya merupakan nasihat moral tertujukan kepada masyarakat, khususnya perempuan pada masa itu, agar lebih menjaga perilaku dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt.
“Pemahaman yang benar terhadap hadis ini memerlukan pendekatan kontekstual yang mempertimbangkan faktor historis, tujuan syariat (maqashid syariah), serta penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman.”
Penjelasan dari ulama-ulama klasik juga menegaskan bahwa hadis ini tidak bersifat universal atau berlaku untuk semua perempuan di sepanjang masa. Imam an-Nawawi, dalam karyanya Syarh Shahih Muslim, menjelaskan bahwa hadis ini merujuk pada kondisi sosial pada masa tersebut, di mana banyak perempuan yang lalai dalam menjalankan kewajiban agama mereka. Lebih lanjut, terdapat hadis lain yang justru menyebutkan bahwa perempuan adalah mayoritas penghuni surga. Nabi bersabda: “Sesungguhnya bidadari surga dan perempuan-perempuan dunia yang salihah adalah penghuni surga.” (HR. Ahmad). Hal ini menunjukkan bahwa amal perbuatan menjadi penentu nasib seseorang di surga atau neraka, bukan oleh jenis kelamin.
Nilai Keadilan
Dari perspektif maqashid syariah, Islam sebenarnya hadir untuk mengangkat derajat perempuan. Sebelum Islam datang, perempuan masyarakat Arab mendapat perlakuan sangat tidak manusiawi, bahkan bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Namun, melalui wahyu nabi Muhammad saw., perempuan mendapat berbagai hak, misalnya: waris, pendidikan, serta sosial setara dengan laki-laki dalam menjalankan tanggung jawab agama. Oleh karena itu, sangat salah jika hadis ini menjadi pembenar untuk merendahkan martabat perempuan dalam masyarakat.
Dalam studi hadis kontemporer, pendekatan hermeneutika kontekstual sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan teks-teks agama. Pemahaman yang terbatas terhadapnya dapat memperkuat pandangan bias gender yang sebenarnya bertentangan dengan nilai keadilan yang Islam ajarkan. Oleh karena itu, perlu upaya ijtihad berkelanjutan untuk menafsirkan hadis dalam konteks yang sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar syariat.
Hadis tentang mayoritas penghuni neraka adalah perempuan, jika dipahami secara tekstual tanpa melihat konteks, dapat memberikan kesan negatif terhadap perempuan dalam ajaran Islam. Namun, penelaahan yang lebih mendalam menunjukkan bahwa kalam nabi ini bukan bermaksud untuk merendahkan perempuan, melainkan untuk memberikan peringatan moral yang ditujukan kepada masyarakat, khususnya perempuan pada masa itu.
Pemahaman yang benar terhadap hadis ini memerlukan pendekatan kontekstual yang mempertimbangkan faktor historis, tujuan syariat (maqashid syariah), serta penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman. Islam datang untuk mengangkat derajat perempuan dan memberikan hak-hak yang setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, warisan, dan tanggung jawab agama. Oleh karena itu, hadis ini tidak boleh digunakan sebagai pembenaran untuk merendahkan posisi perempuan dalam masyarakat.
Dengan demikian, hadis tentang penghuni neraka yang didominasi perempuan harus dipahami sebagai peringatan moral yang bersifat kontekstual, bukan sebagai generalisasi yang menjustifikasi diskriminasi terhadap perempuan. Islam, sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemuliaan manusia, menolak segala bentuk kebencian dan perendahan martabat atas dasar jenis kelamin.[]