Tajuk

Menyaring Realita Standar Kecantikan

Sumber Gambar: tebuireng.online

Di era digital saat ini, standar kecantikan seperti bayangan yang selalu mengikuti seolah berbisik bahwa kita belum cukup cantik. Di media sosial, kita terbanjiri oleh wajah mulus tanpa pori, tubuh ramping berlekuk, kulit glowing tanpa cela, bibir penuh, mata besar, dan dagu runcing. Semua tampak “sempurna”, nyaris tidak manusiawi. Tapi, apakah itu nyata? Atau hanya versi yang sudah terpoles, teredit demi likes, dan validasi sosial?

Standar kecantikan bukanlah hal baru. Ia telah ada sejak lama, namun kini tampil dalam bentuk yang lebih halus dan licik—muncul lewat filter media sosial, tren skincare, algoritma Instagram atau Tiktok, dan bahkan komentar dari warganet yang tanpa sadar membentuk cara kita menilai tubuh sendiri. Inilah mengapa penting untuk membicarakan standar kecantikan, bukan hanya sebagai tren yang datang dan pergi, tapi sebagai isu sosial yang mempengaruhi bagaimana kita memandang diri sendiri, orang lain, dan dunia di sekitar kita.

Standar kecantikan selalu berubah mengikuti zaman, budaya, dan kekuatan ekonomi-politik yang dominan. Zaman Mesir kuno, perlambangan kecantikan perempuan itu lewat eyeliner tebal, kulit gelap yang terawat, dan bentuk tubuh yang proporsional. Di Tiongkok zaman dulu, kaki kecil teranggap cantik hingga muncul praktik melukai kaki perempuan (foot-binding). Sementara di Eropa zaman Renaissance, tubuh berisi adalah simbol kemakmuran dan keindahan.

Pergeseran Makna

Masuk ke abad 20, standar kecantikan berubah cepat. Tahun 1920-an menandai munculnya tubuh ramping tanpa lekuk. Tahun 1950-an membawa kembali lekuk tubuh ala Marilyn Monroe. Era 90-an populer dengan tubuh super kurus model ala Kate Moss. Kini, kita berada di era “Instagram face”: perpaduan semua hal—alis tebal, hidung mancung, rahang V-shape, kulit cerah glowing, dan tubuh yang ramping tapi curvy. Ironisnya, bentuk ini hampir mustahil tercapai tanpa campur tangan filter, prosedur kosmetik, atau teknologi.

Baca Lainya  Martha Tilaar: Inspirator Industri Kosmetik Indonesia

Banyak faktor yang membentuk standar ini, di antaranya berasal dari budaya pop, industri mode, media massa, hingga globalisasi budaya lewat internet. Misalnya, standar kecantikan Korea Selatan yang menekankan kulit putih mulus, mata besar, dan tubuh langsing kini menjalar ke negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. Di sisi lain, Barat mulai mendewakan kulit tan, bibir tebal, dan bentuk tubuh seperti Kardashian. Semua ini membuat kecantikan terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah.

Media adalah mesin utama penyebar standar kecantikan. Sejak lama, iklan sabun memutihkan dan krim pemutih kulit muncul di layar TV kita. Dalam film, tokoh utama perempuan nyaris selalu tergambarkan sebagai cantik menurut standar yang berlaku saat itu. Namun kini, media sosial mempercepat dan memperluas penyebaran citra “cantik ideal”.

Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube terbanjiri konten glow up, before-after, serta beauty hack yang sering kali memperlihatkan transformasi ekstrem. Filter kamera bukan lagi sekadar memperhalus kulit, tapi juga bisa merombak bentuk wajah secara instan. Banyak pemengaruh dan selebriti tidak transparan tentang prosedur kecantikan yang mereka lakukan, sehingga pengikut muda mengira penampilan mereka alami.

Defisit Kepercayaan

Industri kecantikan pun melihat keresahan ini sebagai peluang bisnis. Produk-produk mulai tertawarkan dengan narasi: “supaya kamu lebih glowing”, “lebih putih”, “lebih langsing”, “lebih sempurna”—seolah kita belum cukup. Perawatan kulit dan tubuh pun makin ekstrem: dari suntik whitening, filler, botox, hingga operasi plastik. Semua ini terpasarkan dengan kemasan estetik, menyenangkan, dan terlihat normal, padahal dampaknya bisa jauh lebih dalam.

Tekanan untuk sesuai dengan standar kecantikan ini memiliki efek nyata. Banyak perempuan muda merasa tidak percaya diri karena kulit mereka tidak cerah, tubuh mereka tidak langsing, atau wajah mereka tidak sesuai dengan tren saat ini. Di media sosial, tidak sedikit remaja yang merasa rendah diri setelah membandingkan diri mereka dengan pemengaruh favoritnya.

Baca Lainya  Inner Beauty: Ketika Kecantikan Tidak Lagi Soal Wajah

Kondisi ini sering berujung pada gangguan psikologis seperti gangguan makan, depresi, kecemasan sosial, hingga obsesi terhadap tubuh sendiri (body dysmorphia). Di sisi lain, muncul juga fenomena beauty privilege, yaitu perlakuan lebih baik kepada orang yang teranggap “menarik secara fisik”, yang sering kali memperkuat diskriminasi.

Fenomena body shaming menjadi sangat umum, bahkan teranggap wajar. Komentar seperti “gendutan ya?”, “kok hitam banget, sih?”, atau “coba kurusan pasti cantik, deh.” masih sering terdengar, bahkan dari lingkungan terdekat seperti keluarga atau teman sendiri. Ini menunjukkan bahwa standar kecantikan tidak hanya memengaruhi individu, tapi juga budaya kolektif yang menyempitkan definisi nilai manusia.

Namun, perubahan mulai terlihat. Gerakan body positivity dan body neutrality muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi sempit tentang kecantikan. Gerakan ini mendorong masyarakat untuk mencintai tubuh mereka apa adanya, tanpa harus tunduk pada tekanan sosial. Bukan tentang membenci kecantikan, melainkan tentang merayakan keberagaman dan menghormati pilihan setiap individu. Bahwa mencintai diri sendiri tidak harus berarti menolak perubahan, tapi menolak tekanan untuk berubah demi memenuhi ekspektasi orang lain.

Ragam Kecantikan

Di Indonesia, perlahan mulai muncul merek dan kampanye yang lebih inklusif—menampilkan model dengan kulit gelap, berbadan besar, berhijab, atau berjerawat. Media juga mulai membuka ruang untuk wajah-wajah yang tidak sesuai dengan “standar lama”. Konten tanpa filter, kampanye “real skin“, serta akun-akun edukatif yang membongkar bahaya standar kecantikan mulai bermunculan dan mendapatkan perhatian positif.

Standar kecantikan hari ini bukan lagi tentang keindahan, tapi tentang komoditas. Ia terjual, terpromosikan, dan terromantisasi sedemikian rupa hingga kita sulit membedakan mana kenyataan dan mana citra. Kita menjadi korban dari sistem yang membuat kita merasa tidak cukup hanya karena tidak terlihat seperti hasil editan.

Baca Lainya  Pesona yang Terpenjara: Ketika Dunia Menyempitkan Makna Cantik

Namun, semakin banyak orang menyadari bahwa kecantikan bukan satu bentuk, bukan satu warna, bukan satu ukuran. Ia hadir dalam keberagaman, dan itu yang membuatnya manusiawi. Masa depan yang ideal adalah masa depan di mana seseorang dihargai bukan karena memenuhi standar, tapi karena berani menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

Maka, mari kita renungkan, seberapa banyak dari standar kecantikan yang kita yakini hari ini benar-benar berasal dari diri kita, dan seberapa banyak yang kita warisi dari luar? Apakah kita ingin terus mengejar ilusi, atau mulai menerima realita, apa adanya—dan tetap merasa cukup?[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *