Megawati Soekarnoputri adalah salah satu tokoh paling kontroversial dan berpengaruh dalam sejarah politik Indonesia. Anak dari Proklamator Indonesia, Bung Karno, tidak hanya mewarisi nama besar ayahnya tetapi juga menghadapi tantangan berat sebagai perempuan yang memimpin di arena politik terdominasi laki-laki. Di tengah derasnya arus patriarki dan ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan perempuan, Megawati berani berdiri tegak dan mengambil alih kendali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada masa-masa kritis transisi demokrasi di Indonesia.
Kepemimpinannya tidak selalu mendapat pujian malah sering teranggap remeh oleh mata politisi, bahkan sesama perempuan sendiri. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa warisan politik Megawati telah mengubah wajah politik Indonesia, menegaskan bahwa perempuan tidak hanya mampu memimpin, tetapi juga mampu membuat perubahan besar. Ia menembus batas-batas tradisi lama yang menempatkan perempuan hanya sebagai pengikut, dan bukan pembuat keputusan. Dia adalah sosok yang memaksa dunia politik Indonesia untuk menafsir ulang peran perempuan. Kiprahnya dalam kepemimpinan bukan simbolik saja,tetapi substansial, mengajarkan bahwa keberanian, tekad, dan visi tidak mengenal jenis kelamin.
Megawati Soekarnoputri adalah salah satu dari sedikit perempuan yang berhasil mencapai puncak kekuasaan di negara dengan populasi terbesar keempat di dunia. Namun, pencapaian ini tidak terjadi tanpa perlawanan. Sebagai putri proklamator bangsa, ia kerap mendapat anggapan naik daun hanya karena garis keturunan. Kritik ini bukan hanya datang dari para politisi laki-laki, tetapi ironisnya, juga dari banyak perempuan yang meragukan kemampuan perempuan lain untuk memimpin (Suryakusuma, 2021).
Bergelut dengan Dinamika
Di sini kita melihat salah satu masalah mendasar dalam dinamika perempuan adalah kebiasaan meremehkan sesama. Fenomena ini tercermin dalam politik Indonesia, di mana perempuan sering kali justru menjadi penghalang bagi kemajuan sesama perempuan. Alih-alih saling mendukung, malah banyak terjebak pada sikap skeptis berasal dari bias internal atau misogini yang terinternalisasi. Dalam kasus Megawati, beliau menghadapi tantangan ini dan membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar “Putri Bung Karno.” Megawati berhasil menunjukkan kepemimpinan yang kuat dan tegas, meski sering disalahpahami sebagai kurang proaktif (Robinson, 2022).
Kepemimpinan Megawati tidak selalu bombastis atau penuh retorika. Sebaliknya, ia masyhur sebagai pemimpin yang lebih banyak berbicara melalui tindakan nyata ketimbang kata-kata. Gaya ini sering kali teranggap sebagai kelemahan oleh para pengamat yang lebih terbiasa dengan politisi laki-laki yang dominan dan vokal. Namun, di sinilah letak keberanian Megawati: ia memilih untuk tidak mengikuti pola tradisional kepemimpinan yang patriarkal. Megawati mengajarkan bahwa kekuatan seorang pemimpin perempuan tidak selalu terukur dari seberapa keras suaranya, tetapi dari ketahanan, ketegasan, dan kemampuan untuk bertahan dalam tekanan yang luar biasa (Wijaya, 2020).
Menjadi perempuan dalam politik adalah perjuangan yang tidak mudah. Apalagi di suatu negara yang pengaruh budaya patrriarkinya masih kuat, seperti Indonesia. Sejak awal karier politiknya, Megawati menghadapu berbagai tantangan. Mulai dari lawan politik, hingga sesama perempuan yang meragukan posisinya. Banyak perempuan, baik di kalangan politisi maupun masyarakat umum, memandang kepemimpinan perempuan dengan skeptis. Hal ini tercermin dalam cara mereka sering kali lebih percaya kepada laki-laki sebagai pemimpin yang “lebih kompeten” ketimbang perempuan (Sears, 2021).
Sikap ini, yang sering kali muncul dari bias gender yang telah mengakar, hal tersebut menjadi hambatan besar bagi perempuan yang ingin masuk ke dunia politik. Di sinilah keberanian Megawati patut teracungi jempol. Bu Mega membuktikan kemampuannya kepada kaum laki-laki serta melawan pandangan inferior dari sesama perempuan. Megawati menjadi bukti nyata bahwa perempuan bisa dan harus mampu memimpin di level tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa skeptisisme terhadap kepemimpinan perempuan adalah warisan budaya patriarki yang harus dihilangkan.
Tantangan dan Pengasingan
Keberanian Megawati juga terlihat dalam cara dia menghadapi berbagai tantangan politik, termasuk saat mendapat pengasingan dari panggung politik oleh rezim Orde Baru. Ketika pemerintah memecah PDI pada 1996, Megawati tetap berdiri teguh. Memimpin fraksi yang akhirnya menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang sangat berpengaruh hingga hari ini. Langkah ini bukan hanya menunjukkan keteguhan hati, tetapi juga kebulatan tekad untuk melawan ketidakadilan politik.
Sejarah akan mencatat Megawati Soekarnoputri sebagai presiden perempuan pertama Indonesia. Namun, warisan politiknya tidak hanya berhenti di sana. Ia telah membuka jalan bagi perempuan lain untuk berani terjun ke dunia politik. Keberadaannya di puncak kekuasaan memberi pesan kuat bahwa perempuan memiliki tempat di panggung politik nasional. Lebih dari sekadar simbol, Megawati menjadi pemimpin yang mempengaruhi kebijakan publik dan membawa dampak signifikan bagi demokrasi di Indonesia.
Namun, perjuangan Megawati juga harus terlihat dalam konteks yang lebih luas. Ia tidak hanya membuka jalan bagi perempuan di politik tetapi juga menunjukkan bahwa perempuan mampu mengatasi tantangan besar di tengah dominasi patriarki yang kuat. Perjuangannya untuk menguatkan PDIP dan membawa partai itu menjadi salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia adalah bukti dari kepemimpinan yang berkelanjutan (Santoso, 2022).
Tantangan terbesar bagi perempuan dalam politik adalah bagaimana mengatasi bias internal dari sesama perempuan. Di sinilah letak warisan penting dari sosok Megawati. Presiden perempuan pertama di indonesia ini telah membuktikan bahwa perempuan tidak hanya mampu bersaing dengan laki-laki, tetapi juga mampu mengatasi sikap meremehkan yang sering kali datang dari sesama perempuan. Sayangnya, fenomena ini masih terus terjadi. Banyak perempuan yang saling menjatuhkan daripada saling mendukung. Inilah yang harus terubah jika kita ingin melihat lebih banyak perempuan sukses di dunia politik (Hewlett, 2023).
Salah satu tantangan besar yang oleh banyak perempuan hadapi dalam mencapai kesuksesan adalah sikap meremehkan sesama perempuan. Dalam konteks politik, hal ini dapat menjadi penghalang yang signifikan bagi kemajuan perempuan. Banyak yang berpikir bahwa hanya ada ruang terbatas untuk perempuan di panggung politik, sehingga persaingan di antara mereka menjadi tidak sehat. Fenomena ini terlihat jelas di kalangan perempuan yang lebih memilih untuk meragukan atau mengkritik perempuan lain daripada mendukung mereka.
Perjuangan Kolektif
Kebiasaan ini tidak hanya merugikan perempuan secara individu, tetapi juga melemahkan perjuangan kolektif mereka untuk mendapatkan kesetaraan di dunia politik. Megawati Soekarnoputri menghadapi banyak kritik, bukan hanya dari lawan politik laki-laki, tetapi juga dari sesama perempuan yang meragukan kapasitasnya sebagai pemimpin. Namun, Megawati membuktikan bahwa perempuan tidak hanya mampu memimpin, tetapi juga mampu melawan kritik yang berasal dari dalam dan luar komunitas perempuan (Santoso, 2022).
Megawati mengajarkan kepada kita bahwa perempuan harus berhenti saling meremehkan. Alih-alih bersaing secara destruktif, perempuan harus saling mendukung untuk memperkuat posisi mereka di berbagai sektor, salah satunya di politik. Sebab, di dunia yang masih terdominasi laki-laki, perempuan membutuhkan dukungan dari sesama perempuan lebih dari sebelumnya (Wardani, 2023). Jika kita ingin melihat lebih banyak perempuan berkuasa di dunia politik, sikap meremehkan sesama ini harus segera berakhir.
Megawati Soekarnoputri adalah bukti nyata bahwa perempuan mampu menaklukkan dunia politik yang terdominasi laki-laki. Kepemimpinannya, keberaniannya dalam menghadapi stigma, dan keteguhannya dalam menghadapi berbagai tantangan politik menunjukkan bahwa perempuan tidak boleh terremehkan. Namun, perjuangan Megawati juga mengajarkan kita pelajaran penting: bahwa perempuan harus berhenti meremehkan sesama perempuan. Jika perempuan ingin maju di dunia politik atau bidang lainnya, mereka harus mulai mendukung satu sama lain.
Megawati bukan hanya presiden perempuan pertama Indonesia, tetapi juga simbol kekuatan dan keberanian perempuan dalam politik. Ia menunjukkan kepada kita bahwa perempuan tidak hanya mampu memimpin, tetapi juga mampu membangun warisan politik yang bertahan lama. Warisan ini harus terlanjtukan oleh generasi perempuan berikutnya, dengan dukungan penuh dari sesama perempuan. Hanya dengan cara inilah perempuan dapat benar-benar meraih kesetaraan di dunia politik yang keras dan kompetitif.