Masyarakat kerap kali menciptakan standar kecantikan dengan beragam hal. Standar tersebut membuat perempuan menggebu untuk mencapainya. Misalnya, perempuan harus menarik, mengikuti tren, kosmetik, sempurna, dan cantik.
Keseluruhan itu, perlahan menjadikan perempuan terkesan memaksakan cita-cita cantik sesuai harapan melalui cara tidak sehat dan realistis, bahkan ekstrem. Hal ini terbuktikan dengan fenomena kecantikan yang terus berkembang, misalnya, operasi plastik, sedot lemak, suntik putih, dan jasa primadona lainnya.
Akibatnya, dampak negatif terhadap citra diri dan tubuh perempuan berubah. Meskipun memiliki risiko tinggi akan komplikasi dalam pengerjaan, tetapi jasa-jasa tersebut selalu memiliki peminat.
Representasi Konsep
Konsep cantik dengan kualifikasi berkulit putih, berbadan langsing, tinggi semampai, dan berambut lurus telah melekat sejak zaman dahulu. Seperti yang terepresentasikan dalam novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan (2015).
Eka menjelaskan bahwa potret cantik sebagai sesuatu yang terlihat menarik pada penampilan, garis keturunan, dan cara bersikap perempuan yang teranggap menarik secara seksual menjadikan kecantikan tersebut sebagai gambaran mitos kecantikan yang berlangsung sejak zaman dahulu pada masa pra hingga pascapenjajahan.
Tidak heran bila masyarakat berpegang pada stereotipe bahwa kecantikan sebatas terukur dari kulit putih dan berbadan langsing masih melekat dan menjadi acuan perempuan, khususnya di Indonesia. Selain itu, kekuatan media juga memberikan dampak besar terhadap kecantikan. Media mencoba mengonstruksi kecantikan yang berpengaruh besar terhadap mindset perempuan.
Konstruksi tersebut secara tidak langsung telah menimbulkan kegelisahan pada perempuan. Kecantikan yang terledakkan media selalu menampilkan citra perempuan-perempuan berkulit putih dan bertubuh langsing. Pun bahwa konteks kecantikan menjadi hegemoni yang mendunia dengan mengusung tema whitening, semakin menguatkan anggapan bahwa perempuan cantik harus berkulit putih.
“Makna cantik yang hadir saat ini merupakan konstruksi sosial yang tidak lagi memaknai cantik sebagaimana cantik, akan tetapi ia dimaknai sebagai kebutuhan akan pengakuan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.”
Cantik Alamiah
Persepsi mengenai makna kecantikan semacam itu perlu terdekonstruksi, karena jika tidak, efek yang timbul adalah munculnya diskriminasi yang tajam dan menimbulkan sikap rasisme. Dekonstruksi demikian bakal mempersoalkan mengenai warna kulit, tinggi badan, bentuk hidung, bibir, rambut dan aspek-aspek fisik lahiriah yang terbentuk alamiah dalam diri perempuan.
Tidak adil apabila kecantikan hanya terukur dari aspek lahiriah semata, mengingat antara manusia satu dengan yang lain berbeda. Oleh sebab itu, makna cantik sekarang ini harus mulai terubah dan terarahkan pada aspek ruhaniah seseorang atau inner beauty.
Kecantikan yang sesungguhnya ialah mampu memberikan energi positif bagi sekitarnya. Bahwa dekonstruksi di atas mampu terpatahkan lewat kualitas diri, pretasi tinggi, kemampuan, serta perilaku baik.
Dengan demikian, inner beauty dengan sendirinya akan terpancar dari perempuan terlihat dari tingkah lakunya sehari-hari. Makna cantik yang hadir saat ini merupakan konstruksi sosial yang tidak lagi memaknai cantik sebagaimana cantik. Tetapi hak itu hari ini bisa jadi termaknai sebagai kebutuhan akan pengakuan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri bahwa perempuan itu ayu.
Cantik sebab ia santun, pandai membawa diri, cerdas, cerdik, dan mandiri sehingga maknanya sebagai citra diri perempuan tidak tergambar hanya pada kemolekan fisik, tetapi lebih pada kemampuan diri, sebab cantik relatif. Mengutip dari sampanbiru.wordpress.com bahwa kita semua terlahir berbeda. Oleh sebab itu, jangan pernah takut untuk menjadi berbeda hanya karena standar buatan manusia.