Luka yang Belajar Menyebut Dirinya Cinta

Cinta Sumber Gambar: ributrukun.net

Saya selalu percaya bahwa cinta yang tulus dapat mengubah segalanya. Bahwa kita hanya perlu sabar, dan cukup mencintai agar seseorang ingin untuk tinggal. Saya yakin pada hal itu yang dapat saya bilang cukup masuk akal. Harapan yang terlihat sangat manis bahkan saat saya berkali-kali sudah merasakan pahitnya. Saat melihat pasangan-pasangan di luar sana, saya selalu berpikir, apakah selama ini saya sudah benar-benar mencintai? Atau hanya takut merasa hampa dan kesepian?

Di tengah monolog tiap malam, saya kembali memikirkan perasaan-perasaan yang tidak lagi memiliki tempatnya. Lalu kemudian saya memiliki pertanyaan yang terus menggantung. Apa sebenarnya arti jadi hopeless romantic bagi seorang perempuan?

Banyak dari kita tumbuh dengan cerita-cerita yang menanamkan gagasan bahwa cinta adalah pusat hidup perempuan. Sejak kecil, kita mendapat suguhan tentang tokoh perempuan yang rela berkorban demi cinta. Misalnya dalam cerita The Little Mermaid, di mana Ariel rela mengorbankan suaranya demi bisa bersama manusia yang dia cintai, yang bahkan belum tentu membalas perasaanya. Ini metafora yang sangat kuat untuk perempuan yang kehilangan diri demi cinta.

Luka dan Romantisme

Namun dalam dunia nyata, romantisme sering sekali menyebabkan luka, luka yang melelahkan secara batin. Sebab di balik hopeless romantic yang terlihat lembut, tersimpan dorongan untuk selalu memberi tanpa menakar. Banyak perempuan termasuk saya sendiri yang akhirnya merasa bersalah kalau berhenti berjuang untuk cinta yang kita harapkan, seolah rasanya mencintai dengan wajar saja tidak cukup. 

Pola pikir seperti ini yang membuat kita beranggapan kalau mencintai berarti harus menunggu, menyesuikan diri, dan sering kali mengabaikan bahwa hubungan tersebut memiliki tanda-tanda tidak sehat. Padahal jika kembali kita pikirkan, cinta yang sehat seharusnya memberi ruang untuk tumbuh, bukan malah membuat kita mengecilkan diri hanya untuk diterima.

Baca Lainya  Hak Pendidikan Tinggi bagi Perempuan

Sekarang saya sadar dan mulai memahami, menjadi hopeless romatic bukan berarti terus-terusan tersesat pada dilema yang bernama cinta. Saya tidak perlu berhenti untuk berharap, saya hanya perlu menempatkan cinta itu di tempat yang tepat, termasuk pada diri sendiri.

Cinta memang tidak selalu datang untuk menetap, dan itu tidak masalah. Sebab kita perempuan tidak tercipta hanya untuk mencintai, tapi kita juga untuk pulih. Dan, di antara sisa-sisa harapan yang terlalu manis untuk kita lepaskan, saya belajar bahwa cinta yang sejati adalah bukan tentang siapa yang bertahan, tapi siapa yang mampu mencintai tanpa kehilangan diri sendiri. Mungkin di situlah akhirnya perempuan dapat menemukan rumah, bukan pada siapa yang dia cintai, melainkan pada diri sendiri.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *