Dalam sebuah acara, Dr. Layyin Mahfiana, dosen saya di Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta pernah berkata, “Saya seorang perempuan, pekerjaan saya sebagai dosen, namun saya juga seorang ibu di keluarga saya.” Ucapan pendek itu memuat tafsir luas manakala ingin dipanjang-lebarkan. Kalimat itu pendek dan sederhana namun sarat akan makna.
Sebagai pengajar mata kuliah Gender dan HAM, Dr. Layyin memiliki wawasan luas mengenai isu-isu ini. Pantas saja, dalam mengajar misalnya, beliau tak sekadar membeberkan teori belaka. Dengan lugas beliau memberi pelbagai contoh kongkret berupa peristiwa-peristiwa keseharian yang teralaminya.
Misalnya ketika Dr. Layyin dan suaminya bergantian mengantar anak ke sekolah setiap pagi. Melalui konsep ini, beliau menegaskan bahwa mengantar anak ke sekolah bukan saja merupakan tugas salah satu dari suami-istri tetapi sudah menjadi tugas keduanya. Konstruksi sosial dan budayalah yang memetakan bahwa seolah tugas ini terarahkan ke satu pihak.
“…mengantar anak ke sekolah bukan saja merupakan tugas salah satu dari suami-istri tetapi sudah menjadi tugas keduanya. Konstruksi sosial dan budayalah yang memetakan bahwa seolah tugas ini terarahkan ke satu pihak.”
Kesadaran dan Kesepakatan
Bahwa sudah menjadi kewajiban bersama antara istri dan suami dalam merawat, membesarkan, dan mendidiknya. Tentu hal ini bisa berubah atas kesepakatan keduanya. Secara sadar bahwa istri (perempuan) rela mendidik dan merawat anak ketika suami tengah bekerja. Sementara suamipun paham bahwa tugas tersebut sewaktu-waktu menjadi tanggung jawabnya pula ketika situasi dan kondisi tertentu.
Kesetaraan gender memang perlu terpupuk sejak dalam keluarga. Sebagai unit terkecil lingkup sosial, keluarga sangat menentukan daya peka anggotanya akan kesetaraan. Adalah amat sayang manakala sejak dini, seorang anak perempuan misalnya, selalu tersuruh atau fokus pada urusan dapur. Biasanya, setelah makan keluarga selesai, anak perempuan secara sadar atau ibunya memintanya untuk membantu membereskan meja makan dan mencuci piring-piring kotornya.h
Konstruksi ini bila terdawamkan terus menerus otomatis memberi sebuah pemahaman bahwa perempuan memang tugasnya hanya di dapur. Padahal persoalan sepele seperti beres-beres meja makan dan mencuci piring bisa pula menjadi beban laki-laki. Dengan demikian, tugas ini awalnya universal, konstruksi budaya dan sosiallah yang memetakan agar seseorang terbebani tugas tersebut.
Praktik Kesetaraan
Praktik kesetaraan ini sebetulnya perlahan dilakukan di keluarga saya. Ketika ibu bertugas memasak dan menyiapkan makanan, sayalah yang mencuci semua piring kotor dan alat masak tadi. Jujur, awalnya tugas ini memang diperintah oleh ibu. Namun makin lama, saya menangkap maksud dan tujuan ibu mengapa menyuruh anaknya untuk menyelesaikan tugas ini.
Ibu ingin saya atau kakak saya, sebagai anaknya, peka dan sadar akan tugas-tugas kecil dalam keluarga. Ibu seolah ingin mengajarkan anaknya untuk tak membangun struktur ketidakdilan kelak setelah berkeluarga. Bayangkan, sebelum saya sadar akan hal itu, setelah memasak dan mempersiapkan makanan, ibu masih harus membersihkan semua peralatan kotornya.
Hal tersebut secara tak sadar telah melanggengkan sebuah ketidakadilan gender terhadap perempuan. Seorang perempuan yang harus ditempa beban ganda dalam sebuah siklus makan keluarga. Ini masih persoalan pangan, belum lagi persoalan-persoalan lain terkait sandang dan papan.
Dengan begitu, ada satu pihak yang terkena imbas dalam sebuah budaya ketidakadilan ini; dalam konteks ini adalah perempuan. Bagaimana kita hendak mereduksi ketidakadilan ini kalau masih melakukan atau membudayakan perlakukan itu terhadap salah satu pihak (perempuan). Maka kesadaran mengenai kesetaraan gender perlu termiliki sejak dini dan intens oleh setiap orang.
Pada akhirnya, bagi saya, konsep kesadaran kesetaraan ini perlahan mengurangi ketidak-ketidakadilan gender yang jarang disadari. Secara perlahan, kita mesti sadar dan peka akan isu-isu ini pada lingkup terdekat; keluarga. Reduksi pelbagai anasir yang kiranya mengarah pada kubang ketidakadilan gender dalam keluarga.
Sudah saatnya generasi muda paham bahwa gender bukan sebuah titah Tuhan atau kodrat yang disalahkaprahi. Antara laki-laki dan perempuan baik di lingkup keluarga maupun domestik memiliki tugas dan porsi yang sama. Cuci piring, menyapu, dan tugas lain di ranah keluarga secara universal adalah tugas keduanya. Mari mencuci piring!